Jatuh Cinta Adalah Existence of an œuvre

Agaton Kenshanahan
Jurnalis Liputan Khusus kumparan
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2019 1:09 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agaton Kenshanahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi jatuh cinta. Foto: Thinkstockphotos
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jatuh cinta. Foto: Thinkstockphotos
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu saya berdebat dengan seorang atasan di tempat kerja. Kata dia, jatuh cinta bisa bikin orang gila atau setidaknya bikin orang bertindak gila. Saya tidak setuju.
ADVERTISEMENT
Walau demikian, ketidaksetujuan saya itu banyak tak didukung fakta keras (hard fact). Misalnya, masih beberapa waktu lalu juga, saya mendengar cerita seorang kawan sampai hati membersihkan mobil sang gebetan untuk PDKT. Padahal, mungkin, gebetannya tak tahu usaha tersebut.
Ada juga cerita dari tempat nan jauh di sana, di Vechta, Jerman, di mana seorang remaja berbuat 'gila' karena cinta. Setidaknya begitulah diberitakan. Ia memanjat dinding penjara setinggi 4 meter untuk merebut hati mantan pacarnya yang sedang menjalani hukuman.
Masih banyak contoh tindakan 'gila' lain yang disebabkan oleh rasa cinta. Namun bagi saya, yang tak seiya sekata dengan argumen atasan sendiri, kurang tepat rasanya menyebut orang jatuh cinta sebagai orang gila.
Kenapa? Karena kegilaan seseorang adalah konstruksi sosial. Dan 'gila' karena jatuh cinta bukan salah satu konstruknya. Kalau patah hati mungkin lain lagi, sih, ceritanya.
ADVERTISEMENT
Justru di situlah letak masalahnya. Sebab, kegilaan bukan semata penyakit mental yang bersifat patologis. Dalam masyarakat, orang bisa saja disebut 'gila' hanya karena ia tidak bertindak lazim sesuai konformitas.
Pemikiran semacam ini bisa dirujuk dari filsuf postmodern asal Prancis, Michel Foucault, dalam Madness and Civilizations/History of Madness (1961). Baginya, memahami konteks kegilaan tak lepas dari membaca konstruksi masyarakat oleh struktur kekuasaan yang mewujud dalam berbagai macam bentuk.
Salah satu wujud kekuasaan itu ialah kerja-kerja narasi (work of an author) atau œuvre. Kerja narasi yang melembaga (atau disepakati banyak orang) dalam sebuah masyarakat punya kapasitas untuk menentukan banyak hal.
Foucault mengambil kegilaan (madness) sebagai salah satu contoh yang menjadi objek determinasi œuvre. Penelusurannya pada tiga zaman, membawanya pada konteks kegilaan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Di era Renaisans, kegilaan dianggap sebagai bagian dari pengetahuan karena mewujud dalam literatur. Di abad 17-18, orang gila adalah mereka yang tidak bernalar dan harus dikurung, bersatu dengan para gelandangan dan pelacur. Sedangkan pada abad 19, orang gila adalah mereka yang memiliki penyakit mental dan perlu diobati.
Melihat itu, tibalah Foucault pada kesimpulan bahwa kegilaan, dalam semua kemungkinannya, ialah tiadanya kerja-kerja narasi (an absence of an œuvre).
Dengan kata lain, orang bisa dianggap gila karena tidak ada narasi yang melazimkan tindakan/sikap mereka yang berbeda atau tidak biasa dilakukan oleh kebanyakan orang.
Makanya, cara paling mudah untuk memberi simbol yang mewakili tindakan/sikap tersebut adalah dengan menyebutnya gila. Ia dianggap keluar dari batas kelaziman atau tiadanya bahasa normal yang bisa menjustifikasi tindakan itu.
ADVERTISEMENT
Namun, bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta, tak ada pengorbanan atau tindakan melampaui batas kelaziman dan rasionalitas yang bisa dianggap sebagai gila.
Perkara jatuh cinta dan kegilaan bukan persoalan eufimisme. Ia punya garis batas yang jelas. Sebab, ‘kegilaan’ yang dilakukan orang-orang jatuh cinta menunjukkan adanya narasi (existence of an œuvre). Sedangkan kegilaan tidak.
Makanya, selama seseorang melakukan tindakan melampaui batas kelaziman demi mendapatkan pujaan hatinya atau usaha menuju ke sana, dia bukan gila. Dia cuma sedang jatuh cinta/kasmaran.