Kalau Foucault Masih Hidup, Bagaimana Responsnya Saat Nonton 'Joker'?

Agaton Kenshanahan
Jurnalis Liputan Khusus kumparan
Konten dari Pengguna
15 Oktober 2019 13:00 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agaton Kenshanahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Joaquin Phoenix di film 'Joker'. Foto: Joker
zoom-in-whitePerbesar
Joaquin Phoenix di film 'Joker'. Foto: Joker
ADVERTISEMENT
Sejujurnya, kalau tahu film Joker begitu depresif, saya tak akan menontonnya. Untung saya cuma nonton dengan rekan sekantor, bukan dengan pacar/istri. Karena selain enggak punya, nonton film Joker dengan pacar/istri berpotensi merusak mood nge-date.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak? Sepanjang 2 jam 2 menit, film ini membawa kita kepada sebuah tragedi tergelap kehidupan. Pemeran utamanya, sosok Arthur Fleck, hidup dalam jurang kesengsaraan. Ia mengklaim tak pernah merasa bahagia sedetik pun dalam hidupnya.
Hidup tampak begitu keras padanya. Kesakitan, kekecewaan, perundungan, pengabaian, dan kehilangan eksistensi berakumulasi menjadi sebuah kegilaan (madness). Kegilaan itu ia lampiaskan dalam tindakan kriminal. Dan ia menikmatinya.
Lalu timbulah sebuah kalimat, atau teori yang lebih mirip semacam hipotesis, populer yang entah dari mana datangnya. Seolah menyimpulkan keseluruhan film ini: “Orang jahat lahir dari orang baik yang tersakiti…”
Sekilas, rangkaian transformasi Arthur menjadi Joker kriminal menunjukkan indikasi demikian. Namun, sang pembuat teori lupa kalau sedari awal Joker sudah punya semacam gangguan tawa hingga delusional. Boleh dikata, Joker ini orang gila.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia medis, hanya seorang Psikiater yang boleh mendiagnosis kegilaan seseorang. Namun, seorang filsuf Prancis, Michel Foucault, menantang otoritas tersebut. Ia punya pandangan lain soal ini.
Saya bisa membayangkan gaya Foucault kala nonton Joker. Ketika masuk bioskop, yang mungkin pertama kali dia soroti bukan sedapnya popcorn, kursi yang empuk, atau muda-mudi yang bening.
Bisa jadi ia justru melihat power relations antara institusi bioskop dan para penontonnya. Betapa lemahnya penonton yang hanya bisa menerima hujaman iklan dari layar film bioskop menjelang film dimulai. Sedangkan pemilik bioskop mendapat keuntungan ganda: Biaya tiket dan pemasangan iklan.
Saat film diputar, Foucault akan menyampirkan satu kakinya ke kaki yang lain. Telunjuk tangan kanannya akan ditaruh di depan mulutnya. Di hidung pria berkepala botak itu, bertengger kacamata bulat.
ADVERTISEMENT
Kala tiba adegan Arthur Fleck jadi gila, Foucault akan mengutip satu asumsi dalam bukunya Madness and Civilization/History of Madness (1961). Ia mengatakan kegilaan sebagai ketiadaan karya penulis/kerja-kerja narasi (absence of an œuvre). Kerja-kerja narasi inilah yang mengakibatkan seseorang dianggap gila pada masanya.
Bagi pria kelahiran Paris, 15 Oktober 1926, narasi kegilaan seseorang adalah konstruksi psikologis dan sosiologis ketimbang diagnosa medis. Amatan Foucault menghilangkan kegilaan dari sifat patologis. Kegilaan itu adalah fenomena tersendiri dan ia bertranformasi sesuai dengan peradaban atau era.
Bukan tanpa alasan ia beranggapan demikian. Foucault telah menelusuri kegilaan dari tiga masa: Renaisans, abad 17-18, hingga era modern pada abad 19. Hasilnya, ketiga masa tersebut memaknai dan memperlakukan kegilaan secara berbeda.
ADVERTISEMENT
Pada masa Renaisans orang-orang menganggap kegilaan sebagai sebuah pengetahuan (knowledge). Sebab, pada abad transisi dominasi kekristenan beralih ke budaya Yunani-Romawi ini orang-orang memanifestasikan kegilaan ke dalam literatur.
Foucault mencontohkan para penulis humanis seperti Montaigne, Rabelais, atau Erasmus. Mereka menunjukkan kesenjangan seorang manusia biasa dan kepura-puraan dalam bentuk tulisan. Dengan kata lain, orang-orang ini ‘berdelusi’ dengan apa yang ia cita-citakan. Karena tak bisa mewujudkannya, mereka menuangkannya dalam wujud sastra.
Kegilaan di era Renaisans juga dianggap sebagai sesuatu yang bijak. Dalam pandangan agama kala itu, nalar seseorang adalah sesuatu yang gila di mata lembaga ketuhanan. Sedangkan, sesuatu yang bersifat ketuhanan adalah kegilaan bagi mereka yang mengagungkan nalar. Segala sesuatu bisa dianggap gila, tergantung mana yang dianggap/dipandang lebih superior, nalar atau ketuhanan?
ADVERTISEMENT
“Seorang yang bijaksana adalah mereka yang dapat melihat bahwa kegilaan ada dalam nalar setiap klaim kebenaran absolut,” kata Foucault. Di sini, nalar masih berkontribusi terhadap kegilaan seseorang.
Pada abad 17-18, nalar tak lagi menemukan tempatnya dalam konstruk kegilaan. Orang-orang ‘gila’ di masa ini adalah mereka yang dianggap tidak bernalar. Tempat mereka adalah kurungan yang dibuat besar-besaran di seluruh penjuru Eropa. Salah satunya yakni Hôpital Général di Paris.
Lembaga kurungan ini, bagi Foucault, tak punya perspektif medis, melainkan etis. Ia merupakan instrumen tatanan kekuasaan Raja dan para borjouis Prancis saat itu yang memperlakukan para internir sebagai subjek moral.
Di dalamnya orang ‘gila’ dikurung bersama gelandangan, pelacur, dan berbagai penyimpang sosial lainnya yang memilih jalan kesalahannya sendiri. Mereka dianggap melawan kebenaran nalar secara umum dan diperlakukan semena-mena.
ADVERTISEMENT
Abad modern datang memandang kegilaan dengan cara yang lebih humanis. Ketimbang pengurungan barbar yang dilakukan di abad klasik (17-18), orang gila di abad 19-an diperlakukan sebagai objek yang perlu disembuhkan.
ADVERTISEMENT
Rumah sakit jiwa dibangun sebagai sintesa kebutuhan para keluarga yang tak bisa merawat orang gila di rumah dan perlunya perlindungan masyarakat. Namun, hal ini tak lepas dari kritik Foucault yang memandangnya sebagai proses eksklusi dan alienasi orang gila.
Berbagai institusi yang dibangun untuk orang gila adalah institusi kontrol sosial. Ia tak diberi kebebasan menentukan kehidupannya sendiri.
Penelusuran ketiga era tadi mungkin tak akan membuat Foucault menganggap Joker sebagai orang baik yang tersakiti lalu jadi jahat. Struktur dan lembaga sosial di Gotham City-lah yang sedari awal membuatnya jadi jahat.
Dominasi borjuis yang diwakili oleh Thomas Wayne hingga Murray Franklin mengendalikan segalanya. Dia berhak melabeli mana yang jahat mana yang tidak, mana yang lucu mana yang tidak, mana yang gila mana yang tidak. Mereka mengendalikan narasi publik.
ADVERTISEMENT
Sebagai seseorang yang merasa tak punya eksistensi dan selalu dirundung, Joker merasa struktur sosial tak adil baginya. Hingga pada satu titik, ia memilih melawan. Caranya, dengan membunuh 3 bankir perusahaan Wayne dan Murray Franklin saat siaran langsung gelar wicaranya.
Sejak itu, label penjahat melekat padanya. Ia diburu seantero aparat Gotham City. Foucault akan melihat transformasi œuvre pada Joker, dari orang gila (punya gangguan mental) menjadi seorang kriminal.
Semua kegilaan itu bukan sebuah proses yang (tak cuma natural) tapi juga bersifat konstruksi sosial. Dunia medis dan psikiatri bisa jadi kehilangan otoritasnya untuk menguasai dan mengobati kegilaan manusia. Hingga Foucault tiba pada satu kesimpulan.
“Suatu hari, mungkin, kita tidak akan lagi tahu apa itu kegilaan. Bentuknya akan tertutup dengan sendirinya, dan jejak-jejak yang tersisa tidak akan lagi dapat dipahami,” ungkap Foucault.
ADVERTISEMENT