news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pengalaman Saya Ikut Kajian Ustaz Firanda Andirja yang Dituduh Wahabi

Agaton Kenshanahan
Jurnalis Liputan Khusus kumparan
Konten dari Pengguna
16 Juni 2019 16:02 WIB
comment
40
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agaton Kenshanahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ratusan massa membubarkan pengajian di Masjid Al Fitrah, Ketapang, Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ratusan massa membubarkan pengajian di Masjid Al Fitrah, Ketapang, Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak kecil hingga jadi mahasiswa, hampir semua kajian aliran Islam saya pernah ikuti. Dari mulai kajian kiai NU di kampung saat Maulid, liqo/mentoring ala teman-teman Tarbiyah, menonton ceramah Ustaz Felix Siauw yang (eks) HTI itu di YouTube, hingga mencatat-catat apa yang disampaikan ustaz di kajian Salafi.
ADVERTISEMENT
Yang belakangan adalah kajian yang sering saya hadiri saat masih zaman kuliah tahun 2014-2018, meski tidak rajin-rajin amat. Saya biasanya ikut kajian rutin (tapi kehadirannya bolong-bolong) di sebuah masjid dekat kampus yang terletak di kawasan Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Sampai suatu hari, teman-teman yang biasa kajian di sana mengajak saya kajian ke Bandung. "Ada Ustaz Firanda (Andirja)," kata dia.
Kalau tidak salah ingat, kajian Ustaz Firanda bertepatan dengan kajian rutin yang biasa digelar hari Rabu di Jatinangor. Tapi, sudah jadi rahasia umum kalau ada kajian 'ustaz besar' di kota terdekat, teman-teman yang ngaji di sini meliburkan diri kajian rutin untuk menimba ilmu ke tingkat yang lebih tinggi.
Sebenarnya saya agak ogah-ogahan kalau datang kajian harus pergi jauh-jauh ke Bandung. Apalagi kajian Ustaz Firanda bisa disaksikan secara online di YouTube. Tapi ya, teman-teman sudah mengajak sampai bawa mobil, masak saya ndak ikut?
ADVERTISEMENT
Lagipula sependek ingatan, itu adalah salah satu pengalaman terjauh saya mengorbankan waktu hingga kocek untuk urusan ngaji. Biasanya sih, lebih suka malas-malasan di indekos kalau sedang senggang.
Kajian Ustaz Firanda digelar di Masjid Al Ukhuwah dekat Balaikota Bandung. Sampai di depan masjid, mobil kami berjalan pelan. Sang supir celingak-celinguk mencari slot parkir yang kebetulan penuh sepanjang sisi jalan. Hingga akhirnya mobil kami baru bisa parkir di sebuah gang di sebelah masjid.
Saat masuk masjid, saya sudah bisa melihat pola tampilan orang-orang di sekeliling: berjanggut, celana cingkrang, berpakaian rapi lengkap dengan peci, dan baunya wangi. Mereka biasanya menenteng tas kecil yang isinya pulpen dan buku untuk mencatat isi kajian.
Sebelum kajian, ada sejumlah kru yang menyiapkan kamera di depan meja ustaz penceramah. Sudah bisa ditebak kalau kajian ini direkam dan bisa ditonton di YouTube. Tapi orang-orang masih militan memadati masjid, yang kurang lebih bisa menampung 3.500 jemaah itu untuk menimba ilmu.
ADVERTISEMENT
Kajian dimulai setelah salat magrib. Ustaz Firanda datang membawa kitab yang diletakkan di atas sebuah meja. Ia lalu membahas mengenai pengantar kitab hadis Shahih Bukhari.
Ia menceritakan mengenai biografi Imam Al Bukhari secara mendalam dan gamblang. Dari soal kepribadian, sebab penulisan kitab hadisnya yang jadi rujukan ulama, hingga kontroversi Bukhari dengan gurunya sendiri, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli.
Ustaz Firanda menukil kisah ulama hadis tersebut dari kitab syarah (penjelasan) Shahih Bukhari yakni Fathul Bari yang dipegangnya hampir sepanjang kajian. Hal ini membuat saya yakin kalau kajian yang diampunya tak minim referensi.
Ada satu poin penting yang disampaikan dalam kajian Ustaz Firanda bertanggal 11 Januari 2017 tersebut. Salah satunya soal bagaimana Imam Al Bukhari mengambil ilmu dari para guru.
ADVERTISEMENT
"Imam Al Bukhari pernah berkata, 'Aku mencatat hadis dari 1080 guru, tidak seorang pun dari mereka kecuali ahli hadis dan saya juga tidak mencatat kecuali dari guru (kalangan ahlusunah) yang mengatakan iman itu perkataan dan perbuatan'," terang Ustaz Firanda.
Ustaz Firanda menjelaskan bahwa mempunyai banyak guru untuk mengambil ilmu seperti Imam Bukhari punya faedah. Yakni, seseorang akan terjauh dari sifat fanatik terhadap gurunya sendiri.
"Karena (ketika) guru Anda berkata, mungkin ada pendapat yang lain sehingga Anda terbiasa dengan adanya mungkin perbedaan cara pandang di antara guru-guru. Oleh karenanya para imam dahulu mereka jauh dari kefanatikan," ujar penceramah tetap di Masjid Nabawi Madinah, Arab Saudi, itu.
Apabila seseorang memiliki guru cuma satu, kata Ustaz Firanda, maka akhirnya hanya guru tersebut yang jadi andalannya. Menurutnya, bila ada kesalahan bisa jadi gurunya tidak mau disalahkan. Kesalahan satu guru bisa diketahui jika seseorang mau duduk untuk belajar dari banyak guru.
ADVERTISEMENT
"Oleh karenanya hati-hati, seseorang belajar dari banyak guru, sehingga kalau guru ini punya kekurangan, ditutup dengan guru yang lain," lanjutnya.
Dari situ, saya langsung bisa mengetahui duduk perkara kajiannya di Aceh baru-baru ini dibubarkan massa. Saya melihat sebabnya bukan karena sang ustaz adalah Wahabi seperti yang dikatakan seorang koordinator massa penolak kajian.
“Protes permasalahannya adalah karena masalah akidah yaitu yang namanya Wahabi. Ini adalah kesepakatan Ahlulsunnah Waljamaah menolak kehadiran ustaz (Firanda) di Aceh,” kata koordinator Abu Syuja mengutip dari kumparan (13/6).
Persoalan pokoknya ada pada keinginan untuk belajar dari banyak guru atau tidak, sebagaimana yang dicontohkan Imam Bukhari. Sehingga, alih-alih ikut duduk mendengarkan kajian, sebagian massa ini lebih memilih untuk membubarkan kajian Ustaz Firanda kala tak setuju. Padahal belum jelas yang dituduhkan sebagai Wahabi itu dan materi apa yang diajarkan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya apa itu Wahabi?
Nama wahabi sering kali dilabelkan kepada ajaran/aliran Islam yang datangnya dari Arab Saudi. Padahal, Putera Mahkota Arab Saudi sendiri yakni Mohammed bin Salman (MbS) tak tahu menahu kala ditanya wartawan soal ajaran Wahabi.
Secara spesifik, seseorang dituduh Wahabi biasanya karena mereka merujuk ajaran dari dakwahnya Muhammad bin Abdul Wahab. Ia adalah salah satu ulama abad 16 dari Arab Saudi yang ingin mengembalikan puritanisme (kemurnian) Islam kepada sumbernya yakni Alquran dan hadis.
Namun penggunaan nama Wahabi sebenarnya ditolak dan tak dipakai oleh pengikut dakwah Muhammad bin Abdul Wahab sendiri. Sebutan ini justru santer digaungkan di dunia Barat. Jejaknya bisa ditelusuri misalnya pada penggunaan kata Wahabi dalam pewartaan Majalah Life yang terbit tahun 1943.
ADVERTISEMENT
Hal ini pun dikonfirmasi oleh Quintan Wiktorowicz dalam artikel jurnal berjudul "Anatomy of the Salafi Movement" (Studies in Conflict & Terrorism, 2006). Ia mengakui bahwa akan sulit sekali menemukan individu yang menyebut diri atau organisasi mereka sebagai Wahabi.
"Kecuali mereka berbicara untuk audiensi Barat yang tidak terbiasa dengan terminologi Islam, dan itupun penggunaannya terbatas dan sering muncul sebagai 'Salafi/Wahhabi' (dipersamakan istilahnya)," tulis Wiktorowicz.
Kalau pun mau dinamai, mereka justru kerap menyebut diri sebagai Salafi. Peneliti LIPI Muhammad Hisyam dalam jurnalnya berjudul "Anatomi Konflik Dakwah Salafi di Indonesia" (Jurnal Harmoni, 2010) menyebut, bahwa salafi ialah nisbah kepada orang-orang yang mengikuti manhaj (metode) salaf (orang-orang terdahulu).
"Manhaj salaf adalah istilah yang dipakai oleh kalangan Salafi untuk suatu metode atau cara yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah, tabi’in (murid sahabat) dan tabi’it tabi’in (murid tabi'in) dalam memahami agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah," tulis Hisyam.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, Salafi ini bukan sesuatu yang baru dalam Islam. Mereka hanya mencoba memahami Islam dan mempraktikkannya dengan mengambil teladan kepada para Salafus Salih (orang salih terdahulu). Yakni para sahabat pengikut Nabi Muhammad yang hidup pada masa Nabi.
Dari pengalaman saya mengikuti kajian di berbagai aliran keislaman, perbedaan pemahaman merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, semuanya memiliki manhaj atau metode hingga fokus yang berbeda dalam pengambilan ilmunya.
Maka jangan heran apabila Nabi Muhammad pernah berkata bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Rupanya, ini adalah konsekuensi logis dari tiadanya sandaran utama yang bisa menentukan benar-salah secara absolut setelah Nabi tiada. Sehingga tafsir-tafsir manusia membuka ruang untuk berbeda.
Perbedaan pemahaman mungkin saja terjadi. Namun tentunya itu bukan alasan bagi kita menutup diri untuk belajar memahami sesama. Apalagi kalau sudah dibubuhi prasangka.
ADVERTISEMENT