Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Serangan ke Rafah, Penutupan Al-Aqsa, dan Dilema Keamanan Israel
5 Maret 2024 14:22 WIB
·
waktu baca 9 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Setelah membombardir dan menginvasi Gaza Utara lalu mendesak warga sipil hijrah menuju Rafah di selatan, teranyar wilayah yang berbatasan dengan Semenanjung Sinai, Mesir, itu hendak jadi palagan operasi serangan darat Israel Defense Force.
Sejumlah serangan udara sudah dilaporkan menarget “Kota Tenda” yang dipenuhi oleh pengungsi internal (internally displaced persons) Palestina itu. Hidup di sana sudah demikian sulit, harga-harga semakin mahal, dan bahkan warganya mesti berebut bantuan makanan yang ala kadarnya tak mencukupi kebutuhan mereka.
Penderitaan tersebut sudah pasti bertambah jika serangan darat ke Rafah benar jadi diluncurkan Ramadan mendatang. Namun apa lacur, Perdana Menteri Israel Netanyahu kadung membulatkan rencana itu–rencana yang kemudian ditentang Amerika Serikat jika tanpa memperhatikan nasib 1,4 juta warga sipil yang mengungsi di sana.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini di CBS News, Netanyahu menegaskan keinginan menang total atas Hamas. Perang ini tidak akan berakhir tanpa kehancuran organisasi itu, dan menurutnya kemenangan Israel akan berlangsung dalam beberapa pekan mendatang–dengan atau tanpa menunggu hasil deal-deal politik soal pembebasan sandera yang kini tengah berlangsung di Qatar.
Dipandang dari internal pemerintahan Israel, kebijakan menghapuskan Hamas dari muka bumi boleh jadi hasil dari refleksi ke belakang. Perang-perang sebelumnya sebagai respons atas serangan Hamas kerap diakhiri dengan gencatan senjata yang berakhir stalemate. Walhasil, Israel terhindar dari serangan sementara waktu, tetapi Hamas tetap dibiarkan eksis.
Beberapa tahun kemudian gencatan senjata itu rusak. Serangan-serangan kembali terjadi karena pemicu tertentu. Israel sebagai entitas yang relatif settle dan makmur tentu ingin dirinya aman. Tapi di sisi lain, warga Gaza dan Palestina ingin keadilan. Dan terjadilah perang-perang berikutnya.
ADVERTISEMENT
Maka tidak heran jika kemenangan total atas Hamas kini ditargetkan oleh Israel dengan menyerang Rafah. Secara logika, absennya Hamas setelah dihancurkan dipersepsikan bakal meniadakan ancaman dari organisasi itu. Namun ekses akibat kerusakan kolateral yang ditimbulkan dari penghancuran itu justru dapat berbuah kesia-siaan. Bagaimana bisa?
Untuk mencapai tujuan perang 7 Oktober, Israel tidak cukup sekadar menang atau meniadakan Hamas, tetapi bagaimana dalam jangka panjang ia bisa menghadirkan keamanan bagi negaranya. Dan keamanan bukan berarti sekadar meniadakan satu aspek ancaman, tetapi juga menciptakan stabilitas di wilayah yang diamankan yaitu Gaza.
Israel bisa saja menghancurkan sisa dua batalyon pasukan Hamas yang disebut masih tersisa di Rafah–dalih yang menjustifikasi rencana operasi Israel di sana. Maka operasi ini akan memakan korban jiwa warga sipil yang meluas mengingat Rafah adalah batas terakhir wilayah Jalur Gaza. Ke mana lagi warga akan mengungsi kecuali mereka bakal terjebak di tengah-tengah operasi serangan darat Israel.
ADVERTISEMENT
Keadaan ini bakal membuat Hamas lumpuh sementara tetapi tidak semata-mata meniadakan perjuangan rakyat Gaza. Hamas bukan cuma sebatas diisi “orang-orang” yang jika dieliminasi akan hilang, tetapi ia juga ideologi yang hidup atas cita-cita pembebasan rakyat Palestina–bak slogan merdeka atau mati ala Bung Tomo. Hidup dalam sejarah kelam opresi (penindasan) membikin mereka tiada punya pilihan kecuali melawan dan mengkonsolidasikan kekuatan selepas operasi ini berakhir.
Di sisi lain, setelah menyelesaikan operasi militernya di wilayah itu, belum ada tanda-tanda ketertarikan Israel untuk melakukan okupasi dan memerintah di sana. Israel pernah mencoba dengan menghadirkan militernya dan mengajak warga Israel untuk secara gradual pindah menduduki Gaza. Hal ini demi menciptakan pendudukan efektif di sana pasca-menang dalam Perang 6 Hari melawan Mesir.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi ancaman keamanan dan serangan gerilya terus menghantui. Wilayah pendudukan Gaza itu justru dianggap sebagai beban keamanan sehingga Israel dan pemukim yang dihadirkannya hengkang secara unilateral dari sana pada 2005.
Amerika Serikat mengusulkan agar Otoritas Palestina (Palestinian Authority: PA) memerintah di sana, tetapi ini bukan hal mudah. Legitimasi PA yang dipimpin oleh parpol Fatah bakal dipandang rendah oleh rakyat Gaza yang selama ini di bawah pemerintahan Hamas. Tak menjadi jaminan PA bakal menegakkan pemerintahan efektif di sana apalagi jika PA dianggap sebagai pemerintahan boneka (puppet goverment) dari Israel dan Barat.
Portofolio keberadaan Fatah di Gaza yang kalah pemilu melawan Hamas justru mempertebal konflik intra-Palestina. Ini membuat pemerintahan ke depan tidak stabil, dan jika sel-sel Hamas kembali hidup bukan tidak mungkin Hamas kembali mengambil alih pemerintahan Gaza dari tangan Fatah, menciptakan konflik berdarah seperti pada tahun 2007.
ADVERTISEMENT
Dengan skenario itu, Hamas berpotensi kembali eksis pada pemerintahan mendatang di Gaza. Akibat kehancuran kolateral yang dialami rakyat Gaza pada operasi militer kini, Hamas punya alasan kuat untuk melakukan perlawanan dan dukungan terhadap gerakan ini berpotensi meluas di kalangan akar rumput Gaza.
Artinya, operasi militer Israel kini bisa jadi sia-sia meski sudah membuat ekonomi mereka anjlok 20% dari rata-rata GDP tahunan pada kuartal keempat 2023 ini.
Timbulnya Dilema Keamanan
Selain soal stabilitas dan penentuan nasib Gaza, Israel perlu juga mengkalkulasi efek serangan ke Rafah terhadap menurunnya dukungan dan timbulnya potensi ancaman dari komunitas internasional.
Para sekutu Israel sejauh ini masih mendukung upaya Israel untuk melanjutkan perang dengan Hamas. Tetapi dukungan itu mulai sedikit demi sedikit terkikis dengan semakin tingginya eskalasi kritik terhadap pemerintahan negara-negara pendukung.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, pemerintahan Rishi Sunak terus digempur di parlemen terkait sikap Inggris mengenai dukungannya kepada Israel. Ia bahkan dikritik meskipun “hanya” menempatkan Inggris dalam posisi abstain–tidak memveto–usulan gencatan senjata Gaza di Dewan Keamanan PBB.
Pemerintahan Biden juga terus dihujani kecaman sampai-sampai anggota militer Amerika Serikat Aaron Bushnell rela membakar diri demi meneriakkan “Bebaskan Palestina” di akhir hayatnya.
AS yang selama ini mati-matian berdalih bahwa Israel berhak atas upaya membela diri atas serangan dari Palestina pun mulai skeptis dengan rencana serangan di Rafah. Presiden Biden sendiri sampai menelepon Netanyahu agar serangan ini tidak dijalankan tanpa rencana yang matang untuk melindungi warga sipil Palestina.
Dalam jangka panjang, perang serampangan ini bakal mengikis dukungan internasional Israel jika pemerintahan negara-negara pendukung terus menerima tekanan politik.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, serangan ke Rafah juga berpotensi menimbulkan gejolak yang lebih luas di Timur Tengah. Yaman–di bawah pemerintahan Houthi yang merupakan proksi Iran–menyerang kapal-kapal dagang dan komersial sipil yang terafiliasi dengan negara-negara sekutu Israel.
Yaman menjadikan Laut Merah sebagai alat tawar geopolitik agar setidak-tidaknya Israel mengubah kebijakan perangnya terhadap Palestina. Namun bukannya Israel mengendur, Amerika dan Inggris yang turun tangan untuk mengatasi serangan Yaman ke kapal-kapal komersil itu. Israel lagi-lagi menjadi beban keamanan bagi AS dan Inggris.
Belum lagi ditambah dengan ultimatum Arab Saudi yang mengatakan bahwa serangan ke Rafah bakal menimbulkan konsekuensi yang berbahaya. Saudi yang selama ini terkesan tak pernah mengonfrontasi Israel secara langsung karena masih merupakan sekutu dekat AS kini mulai bicara, menandakan bahwa urusan Rafah merupakan persoalan genting.
ADVERTISEMENT
Sebelum serangan 7 Oktober, Saudi dan Israel tengah menjajaki normalisasi hubungan. Tak ada alasan khusus yang menyatakan Saudi tidak tertarik dengan itu, kecuali Israel tidak bisa menghentikan penjajahannya terhadap Palestina. Maka, serangan ke Rafah bakal juga menggugurkan proses-proses yang sudah ditempuh.
Dan jika bicara mengenai Saudi, tidak cuma Israel kehilangan potensi hubungan diplomatik dengan satu negara. Saudi punya pengaruh kuat di antara negara-negara Teluk (Gulf Cooperation Council) dan Liga Arab, plus jika bisa menjalin hubungan dengan penjaga dua kota suci kredibilitas Israel di dunia Islam bakal meningkat.
Kini Israel kehilangan potensi kerja sama itu yang jika dilanjutkan bisa menambah keamanan dan ketentraman negaranya. Tapi jika Israel memutuskan serangan ke Rafah, skenario-skenario yang merugikan Israel di atas bukan tidak mungkin bakal terjadi.
ADVERTISEMENT
Inilah yang disebut dilema keamanan: Israel ingin membuat negaranya aman dari Hamas dengan menyerang Rafah, tapi di sisi lain justru membuat dirinya tidak aman dengan membikin gejolak di kawasan jika serangan itu dilakukan.
Blunder Menutup Al Aqsa
Buruknya kebijakan perang Israel tak berhenti soal Rafah semata. Baru-baru ini Kantor Perdana Menteri Israel juga merencanakan pembatasan akses umat Islam ke Masjid Al Aqsa selama bulan Ramadan dengan alasan keamanan.
Wacana keamanan di Israel bahkan disematkan kepada bulan Ramadan itu sendiri. Seperti yang dikatakan politikus sayap kanan cum Menteri Kebudayaan Israel Amichai Eliyahu bahwa bulan suci umat Islam itu mesti dihapus karena dianggap menimbulkan ketakutan terhadap rakyat Yahudi-Israel.
Logika itu diduga bersumber dari peristiwa ketegangan yang kerap timbul di bulan-bulan Ramadan. Misalnya, salah satu perang bersejarah Israel vs Palestina (Arab) terjadi pada Perang Yom Kippur pada 1973 yang juga bertepatan dengan Ramadan. Begitu pula konflik 2014 dan 2021.
ADVERTISEMENT
Kita bisa saja mempreteli bagaimana ketegangan timbul di bulan Ramadan di Palestina. Taruhlah satu contoh pada 2021 ketika Israel menggusur permukiman warga Palestina di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur.
Ketegangan bertambah ketika terjadi bentrok warga muslim dengan aparat Israel setelah salat Jumat terakhir di Ramadan tahun itu. Padahal ibadah digelar khusyuk, tetapi aparat keamanan Israel justru memicu kekerasan dengan melontarkan gas air mata dan peluru karet.
Pemicu dari Israel itulah yang kemudian membuat Hamas memiliki justifikasi untuk melakukan serangan-serangan roket ke wilayah Israel, membuat warganya menjadi tidak aman.
Dan dengan mengatakan bahwa Ramadhan mesti dihapuskan, elite Israel tidak hanya sedang berupaya melakukan genosida manusia, tetapi juga genosida agama–menambah minyak baru bagi bara konflik berkepanjangan kedua entitas.
ADVERTISEMENT
Artinya, ketegangan dan timbulnya ancaman terjadi karena ulah Israel sendiri. Israel mendirikan rezim keamanan di wilayah yang didudukinya, tetapi itu justru menjadi pemicu ketidakamanan bagi warga dan wilayah Israel.
Dilema keamanan ini dapat diakhiri dengan cara menerima lebih banyak realitas politik. Pada akhirnya, konflik bakal mereda jika semua pihak mau mengendurkan kepentingan dengan berjalan ke poros tengah, bersikap pragmatis, dan berkompromi dengan keadaan.
Salah satu realitas politik yang layak dipertimbangkan dinormalkan ke depan bagi Israel ialah bahwa Hamas adalah salah satu entitas politik yang memiliki legitimasi di Palestina. Memperlakukannya sebagai teroris membuat Hamas akan terus bersikap antitesa terhadap Israel. Perang 2014 terjadi karena Israel sangat resisten terhadap pemerintahan rekonsiliasi Palestina Fatah-Hamas.
ADVERTISEMENT
Padahal unifikasi pemerintahan membuat Israel lebih mudah berkoordinasi urusan ancaman dari Gaza yang selama ini out of reach karena dipimpin Hamas. Dengan pemerintahan terpusat di satu kekuasaan, tentu ini juga memberi jalan bagi hadirnya solusi dua negara.
Setidak-tidaknya dua faksi yang bersatu di pemerintahan akan memberi ruang untuk menyepakati pembicaraan Palestina-Palestina terkait dengan apa yang mereka inginkan ke depan. Karena selama ini Hamas dan Fatah memiliki visi Palestina yang berbeda sehingga kita bisa memahami jika Fatah kerap bersikap dialogis-pragmatis, sedangkan Hamas bersikap militeristik-idealis.
Jika unifikasi pemerintahan Palestina terwujud, maka Israel hanya perlu bicara dengan satu faksi terpusat Palestina yang mewakili seluruh rakyatnya. Kedua pemerintahan baru ini bisa membicarakan bagaimana memberikan keamanan bagi kedua negara dengan konsesi-konsesi politik yang mengarah ke perdamaian.
ADVERTISEMENT
Tentu saja sulit membayangkan skenario tersebut terjadi, apalagi di pemerintahan sayap kanan Netanyahu. Meski terobosan-terobosan politik tampak tidak mungkin, tetapi demi kemanusiaan ide-ide perdamaian mesti terus bergaung. Bukan hanya demi Palestina, tetapi–jika Israel memang menginginkannya–ini juga demi keamanan Israel itu sendiri.