Anak Bawang Sejarah Indonesia: Mereka yang Berpiring Duralex, Wakatobi 1980-an

Ageng Rachmad
Saya seorang mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidIkan, Universitas Jember.
Konten dari Pengguna
22 September 2023 20:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ageng Rachmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sukat kabar Kompas 11 Februari 1983 (Sumber: dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sukat kabar Kompas 11 Februari 1983 (Sumber: dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wakatobi merupakan sebuah kepulauan yang terletak di Sulawesi Tenggara yang terdiri dari empat pulau yakni Pulau Binongko, Pulau Tomia, Pulau Kaledupa, dan Pulau Wangi-wangi (Wanci). Wakatobi merupakan salah satu destinasi wisata andalan Indonesia selain Bali. Tak hanya terkenal akan keindahan panorama biota laut, nyatanya kepulauan ini menyimpan segudang histori. Terkhusus di tahun 1980an.
ADVERTISEMENT
Kepulauan Wakatobi berada ditengah-tengah bagian Indonesia, di mana pulau ini bukan daerah perbatasan antarnegara, melainkan sebuah kepulauan yang dalam beberapa peta tidak tampak wujud pulau-pulaunya. Namun anehnya, barang-barang luar negeri mudah sekali di jumpai. Fakta ini sangat jarang diketahui, hingga disebut-sebut “anak bawang” sejarah Indonesia. Sejarah yang tak masuk hitungan.
Jejak ekonomi maritim Wakatobi di Nusantara telah lama berlangsung dari abad 18 dengan ditemukannya bukti oleh McKgiht tentang perdagangan di timur Indonesia antara masyarakat Buton dengan Australia Utara. Masyarakat Buton yang dimaksud adalah orang-orang Kepulauan Tukang Besi bersama orang-orang Bajau atau Bajo. Kemampuan akan navigasi pelayarannya merupakan sebuah keunggulan tersendiri bagi mereka. Mereka mampu membuka jalur perdagangan antar pulau-pulau bahkan manca negara dengan sistem pelayaran luar biasa menggunakan kapal Bhangka. Hubungan mereka dengan perdagangan antarnegara adalah dengan menjual ikan lola, sirip ikan hiu, mutiara dan taripang, dimana pasar dari komoditas ini adalah perusahaan-perusahaan asal China dan Inggris yang berpusat di Singapura.
ADVERTISEMENT
Pada abad 19, luasnya akses perdagangan orang-orang Tukang Besi dan Bajo terlihat pada perkembangan pemukiman dan perkampungan nelayan di semenanjung pesisir Pulau Buton sejak tahun 1920an. Pemukiman ini terbentuk seiring dengan eksplorasi tambang aspal milik Belanda “Boetoen en Cultuur Maatschapij”, di mana mereka mengisi kebutuhan tenaga kerja sebagai pengangkut aspal ke berbagai wilayah Nusantara dengan perahu-perahu.
Ingatan tentang Duralex tahun 1980an merupakan ingatan tentang sejahterahnya sebagian masyarakat Wakatobi yang tergabung dalam sistem perdagangan. Orang-orang Bajau dan Binongko berperan sebagai penyedia jasa perahu layar yang mampu menghubungkan masyarakat Wakatobi dengan daerah dan negara lain. Aktivitas ini memberikan efek unik, yakni masuknya barang-barang bekas berskala internasional ke dalam sistem ekonomi Wakatobi. Salah satunya ialah piring Duralex.
ADVERTISEMENT
Duralex adalah produk buatan Perancis yang ada sejak 1945. Duralex tersebar di Asia Tenggara melalui Singapura dan Malaysia. Ganjilnya, Duralex ialah barang mewah yang seharusnya ada dikeluarga kelas menangah Indonesia di era tersebut. Namun, bagaimana bisa barang ini masuk ke Wakatobi hingga pernah masuk dalam surat kabar Kompas 11 Februari 1983. Kompas menyebut pemilik barang mewah Duralex di Kaledupa, Binongko, Wangi-wangi, dan Tomia berasal dari kelas menengah ke bawah (dari bentuk rumahnya).
Cerita Duralex melebar hingga ke ranah sosial. Saking dianggap mewahnya, barang ini digunakan oleh masyarakat Wakatobi sebagai mahar dalam prosesi pertunangan warga dan sebuah pertanda pelemahan tradisi seiring dengan kemajuan ekonomi. Cerita ini meredup ketika tim Bea Cukai melakukan operasi besar-besaran dan disiarkan oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada tahun 1987.
ADVERTISEMENT
Ingatan Masyarakat Wakatobi tentang “uang sogok” tidak terlupakan, di mana uang itu berfungsi untuk melancarkan masuk keluarnya barang-barang diperbatasan atau pasar-pasar tertentu seperti Kendari, Ambon, Muna, Donggala, Kolaka, Seram, dan Buru. Lebih dari itu, uang ini juga melancarkan arus barang dari Singapura dan Malaysia (Johor) dengan Wakatobi.
Tahun 1980an hingga 1990an tidak hanya Duralex yang menjadi barang bergengsi di Wakatobi. Barang lain seperti sepeda Bycicle Moto-Cross (BMX) juga menjadi incaran khususnya bagi anak-anak Kepulauan Wakatobi. Untuk mendapatkannya, orang tua mereka harus menitipkan uang sekitar Rp 50.000,00- kepada para pedagang tujuan Singapura dan Malaysia (Johor).
Barang global di pasar lokal merupakan bagian penting dari sejarah ekonomi di kawasan itu. Konektivitas barang bekas namun berkelas tidak bisa diabaikan dalam sejarah panjang ekonomi maritim Wakatobi.
ADVERTISEMENT
Realita ini sekaligus menjadi penegas ketergantungan kawasan Wakatobi dengan Kawasan lain yang secara ekonomi memperlihakan simbiosismutualisme. Kepulauan Wakatobi mampu berkembang tanpa campur tangan pemerintah, di mana Wakatobi memiliki ekonomi mandiri melalui penyelundupan. Namun, periode ini berakhir ketika diberlakukannya penegakan hukum yang ditandai dengan penangkapan perahu lambo dan pembakaran barang-barang dari Singapura di Pulau Wangi-wangi.
Peristiwa ini menggugurkan pandangan tentang masyarakat di pulau kecil nan pelosok jauh dari globalisasi dan arus sejarah bangsanya tidak akan ada kemajuan, baik dari segi ekonomi, tren, teknologi dan barang-barang berkelas. Mengambil sepenggal kalimat dari La Ode Rabani, “… dalam perkembangan terkini distempel dengan terdepan, terluar dan tertinggal” (La Ode Rabani: 2018).
Sumber
Kompas, 11 Februari 1983
ADVERTISEMENT
Rabani, La Ode. 2018. “Penyelundupan dan Terbentuknya Kawasan Ekonomi Maritim Wakatobi Tahun 1980an”. Lembaran Sejarah. Vol 12 Nomor 2. pg 132-143