Kumparan Plus - Aksara Kematian.

Resep Sang Penulis

Ragiel JP
Aksara Kematian bisa dibaca di Kumparan plus
7 Februari 2022 2:52 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Arum kembali membuka halaman demi halaman buku di depannya dengan sebal. Ia teringat pertemuannya dengan seorang penulis yang cukup terkenal di kota ini. Sudah banyak buku yang dia tulis, dan semuanya masuk ke jajaran best seller.
"Aku punya beberapa resep," jawab Penulis saat Arum bertanya bagaimana cara jadi penulis terkenal, "apa kamu mau tau?"
Arum mengangguk semangat.
"Lihatlah sekeliling. Begitu banyak cerita yang bisa kamu tulis dengan sesendok imajinasi," ucap Penulis merdu.
Saat itu mereka berada di sebuah taman bunga. Beberapa anak kecil tampak berlarian dan bermain riang, pun dengan anak Arum, Hamdan. Arum mulai berimajinasi, membayangkan cerita di mana semua anak tiba-tiba lenyap dan menyisakan anaknya yang telah memiliki sepasang sayap.
"Apa resep selanjutnya?"
"Akan kujelaskan jika kita bertemu lagi di sini," jawab Penulis sambil tersenyum. "Bermainlah dengan resep pertama dulu. Tulis dengan imajinasimu, apa yang kamu lihat. Lusa kita bertemu lagi di sini, di jam yang sama."
Sepercik semangat menyala dalam benak Arum. Ia kembali mengamati sekeliling, anaknya sedang berlarian mengejar kupu-kupu. Dalam hati Arum sudah bertekad untuk mulai menulis. Dia sudah punya embrio cerita dalam kepala. Penulis itu benar, Arum hanya perlu bermain dengan imajinasi.
***
Dua hari berlalu, Arum kembali bertemu dengan Penulis. Basa-basi, Arum bertanya soal cuaca. Si Penulis menjawab ramah dan mulai bercerita tentang sepasang kumbang yang ditemuinya di jalan.
Arum pun menceritakan progres tulisannya, menceritakan soal peta cerita yang ia buat dengan sesendok imajinasi—seperti saran Penulis. Dengan semangat Arum menceritakan bagaimana ia memperkenalkan tokoh-tokoh dalam cerita, dan bagaimana anaknya jadi tokoh utamanya.
"Perkembangan yang bagus," puji Penulis. "Mau tahu resep selanjutnya?"
Arum mengangguk. Penulis lalu mengeluarkan sebuah buku dengan gambar sepasang tangan yang saling menggenggam di sampulnya, dan nama Penulis di bawahnya. Ia membuka buku itu dan menyodorkan sepotong kertas.
"Membaca adalah resep kedua untuk menjadi seorang penulis," ucap Penulis sambil mengangguk.
Arum kembali mengamati sekeliling dan melihat anaknya melambaikan tangan sambil tersenyum dan mengangkat sekop pasir kecil yang dipegang. Ia kembali mengamati kertas yang diberikan Penulis dan bergumam, mengulang-ulang kalimat di atasnya. "Dua sendok rasa haus membaca... Penulis benar, sepertinya minat bacaku sudah mulai turun."
Ini kali kedua Arum bertemu Penulis dan mencapatkan resep agar bisa menjadi penulis. Foto: Tim Kreatif kumparan
Malamnya, Arum mulai membongkar semua buku koleksinya. Sebagai pecinta genre misteri, Arum juga mulai berburu buku-buku dengan genre tersebut. Ia mulai tenggelam dalam dunia aksara, hingga terkadang rutinitasnya terlupakan dan keteteran. Beruntung ada Hamdan yang selalu menjadi penyemangat.
"Mama, Hamdan lapar," rengek Hamdan. Ibunya sedang larut dalam buku misteri penemuan mayat di dalam hutan.
Arum menutup bukunya dan menggendong anak semata wayangnya itu. "Mau makan apa? Mau Mama buatin omelet kesukaanmu?"
***
Kerja keras Arum berbuah hasil. Cerita yang ia tulis sudah mendekati ending, dan dia mulai bingung bagaimana membuat twist-nya. Puluhan buku sudah dibaca, namun rasanya masih kurang membantu. Belum lagi, Arum masih harus menghadapi ibunya yang mulai cerewet, mengatakan bahwa penulis adalah pekerjaan sia-sia yang tak bisa dibanggakan.
"Tadi Ibu ketemu sama Pak Atmojo." Arum sudah bisa menebak ke mana ara pembicaraan ibunya. "Sebaiknya kamu pikirkan lagi tawaran itu. Ibu yakin Pak Atmojo orang yang baik."
Arum mendebas kesal. "Aku belum mau menikah lagi, Bu. Aku sudah bahagia kok hidup berdua sama Hamdan."
Ibunya terlihat kecewa. "Pikirkan lagi tawaran itu. Ibu kasihan melihatmu banting tulang sendiri. Apalagi kerjaanmu cuma nulis, apa sih yang kamu dapatkan dari itu?"
"Tapi aku menyukainya!" Arum selalu merasa sakit setiap ada yang merendahkan impiannya. "Sebaiknya Ibu pulang. Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Ibu enggak perlu lagi mencampuri urusanku."
Arum membanting pintu setelah ibunya keluar. Dia lalu ingat resep ketiga yang diberikan Penulis di pertemuan terakhir mereka.
"Setelah mempraktikkan semua resep ini, aku yakin kamu bisa menjadi penulis yang baik," katanya saat itu.
Resep terakhir ini tidak mudah. Sudah banyak ucapan miring yang Arum dapatkan karena impiannya menjadi penulis. Bahkan beberapa temannya melontarkan ejekan tiap kali ia menceritakan mimpinya itu. Dan ini membuat Arum sedikit tertekan.
"Ceritanya kurang menarik," ucap salah satu teman saat Arum meminta saran, "harusnya enggak seperti ini. Ceritanya biasa saja. Aku ngantuk saat membacanya."
"Aku enggak suka sama karakternya."
"Kenapa enggak menulis yang vulgar saja? Pasti laku keras."
Arum bergidik setiap ingat saran temannya. Ia punya anak. Entah apa yang Hamdan pikirkan jika di masa depan ia membaca tulisan vulgar ibunya. Tapi Arum hanya bisa diam dan bertekad akan membuktikan bahwa ucapan teman-temannya salah. Arum akan segera menyelesaikan naskahnya, dan cerita yang ia tulis pasti akan diterima di pasar.
Tekad Arum sudah kuat. Ia bahkan menitipkan Hamdan ke rumah ibunya agar bisa menulis dengan tenang. Setelah tiga bulan, di akhir tahun yang dingin, Arum bisa berteriak girang ketika mengetik kata "tamat".
Dengan penuh keyakinan, Arum mencoba menawarkan tulisan itu sebuah penerbit indie. Naskahnya langsung diterima, bulan depan sudah bisa pre-order. Semangat Arum berkobar, ia mencoba memasarkan buku perdananya melalui media sosial. Ia sudah membayangkan berapa ribu eksemplar yang bakal ludes terjual. Arum yakin ceritanya akan disukai pembaca.
Sayangnya impian hanya tinggal impian. Hingga masa pre-order habis tak ada yang berniat membelinya. Malah pihak penerbit sudah mengirimkan tagihan, Arum terpaksa menjual beberapa peninggalan suaminya. Bagaimana mungkin resep jitu yang diberikan Penulis tak berlaku untuknya?
"Apa kubilang, menulis itu pekerjaan yang sia-sia, tidak ada gunanya," sambut ibunya dengan wajah ketus.
Arum hanya diam, menyalakan televisi yang menayangkan berita viral. Seorang anak kehilangan ibunya di hutan. Banyak yang menduga ibu bocah itu tersesat di dunia gaib. Arum berdecak, semua yang berbau mistis memang digandrungi orang.
Arum mengembuskan napas berat seraya memandangi buku pemberian Penulis. Apa yang salah dengan semua ini? Kenapa bukunya tidak laku—meski sudah mengamalkan semua resep pemberian Penulis?
Secarik kertas jatuh saat Arum membuka buku itu dengan asal. Ia terkejut. Tulisan itu sepertinya sengaja diselipkan Penulis sebagai jawaban mengapa buku yang ia tulis tidak laku.
Mendadak ia ingat berita viral yang baru ia tonton. Arum tersenyum. Sebuah rencana besar berkelebat di kepalanya.
*** Bersambung ***
___________________________
Catatan editor: sebagian teks pada cerita ini dialihmediakan menjadi audio. Putar media untuk mendapatkan kisah secara utuh.
Ikuti cerita lengkap “Aksara Kematian” karya Ragiel JP di bawah ini:
Aksara Kematian. Ilsutrasi: Fatah Afrial/Tim Kreatif kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten