Gegara Caper Popularitas, Bikin Runyam Stok Beras

Agil Septiyan Habib
Production Planner di Perusahaan Consumer Goods di Kab. Tangerang, Pernah Kuliah di Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Konten dari Pengguna
3 Desember 2022 10:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agil Septiyan Habib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petani merupakan salah satu yang terdampak situasi runyam stok beras gegara caper popularitas elit | Sumber gambar : pixabay.com / TranDuyet
zoom-in-whitePerbesar
Petani merupakan salah satu yang terdampak situasi runyam stok beras gegara caper popularitas elit | Sumber gambar : pixabay.com / TranDuyet
ADVERTISEMENT
Pagi itu tidak biasanya saya terburu-buru berangkat ke kantor. Nasi goreng yang sudah disiapkan istri untuk sarapan belum sempat saya santap karena takut kesiangan. Hingga dengan persiapan seadanya sepeda motor pun saya geber kencang menuju tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Ayah udah sampai kantor, belum? Jangan lupa sarapan dulu.” Seru istri saya mengingatkan melalui layar WhatsApp sesaat setelah sampai di parkiran.
Iya, Bun. Barusan sudah makan ‘Sari Roti’ kok untuk ganjal perut. Nanti kalau kerjaan sudah agak longgar mau makan nasi.” Kata saya menimpali.
Emang masih belum kenyang habis makan roti?” Tanyanya.
Masih belum. Roti kan cuma untuk selingan. Hehehe” Jawab saya lagi dengan emoji tertawa.
Anda benar sekali, saya adalah penganut “kepercayaan” bahwa kalau belum makan nasi sama artinya dengan belum makan. Terlepas para pakar nutrisi tidak sepakat dengan saya itu tidak jadi soal. Bagi saya, nasi tetap menjadi primadona untuk menuntaskan permasalahan urusan perut lapar. Roti ataupun sumber-sumber karbohidrat lain rasanya masih belum sepadan untuk menggantikan peran nasi sebagai sumber energi kehidupan. Ibarat Paulo Dybala yang tidak bisa menggantikan Messi di timnas Argentina.
ADVERTISEMENT
Lebay? Tidak apalah. Karena sepertinya saya tidak sendiri. Saya yakin masih banyak warga Indonesia lain yang berpandangan sama. Menjadikan nasi sebagai sumber pangan utama. Buktinya, ada begitu banyak penjual pecel ayam yang bertebaran di mana-mana. Dengan nasi putih dan lalapan sebagai menu utama.
Belum lagi jika kita menghitung para penjual nasi padang ataupun warteg yang tersebar di segala penjuru, gang-gang perumahan, hingga kawasan perkantoran. Setiap restoran dan rumah-rumah makan pun hampir tidak pernah terpisahkan dari keberadaan nasi sebagai bagian dari hidangan.
Dan kalau untuk gagah-gagahan, rekam data urusan pangan menyatakan Indonesia sebagai pengonsumsi beras terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Tidak percaya? Cari sendiri saja ya datanya di “mbah google”.
ADVERTISEMENT
Yang ingin saya katakan adalah beras telah menjadi komoditas yang begitu penting bagi kita. Sebagai bahan baku nasi yang ketersediaannya selalu menjadi perhatian. Jangankan mengalami kelangkaan, ketika jumlah stoknya dianggap kurang untuk memenuhi kebutuhan publik selama beberapa bulan mendatang saja alarm bahaya sudah menyala. Biasanya itu terlihat dari kicauan para elit pejabat atau melalui telusuran media yang mencari kabar berita bahwa stok beras sedang bermasalah.
Sayangnya, saya sendiri tidak cukup paham untuk mengetahui siapa gerangan sebenarnya yang memiliki wewenang dan tanggung jawab mengurus ketahanan stok bahan pangan ini. Apakah ketahanan stok beras merupakan domain dari Badan Pangan Nasional (Bapanas)? Ranahnya Badan Urusan Logistik (Bulog) kah ? Menjadi urusan Kementerian Pertanian (Kementan) kah ? Atau teritori Kementerian Perdagangan (Kemendag)? Ataukah yang lainnya?
ADVERTISEMENT
Karena belakangan ini beberapa institusi tersebut terkesan sibuk saling sangkal satu sama lain perihal ketahanan stok beras nasional. Institusi ini mengatakan stok aman, institusi yang lain menyatakan stok rawan. Yang satu menyerukan urgensi impor beras, sementara yang lain menggelorakan stok pangan melimpah. Narasinya berbeda, padahal dari satu poin masalah yang sama.
Bagaimana bisa perihal ketahanan stok beras ini menimbulkan tafsir yang berbeda antar lembaga? Jikalau memang sumber datanya sama, mengapa lembaga yang satu mengatakan kalau stok beras kita tidak aman sedangkan yang lain mengatakan kondisi aman? Sampai di sini saja kita patut mencurigai keabsahan dari data yang dijadikan landasan oleh masing-masing lembaga.
Perihal akurasi data memang sudah menjadi rahasia umum yang anehnya sedari dulu hingga sekarang seperti tidak ada solusi penyelesaian. Semuanya seolah dibiarkan mengambang begitu saja dan baru diributkan manakala status darurat mengemuka. Padahal risiko yang ditimbulkan oleh lemahnya akurasi data ini cukup besar.
ADVERTISEMENT
Kesimpangsiuran data ini salah satunya disebabkan karena ketiadaan atau kurangnya integrasi data secara nasional. Badan Urusan Statistik (BPS) memang dipandang sebagai lumbung data nasional, akan tetapi lembaga-lembaga lain yang mendasarkan kebijakannya pada produk data BPS ini seringkali menafsiri atau mengklaim sebagiannya saja. Atau lebih parah lagi tidak melakukan pembaharuan pada setiap periodenya.
Mengapa hal ini sampai terjadi? Saya curiga bahwa ada tendensi dari masing-masing lembaga tersebut untuk show off atau pamer kinerjanya masing-masing kepada atasan atau dalam hal ini adalah presiden selaku atasan tertinggi para lembaga. Setiap lembaga saling klaim bahwa datanya yang paling benar sehingga usulan mereka pulalah yang paling layak dieksekusi sebagai kebijakan.
Caper popularitas atau upaya memikat perhatian demi mendapatkan kesan baik dari presiden adalah bahaya laten yang mungkin tidak disadari pengaruhnya terhadap kualitas kebijakan yang dihasilkan. Perbedaan data acuan sebenarnya bisa dituntaskan dengan duduk bersama menyamakan persepsi. Karena apabila datanya sama seharusnya kesimpulan yang dihasilkan juga sama. Sepakat stok beras melimpah atau sepakat bermasalah. Sepakat impor atau sepakat swasembada beras.
ADVERTISEMENT
Tapi, langkah kecil ini tidak ditempuh oleh para pimpinan lembaga tadi. Mereka lebih memilih berdebat di ruang publik dan membuat pusing Pak Jokowi. Juga membuat antipati publik yang menyaksikan para elitnya caper popularitas dan pamer ketangkasan palsu dengan harapan langgeng mengisi jabatan.
Padahal gegara caper popularitas itulah data yang mestinya bisa dibenahi justru terabaikan. Demi kepentingan masing-masing lembaga akhirnya kepentingan negara dan rakyat banyak dikalahkan. Alih-alih memberikan keuntungan bagi negara, langkah menutup diri untuk saling berkonsolidasi malah membikin runyam persoalan.
Saya memang tidak menjamin manakala aksi caper popularitas ini dihilangkan lantas akan menuntaskan masalah yang ada. Akan tetapi, setidaknya hal itu akan sedikit mengurai pangkal masalah di balik perbedaan data antar lembaga pemerintah yang selama ini menjadi penghambat kebijakan di negara kita.
ADVERTISEMENT
Semoga.
Salam hangat,
Agil S Habib