Pancasila: Impian Generasi Muda Bosnia Herzegovina

Agnes Okvanni
A former journalist and now a diplomat on training..
Konten dari Pengguna
7 Desember 2019 21:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agnes Okvanni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pancasila. (Foto: freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Pancasila. (Foto: freepik.com)
ADVERTISEMENT
“Indonesia sangat beruntung memiliki ideologi yang dibangun bersama dan mengikat ratusan etnis sebagai bangsa Indonesia. Sementara kami hanya memiliki kurang dari 10 etnis, tapi menyepakati lirik lagu kebangsaan saja tidak bisa.”
ADVERTISEMENT
Hal ini diungkapkan oleh seorang mahasiwa di salah satu universitas di Bosnia dan Herzegovina (BiH) pada saat KBRI Sarajevo melakukan ceramah mengenai Indonesia. Kegiatan semacam ini rutin dilakukan KBRI Sarajevo di berbagai universitas/perguruan tinggi di seluruh wilayah BiH untuk memperkenalkan Indonesia kepada generasi muda di BiH.
Dubes RI untuk BiH, Ibu Amelia Achmad Yani, memberikan paparan mengenai Indonesia kepada mahasiswa BiH. (Foto: KBRI Sarajevo)
Komentar senada kerap didapatkan dari mahasiswa setempat setelah mereka mengetahui fakta mengenai Indonesia, terutama tentang kemajemukannya dan konsep Pancasila sebagai ideologi nasional Indonesia. Mereka tidak dapat membayangkan bagaimana negara sebesar dan demikian majemuk seperti Indonesia dapat menyepakati satu ideologi yang dapat menaungi seluruh perbedaan, menyamakan visi, dan membangun kesetiaan sebagai satu bangsa dan negara.
Terasa miris ketika sejumlah generasi muda BiH dengan pesimistis menyatakan bahwa memiliki kesatuan identitas di BiH hampir tidak mungkin, terutama setelah Perang Bosnia (1992-1995) yang semakin memperdalam ‘jurang’ perbedaan antara ketiga etnis terbesar di BiH, yaitu Bosniak, Kroat dan Serb. Bagi mereka, Pancasila versi BiH, tidak lebih dari sebuah mimpi.
ADVERTISEMENT
Para mahasiswa mengaku lelah dan putus asa, bahkan setelah perang berakhir 24 tahun lalu, situasi politik di BiH tidak kunjung membaik. “Perang fisik memang telah berakhir tahun 1995, tetapi sebenarnya hanya berubah bentuk menjadi perang politik yang tidak kunjung selesai,” ungkap mahasiswa lain.
Perjanjian Dayton memang menghentikan perang, namun perjanjian tersebut juga menginstitusionalkan identitas etnis dengan membagi kekuasaan dan wilayah berdasarkan etnis. BiH mungkin satu-satunya negara yang memiliki tiga presiden yang mewakili ketiga etnis besar (namun tidak mewakili etnis-etnis lainnya). Posisi ketua presiden utama digilir setiap delapan bulan sekali. Tidak jarang ketiganya saling menjegal kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan konstituennya masing-masing.
Sistem pemerintahan yang rumit, tarik menarik kepentingan antar etnis, dan minimnya political will untuk memajukan kepentingan bersama sangat dirasakan oleh para generasi muda. Mereka yang masih optimis, memilih tinggal, bekerja dan berkarya di BiH, namun yang putus asa memilih hengkang dari BiH dan mencari kerja di negara-negara Eropa barat seperti Jerman dan Austria.
ADVERTISEMENT
Menurut data badan statistik setempat, gelombang eksodus warga BiH tercatat sejak tahun 2013. Pada 2018, setidaknya 18.000 tenaga ahli dan pekerja meninggalkan BiH. Diperkirakan gelombang eksodus ini belum akan berhenti bila kondisi politik dan ekonomi BiH tidak kunjung membaik.
Dubes RI untuk BiH bersama dosen dan mahasiswa BiH (Foto: KBRI Sarajevo)
Lesson Learned bagi Indonesia dan Peluang Kerja Sama Bilateral
Menilik pengalaman dan situasi di BiH, sungguh, Indonesia sangat beruntung memiliki Pancasila sebagai identitas nasional dan falsafah bangsa. Apabila melirik kembali ke jaman pra-kemerdekaan, saat BPUPKI dan Panitia Sembilan bergelut menyusun dasar negara ini, dapat dibayangkan betapa sulitnya menyusun dan menetapkan konsep identitas nasional.
Di saat negara lain membutuhkan puluhan tahun, para pendiri bangsa ini membuktikan kejeniusan dan political will mereka dengan merumuskan dan menyepakatinya dalam hitungan bulan saja.
ADVERTISEMENT
Layaknya rumah, Pancasila adalah fondasi. Setelah fondasi terbentuk, baru lah proses membangun dinding dan struktur lainnya dapat dilakukan. Indonesia sudah memiliki fondasi yang kokoh, maka proses pembangunan pun dapat berlangsung dengan lancar.
Namun saat ini, banyak pihak berusaha merusak fondasi tersebut dan menggantinya dengan yang lain yang tidak mencerminkan kemajemukan dan karakter bangsa ini. Hal ini merefleksikan satu hal: Minimnya kebanggaan mereka atas Pancasila. Mereka kurang memahami arti penting Pancasila dan tidak mampu membayangkan sulitnya membentuk sebuah identitas nasional.
Untuk itu diperlukan pendekatan yang berbeda dalam metode pengenalan dan pendalaman Pancasila terutama kepada generasi muda Indonesia. Diperlukan metode yang interaktif dan analisis seperti simulasi. Kerap kali kita harus mengamati sesuatu melalui ‘kacamata’ orang lain, dengan berbagi pengalaman dengan pihak lain memungkinkan kita untuk melihat sesuatu dari sisi yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Di sinilah peluang kerja sama antara Indonesia dan BiH, yaitu dengan membuka komunikasi langsung antara generasi muda mengenai nation-building process. Komunikasi tersebut dilakukan melalui forum pertemuan atau pertukaran mahasiswa. Diharapkan generasi muda BiH dan Indonesia dapat mengenal lebih lanjut nation-building process yang terjadi di negara masing-masing.
Diharapkan dengan mengetahui atau melihat langsung perjuangan bangsa lain untuk merumuskan sebuah identitas nasional, generasi muda Indonesia –terutama yang belum menghargai keberadaan Pancasila– dapat menghargai jerih payah para pendiri bangsa dan akan menjaga warisan mereka.
Kerap kali kita tidak menghargai sesuatu yang kita sudah miliki dan sesuatu yang tidak kita perjuangkan untuk mendapatkannya.
ADVERTISEMENT
Kita tidak perlu bersusah payah membangun dahulu fondasi sehingga dapat langsung bekerja dan berkarya membangun pribadi dan negeri ini. Maka kebanggaan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu dipaksakan, tetapi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari pribadi generasi muda Indonesia.
Garuda Pancasila. Foto: Antara/Muhammad Iqbal