news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Buruh dalam Intaian Bahaya Asbes

11 Januari 2018 11:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sriyono dinyatakan menderita penyakit asbestosis akibat kerja pada April 2017. Lelaki 44 tahun itu memerlukan perjuangan yang relatif lama, tepatnya 10 tahun, untuk mendapat pengakuan dari perusahaan dan pemerintah bahwa dia mengidap asbestosis--penyakit saluran pernapasan akibat menghirup serat-serat asbes yang membuat jaringan paru mengeras--yang disebabkan oleh hubungan kerja (occupational asbestosis).
ADVERTISEMENT
Dengan bantuan advokasi organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang lingkungan atau keselamatan kerja seperti Walhi dan Lion Indonesia, Sriyono akhirnya memperoleh kompensasi Rp 57 juta rupiah lewat skema jaminan kesehatan BPJS Ketenagakerjaan. Jumlah itu tentu saja kelewat kecil dibanding dampak kesehatan yang mesti ditanggung seorang buruh macam Sriyono.
Kasus Sriyono sesungguhnya hanya puncak dari gunung es. Selain Sriyono, diperkirakan masih banyak buruh industri asbes yang rentan terjangkit asbestosis.
Indonesia Asbestos Ban Network (INABAN), organisasi yang bergiat untuk memperjuangkan pelarangan asbes, memperkirakan terdapat sekitar 4.000 buruh yang bekerja di industri asbes di Indonesia. Yang memprihatinkan, kebanyakan dari mereka sama sekali tidak sadar kalau asbes ternyata berbahaya.
Maka Oktober 2016, 14 orang buruh pabrik asbes yang difasilitasi beberapa organisasi nonpemerintah dan serikat buruh, antara lain Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Local Initiative for OSH Network (LION), dan Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk)--menjalani rangkaian pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dari hasil pemeriksaan itu, Anna Suraya, dokter okupasi yang mendampingi mereka, mengungkap bahwa 7 dari 14 buruh yang telah menjalani pemeriksaan kesehatan diduga mengidap gejala asbestosis.
“Dari 14 orang yang melakukan pemeriksaan (di RSPP), memang ada kemungkinan tanda-tanda bahwa paru-paru mereka terekspose oleh asbes. Kami sebut itu asbestosis. Tetapi memang (dugaan ini) harus ditelaah lebih jauh”, kata Anna, Kamis (28/12/2017) .
Sriyono, buruh korban penyakit asbestosis (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Satu dari 7 buruh pabrik asbes yang diduga mengidap asbestosis ialah Joko (bukan nama sebenarnya). Joko, telah bekerja sebagai buruh selama 16 tahun di salah satu pabrik asbes di kawasan industri Karawang, Jawa Barat.
Selama kurun waktu 16 tahun tersebut, pria 39 tahun itu bekerja di berbagai divisi dalam pabrik. Mulai membersihkan kerak endapan asbes, membersihkan gudang penyimpanan asbes (edge runner), hingga mendorong kereta cetakan asbes. Pendeknya, Joko bekerja di tempat-tempat yang paling rentan terpapar debu asbes.
ADVERTISEMENT
“Saya mulai kerja dari tahun 2001. Dulu pertama kali masuk di bagian mekanik empat bulan. Kemudian masuk di bagian produksi. Kerjanya bersih-bersih bekas rak-rak asbes. Endapan asbes. Kalau yang kering-kering nempel di tembok itu dikerok. Kalau yang nempel di bawah tanah, digali. Setelah 10 tahun, saya mengajukan pindah jadi cleaning service. Saya kerja jadi cleaning service dua tahun, sampai ada pengangkatan (pegawai tetap). Sekarang dipindahin ke bagian dorong stekar, cetakan asbes,” kata Joko
Meski diduga mengidap asbestosis, Joko merasa sehat-sehat saja. Menurutnya, selama ini dia tidak pernah mengalami gangguan pernapasan atau sakit di paru-paru. Kalaupun sakit, ia hanya batuk-batuk biasa.
Selain Joko, seorang buruh pabrik asbes yang juga terindikasi menderita asbestosis ialah Wawan (juga bukan nama sebenarnya). Sama seperti Joko, Wawan kini berusia 39 tahun. Ia pun sudah cukup lama bekerja sebagai buruh di pabrik asbes.
ADVERTISEMENT
Wawan tepatnya bekerja di divisi perawatan mesin (maintenance) sejak 2003. Artinya, ia telah 14 tahun menghabiskan waktu sehari-hari di pabrik asbes. Serupa Joko, Wawan mengikuti pemeriksaan kesehatan di RS Pusat Pertamina Jakarta pada Oktober 2016.
Wawan sering merasa sakit--yang ia ibaratkan seperti ditusuk-tusuk jarum--pada bagian dada sebelah kiri. Demikian pula ketika menarik napas panjang, dia kerap merasakan sakit yang sama di bagian dada.
“Suka sakit di sini sih (menunjuk bagian dada sebelah kiri),” ujar Wawan.
Namun, berbeda dengan kasus yang menimpa Sriyono, Joko dan Wawan belum dinyatakan mengidap asbestosis akibat kerja (occupational asbestosis).
Dokter Anna mengatakan, untuk memastikan validitas dugaan asbestosis akibat kerja, masih perlu dilakukan telaah lebih lanjut ke dokter-dokter yang berwenang, misalnya dokter spesialis paru-paru.
ADVERTISEMENT
“Dari yang kami temukan kemarin, ada tanda terekspose oleh asbes. Tetapi temuan saya itu memang masih bisa dikoreksi. Bisa ditelaah lebih lanjut, misal ke dokter spesialis paru-paru”, kata Anna.
Buruh pabrik asbes (Foto: Intan Alfitry Novian/kumparan)
Rentan Celaka
Semua orang mafhum bahwa buruh, karyawan, atau pekerja apapun itu punya satu cara untuk bertahan hidup: menjual tenaga mereka. Tetapi, yang tak semua tahu, di balik kerja keras para buruh, ada di antara mereka yang tak hanya menjual tenaga, tapi--tanpa mereka sadari--juga mengancam mengorbankan keselamatan hidup mereka.
Inilah persoalan besar yang dialami oleh buruh-buruh di pabrik asbes. Mereka sama sekali tidak tahu bahaya yang mengintai saat bekerja. Padahal, setiap harinya, mereka bersinggungan dengan materi yang berpotensi membahayakan tubuh: asbes.
ADVERTISEMENT
Vincent Cogliano, peneliti kanker International Agency for Research on Cancer WHO, seperti dilansir BBC pada 21 Juli 2010 menyatakan, “Chrysotile (asbes putih) dan jenis-jenis asbes lain menyebabkan kanker paru-paru dan mesotelioma, dan itu sudah diketahui sejak 50 tahun lalu.”
Cogliano menambahkan, “Menurut saya, risiko-risiko itu sama bahayanya dengan yang disebabkan oleh zat-zat karsinogen (yang memicu kanker), kecuali asap tembakau. Jadi, ekspor asbes yang masih berlanjut, juga penggunaan chrysotile, akan meningkatkan insiden kanker paru-paru dan mesotelioma dalam beberapa dekade ke depan.”
Pernyataan Cogliano itu diamini Anna, yang juga menjabat Kepala Bidang Pengembangan Ilmu Asosiasi Dokter Okupasi Indonesia. Menurutnya, asbes jenis apapun berbahaya bagi kesehatan.
Asbes yang pecah akan menjadi serat tipis berukuran mikro yang mudah sekali terhirup dan masuk ke paru-paru. Karena serat asbes berukuran kecil dan tajam, maka ketika sudah terhirup, serat itu akan menembus ke paru-paru. Dan saat sudah masuk ke paru, maka dinding pelapis paru (pleura) akan menebal.
ADVERTISEMENT
“Kita kenal asbes putih dan asbes biru. Yang sudah sangat dikenal berbahaya itu asbes biru. Ternyata dengan berjalannya waktu, asbes lain juga bisa menyebabkan kanker dan penyakit lain. Hanya waktu (inkubasi)nya saja yang lebih panjang,” kata Anna.
“Tanda jika asbes itu bereaksi di paru, kita akan melihat pelapis paru menebal,” imbuhnya.
Penebalan dinding pelapis paru itu dapat memicu penyakit-penyakit terkait asbes (asbestosis related diseases) seperti kanker mesotelioma, kanker paru, kanker laring, dan kanker ovarium.
Kanker mesotelioma, ujar Anna, 90 persen disebabkan oleh asbes. Jaringan kanker pada mesotelioma melapisi paru-paru, lambung, jantung, dan organ lain. Penderitanya akan mengalami gejala batuk, nyeri dada, dan sesak napas.
Bono, Sekjen Serbuk (Foto: Intan Alfitry Novian/kumparan)
September 2017, muncul laporan berjudul “Global Burden of Diseases, Injuries, and Risk Factors Study 2016” (GBD 2016) di jurnal kesehatan The Lancet. Laporan yang didanai Bill & Melinda Gates Foundation dan Bloomberg Philanthropies itu salah satunya menyorot kasus kematian yang disebabkan oleh paparan asbes di tempat kerja (occupational asbestos exposures) sepanjang tahun 2016.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan tersebut, dalam lingkup global, pada 2016 terdapat 222 ribu kasus kematian akibat paparan asbes di tempat kerja. Jumlah itu meliputi kematian akibat mesotelioma (27.612), kanker paru (181.140), asbestosis (3.495), serta kanker laring dan ovarium (9.765).
Masih menurut laporan itu, khusus untuk di Indonesia, tercatat telah terjadi 984 kasus kematian akibat paparan asbes di tempat kerja. Angka itu mencakup mesotelioma (337), kanker paru (556), asbestosis (15), dan kanker laring serta ovarium (76).
Ironisnya, seperti ditegaskan Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) Subono, banyak buruh industri asbes yang tak sadar dengan bahaya debu asbes.
Subono mengatakan, ketika ia masih bekerja di pabrik asbes sebelum 2013, ia dan kawan buruh lainnya tak acuh saja saat sekujur tubuh mereka terpapar debu asbes.
ADVERTISEMENT
“Dulu kami nggak tahu bahaya asbes. Kami makan, ya (di) tangan banyak (debu) asbes, cuma dilap-lap, gitu. Kami makan bareng pakai tangan. Kalau malam istirahat, kadang kami duduk sambil ngopi, badan (debu) asbes semua,” ujarnya kepada kumparan di Sekretariat Serbuk, Karawang, Jawa Barat, Kamis (4/1).
Kini, setelah sadar dengan bahaya debu asbes, Subono dan kawan-kawannya di Serbuk begitu terusik dengan fakta minimnya kesadaran rekan-rekan mereka di pabrik asbes atas keselamatan diri sendiri.
“Kami menginisiasi (menjadikan) setiap hari Senin sebagai hari masker. Tapi teman-teman belum menyadari pentingnya alat keselamatan. Alasannya (malas pakai masker): nggak nyaman,” kata Subono.
Namun, tak semua buruh malas mengenakan masker. Joko dan Wawan termasuk di antara mereka yang tertib bermasker ketika bekerja. Joko, yang sehari-hari mendorong kereta cetakan asbes, mengatakan menggunakan masker moncong babi atau respirator double mask dan seragam kerja.
ADVERTISEMENT
Sementara Wawan yang sehari-hari bekerja di bagian perawatan mesin, menggunakan masker 3M tanpa dilengkapi alat pengaman diri lain.
Masker 3M dan respiratory mask. (Foto: entersafety.com; alatsafety.net)
“Saya pakai masker doang sih. Kalau baju ya baju biasa. Yang di bagian operator edge runner ada yang dikasih baju warna putih, tapi sama operatornya jarang dipakai. Kalau buat mekanik nggak dikasih baju keselamatan. Kalau ada masalah, (misal) karung asbestos berceceran di bawah, baru dia pakai,” kata Wawan.
Pun meski tertib menggunakan masker, bahaya paparan debu asbes tak hilang begitu saja. Sebab pakaian kerja mereka yang terpapar debu asbes di pabrik, sering dibawa pulang ke rumah. Artinya, keluarga mereka di rumah pun ikut terkena risiko terpapar.
Kirman, salah satu anggota Serbuk, mengatakan buruh pabrik asbes sesungguhnya dilengkapi dengan alat pelindung diri untuk melindungi seluruh tubuh mereka dari bahaya paparan debu asbes. Alat-alat itu masker, sarung tangan, dan pakaian khusus sesuai dengan standar Organisasi Buruh Internasional (ILO).
ADVERTISEMENT
Namun hingga kini, tak semua buruh menggunakan alat-alat pelindung diri tersebut ketika bekerja.
Tak Cuma Buruh
Risiko terekspose asbes tak berhenti di tempat kerja. Buruh asbes bukan satu-satunya pihak yang berisiko terjangkit penyakit akibat asbes. Sebab ancaman asbes nyatanya telah melampaui ruang-ruang produksi. Buruh atau pihak-pihak yang tak ikut serta dalam proses produksi asbes, atau istilahnya bystander, juga punya risiko tak kurang bahaya.
Arthur L.Frank, peneliti kesehatan Drexel University, dan T.K Joshi, peneliti kesehatan okupasional Maulana Azad Medical College New Delhi, menyatakan hal itu dalam jurnal mereka yang berjudul “The Global Spread of Asbestos” yang dipublikasikan di jurnal Annals of Global Health Volume 80, Issue 4.
Mereka menyebut ada beberapa kelompok bystander yang berpotensi terjangkit penyakit akibat asbes. Menurut Frank dan Joshi, ada potensi bagi buruh-buruh lain, meski mereka bukan buruh pabrik asbes, untuk terpapar debu asbes, seperti buruh konstruksi dan perakitan kapal yang bekerja di lingkungan kerja yang tidak menerapkan standar-standar keamanan dan keselamatan yang baik.
ADVERTISEMENT
Selain buruh, Frank dan Joshi juga menggarisbawahi risiko anak-anak dan anggota keluarga buruh yang tekontaminasi debu asbes (household and family exposure). Sebab debu asbes bisa menempel di seragam atau pakaian kerja buruh-buruh yang kemudian dibawa pulang ke rumah.
Pihak terakhir yang juga berisiko tinggi terpapar debu asbes adalah masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik atau pertambangan asbes (neighborhood exposure). Ini pernah terjadi di Afrika Selatan pada 1960. Saat itu, peneliti kesehatan J. Cristopher Wagner melaporkan bahwa dari 232 kasus mesotelioma yang terjadi di Afrika Selatan sepanjang 1956-1970, 76 di antaranya terjadi pada masyarakat yang tinggal di sekitar area pertambangan asbes biru.
Pemukiman Beratap Asbes (Foto: Bay Ismoyo/AFP)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan 125 juta orang menjumpai peralatan atau benda berbahan asbes di tempat kerja. Sementara Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan 100 ribu buruh meninggal setiap tahun akibat penyakit yang berhubungan dengan asbestos.
ADVERTISEMENT
Dr. James Leigh, mantan direktur Centre for Occupational and Environmental Health Sydney School of Public Health Australia memprediksi bahwa di tahun 2030, kematian terkait asbes akan mencapai angka 5-10 juta jiwa. Angka estimasi itu, menurut Leigh, masih bersifat “konservatif”. Apabila asbes tak dilarang di negara-negara berkembang, angka itu akan menggelembung jauh lebih besar.
Maka, tak tepat memandang bahaya debu asbes “sekadar” ancaman bagi buruh pekerjanya. Ini bukan cuma tentang mereka, tapi kepedulian kita.