Membayangkan Hidup dengan Teknologi Facial Recognition

4 Desember 2017 16:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peluncuran iPhone X (Foto: REUTERS/Stephen Lam)
zoom-in-whitePerbesar
Peluncuran iPhone X (Foto: REUTERS/Stephen Lam)
ADVERTISEMENT
Pada 3 November lalu, perusahaan teknologi Apple baru saja memperkenalkan produk telepon pintar terbarunya: iPhone X. Produk ini membawa terobosan baru di industri telepon pintar global melalui teknologi canggih facial recognition yang terdapat pada fitur Face Id.
ADVERTISEMENT
Dengan teknologi ini, pengguna Iphone X tidak perlu repot-repot lagi untuk memencet tombol menu atau password untuk membuka telepon pintar mereka. Cukup dengan melihat layar, maka iPhone X akan terbuka dengan sendirinya.
Ketika telepon berdering pun anda hanya perlu menatap layar telepon pintar, dan secara otomatis volume nada dering akan mengecil dengan sendirinya. Menurut kritikus teknologi David Phelan kepada Independent, melalui fitur facial recognition ini, Apple seolah-olah telah melakukan ilmu sihir.
Tapi apa benar kalau Apple adalah perusahaan pertama yang menggunakan teknologi facial recognition? Pada kenyataanya tidak. Sebelum Apple, teknologi ini sudah beredar dan dapat digunakan di beberapa telepon pintar, salah satunya adalah Samsung Galaxy S8. Namun, teknologi itu sangat mudah diretas. Hanya bermodalkan foto saja, siapapun dapat mengakses telepon pintar milik orang yang menggunakan teknologi facial recognition.
ADVERTISEMENT
Yang membedakan fitur Face Id Apple dengan teknologi sebelumnya adalah soal kecanggihan. Apple mengklaim, kemungkinan diretasnya teknologi Face Id ini hanyalah satu banding satu juta. Yang jelas, apa yang dilakukan Apple ini hanyalah awal dari persaingan merebut pangsa pasar telepon pintar. Dengan kata lain, ini baru langkah awal dari mekanisme pembiasaan teknologi facial recognition.
Ilustrasi Face Recognition di Kanada (Foto: Eric Gaillard)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Face Recognition di Kanada (Foto: Eric Gaillard)
Mempermudah Hidup
“Pada tahun 2018 kita akan dipaksa mengahadapi masa depan”.
Kalimat itu muncul dalam video pendek yang diunggah oleh majalah The Economist di akun youtube milik mereka. Dalam video berjudul Facial Technology Will Change the Way We Live itu, pada 2018 nanti, teknologi facial recognition diperkirakan akan menjadi teknologi yang begitu lekat pada kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Manusia akan dipaksa menggunakan teknologi facial recognition dalam keseharian mereka, mulai dari membuka layar telepon pintar, melakukan transaksi keuangan, sampai menarik uang di ATM. Suka tidak suka, itulah perubahan yang dihadirkan oleh perkembangan teknologi. Seperti yang dikatakan oleh narator pada video tersebut, kita akan dipaksa untuk menghadapinya.
Menurut salah satu jurnalis teknologi The Economist, Hal Hodson, teknologi facial recognition ini telah berkembang dengan pesat di China. Ketika kita baru membiasakan diri membuka kata kunci telepon pintar hanya dengan memandangnya saja, maka di China, orang-orang sudah menggunakan teknologi facial recognition untuk memesan makanan di KFC.
Pembeli memandangi alat Face Recogbnbition (Foto: Stringer)
zoom-in-whitePerbesar
Pembeli memandangi alat Face Recogbnbition (Foto: Stringer)
Melalui teknologi ini, konsumen tidak perlu lagi mendatangi meja pemesanan. Cukup dengan memandang kamera, KFC akan langsung memprediksi makanan apa yang akan Anda pesan berdasarkan perkiraan usia dan suasana hati. Prediksi menu tersebut akan muncul di layar pemesanan, bersama dengan menu alternatif apabila ternyata prediksi tersebut keliru.
ADVERTISEMENT
Li Jiang Wei, salah seorang pelanggan di KFC tersebut, menceritakan pengalamannya setelah mencoba menggunakan mesin facial recognition. “Ini adalah makanan yang kupesan kemarin, tapi aku tidak menyukainya lagi. Luar biasa kalau mesin ini bisa mengetahui apa yang ingin kumakan di masa depan. Tapi untuk saat ini mesin ini ternyata tidak pintar-pintar amat,” ujarnya.
KFC berencana untuk memperluas penggunaan teknologi ini ke 5.000 gerai KFC lain di seluruh China. Mereka juga menekankan kalau data tentang kebiasaan makan para pelanggan yang berada di tangan mereka dalam keadaan “sangat aman” dan “tidak akan digunakan untuk tujuan lain”.
Tidak hanya di gerai KFC saja. Teknologi facial recognition yang dikembangkan oleh perusahaan teknologi Baidu, juga telah digunakan sejak 2016 silam sebagai alat verifikasi identitas pengunjung di taman rekreasi Wuzhen.
ADVERTISEMENT
Seperti dikutip dari The Verge, Direktur Baidu Institute of Deep Learning, Yuanqing Lin, mengatakan bahwa para pengunjung taman hanya akan difoto sekali sebelum masuk. Setelah itu, pengunjung akan bebas masuk ke dalam wahana-wahana tanpa ada pengecekan fisik lagi. Proses verifikasi di tiap wahana itu akan dilakukan secara otomatis dengan teknologi facial recognition lewat 10 kamera di gerbang masuk tiap wahana taman.
Amazon GO (Foto: Elaine Thompson)
zoom-in-whitePerbesar
Amazon GO (Foto: Elaine Thompson)
Selain China, gerai ritel Amazon Go di Seattle, Amerika Serikat, juga diperkirakan telah menggunakan teknologi facial recognition. Dikutip The Verge, kita tak perlu mengantre di kasir ketika berbelanja di Amazon Go.
Kita hanya perlu masuk toko, memilih barang yang diinginkan, dan keluar dari toko. Persis seperti yang dilakukan oleh pengutil. Bedanya, setelah mengambil barang, Amazon akan mengirim tagihan ke akun Amazon kita.
Peneliti AI Michal Koninski (Foto: Stanford Graduate School of Business)
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti AI Michal Koninski (Foto: Stanford Graduate School of Business)
Medium untuk Memprediksi
ADVERTISEMENT
“AI (Artificial Intelligence), dengan data yang cukup, dapat memberi tahu apa saja tentang siapa saja. Pertanyaannya, sebagai bagian dari masyarakat, apakah kita ingin tahu?”
Pernyataan itu disampaikan oleh Brian Brackeen, CEO perusahaan facial recognition Kairos dalam sebuah wawancara dengan Washington Post. Reaksi itu muncul pasca kontroversi mengenai kemampuan teknologi facial recognition dalam memprediksi orientasi seksual seseorang.
Awal September lalu, dua orang peneliti asal Stanford University, Michal Kosinski dan Yilun Wang, merilis hasil studi mereka di Journal of Personality and Social Psychology. Penelitian itu mengemukakan bahwa teknologi facial recognition dapat memprediksi orientasi seksual seseorang hanya melalui pemindaian sebuah foto.
Menurut hasil studi tersebut, teknologi facial recognition dapat memprediksi orientasi seksual seorang laki-laki dengan tingkat akurasi mencapai 81 persen. Sementara, tingkat keberhasilan pemindaian orientasi seksual lewat sebuah foto itu hanya akan mencapai 71 persen untuk kalangan perempuan. Sedangkan, apabila menggunakan lima buah foto, tingkat akurasi meningkat sebesar 91 persen untuk laki-laki dan 83 persen untuk perempuan.
ADVERTISEMENT
Mereka mengklaim tingkat akurasi ini jauh mengungguli prediksi yang dapat dilakukan manusia. Tingkat akurasi seseorang dalam menilai orientasi seksual laki-laki hanya mencapai 61 persen, sementara terhadap perempuan hanya 54 persen. Para peneliti ini mengungkap, bahwa bentuk muka, ekspresi, dan dandanan adalah elemen-elemen yang kredibel untuk menentukan orientasi seksual seseorang: apakah orang itu gay atau hetero.
Menurut Kosinski, apabila teknologi ini mampu memprediksi orientasi seksual seseorang, di masa depan facial recognition akan digunakan untuk fungsi yang lebih jauh lagi. Perkiraan-perkiraan yang mungkin dibuat meliputi: ideologi politik, tingkat inteligensi, hingga kecenderungan seseorang untuk melakukan aksi kriminal.
China Menuju 1984 (Foto: Sijia Jiang)
zoom-in-whitePerbesar
China Menuju 1984 (Foto: Sijia Jiang)
Dalam riset pendahuluan yang ia lakukan, Kosinski mengklaim bahwa AI efektif dalam menebak ideologi politik seseorang hanya berdasarkan pada wajah mereka. Menurutnya terdapat kaitan antara fitur-fitur di wajah seseorang dengan preferensi politik mereka.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, ini mungkin dilakukan mengingat banyak riset menunjukkan bahwa preferensi politik seseorang lebih bersifat turunan. Itu berarti, preferensi politik kemungkinan besar berkaitan dengan faktor genetik yang dapat dideteksi lewat perbedaan-perbedaan wajah.
Kosinski mencontohkan, dalam studi sebelumnya ditemukan bahwa politisi konservatif cenderung lebih atraktif dibanding politisi liberal, kemungkinan karena karena orang-orang berpenampilan menarik menjalani hidup lebih beruntung dan lebih mudah.
Artificial Intelligence, kata Kosinski, akan berfungsi lebih baik untuk menentukan orang-orang berpaham politik ekstrem, baik kiri ataupun kanan. Sementara, ia akan menjadi kurang efektif untuk memberi penilaian kepada orang-orang yang pandangan politiknya berada di tengah-tengah.
“Skor (konservatif) tinggi oleh AI akan menunjukkan bahwa seseorang hampir pasti berpandangan politik konservatif,” ucapnya, seperti dikutip dari The Guardian.
ADVERTISEMENT
Dengan berbagai hasil penelitian tersebut, akan sangat mungkin teknologi facial recognition digunakan secara masif oleh pemerintah, ormas keagamaan, sampai kalangan perusahaan. Teknologi itu akan sangat berguna untuk memindai orientasi seksual, pandangan politik, sampai kecenderungan kriminal.
Meski begitu, sama dengan berbagai teknologi canggih lain, tujuan profetik dikembangkannya teknologi bisa saja menjadi pisau bermata dua yang justru menghadirkan banyak kerugian.
Barangkali, secara tak sadar kita tengah menyongsong dunia seperti yang dibayangkan oleh George Orwell dalam novelnya 1984. Bedanya, di dunia Orwell kita hanya akan diteror oleh pemerintah. Sementara, di kehidupan nyata, kita juga bisa dieksploitasi habis-habisan oleh korporasi.
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!