Takdir Tanah Kudeta: 50 Tahun, 200 Kup Terjadi di Afrika

Konten dari Pengguna
17 November 2017 23:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agritama Prasetyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peta Afrika. (Foto: qimono/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Peta Afrika. (Foto: qimono/Pixabay)
ADVERTISEMENT
Percobaan kudeta yang berlangsung di Zimbabwe saat ini sesungguhnya bukan peristiwa tak lazim di Afrika. Sejarah menunjukkan, sejak berakhirnya era kolonialisme di Afrika, setidaknya telah terjadi 200 percobaan kudeta di seantero kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Angka itu, 200, menasbihkan tanah Afrika sebagai salah satu wilayah di muka bumi yang paling sering dilanda percobaan kudeta.
Menurut data African Development Bank (2012), dari 200 lebih percobaan kudeta militer di penjuru Afrika sejak era 1960-an, 90 di antaranya berhasil menggulingkan rezim berkuasa, sekaligus menegakkan pemerintahan baru.
Kawasan Afrika bagian barat yang terdiri dari 17 negara, menjadi kawasan dengan angka percobaan kudeta tertinggi di Afrika. Di area itu, separuh lebih dari seluruh percobaan kudeta di Afrika terjadi--artinya 104 kali.
Sementara Afrika bagian selatan menjadi kawasan yang relatif stabil, dengan total percobaan kudeta sebanyak 15 kali.
Apapun, angka 200 sama sekali tak sedikit. Afrika seolah ditakdirkan untuk terus mengalami percobaan kudeta.
ADVERTISEMENT
Mengenai hal itu, para pakar tak dapat memberikan jawaban yang bersifat generik. Sebab kudeta di tiap negara di Afrika mempunyai latar belakang, penyebab, dan efek yang berbeda. Namun setidaknya, terdapat kondisi-kondisi yang dapat menjelaskan mengapa hal tersebut jamak terjadi di Afrika.
Kudeta militer di Libya (Foto: AMR NABIL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Kudeta militer di Libya (Foto: AMR NABIL / AFP)
Karakter Kelompok Militer
Militer di Afrika, seperti halnya militer di negara-negara eks kolonial lain, memiliki keterlibatan mendalam terhadap urusan-urusan sipil.
Pakar Ilmu Politik Eric A. Nordlinger pernah mengatakan, kaum militer di negara baru merdeka umumnya mempunyai kesempatan yang besar untuk terlibat pada urusan sipil. Alasannya, terdapat anggapan bahwa kemerdekaan yang diperoleh adalah hasil dari jasa dan heroisme kaum militer dalam merebut kemerdekaan.
Di Afrika sendiri, ada banyak negara yang berhasil merebut kemerdekaan melalui jalan pemberontakan dan perang. Sebut saja Aljazair, Angola, Guinea-Bissau, Kenya, Madagaskar, Mozambik, dan Namibia.
ADVERTISEMENT
Ketika kepemimpinan sipil di negara-negara Afrika yang baru merdeka itu dianggap gagal, maka kelompok militer, seperti diungkapkan oleh Paul Collier dan Anke Hoeffler dalam jurnal Coup Traps: Why does Africa have so many Coups d’Etat?, merasa memiliki kewajiban untuk menyelamatkan negara.
Kudeta di Mesir. (Foto: FETHI BELAID / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Kudeta di Mesir. (Foto: FETHI BELAID / AFP)
Pemicu Kudeta Marak
Seorang pakar ilmu politik asal Amerika, Eddward Luttwak, mengemukakan teori tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya kudeta. Dalam Coup D’Etat: A Practical Handbook, ia menyatakan setidaknya terdapat beberapa kondisi yang memungkinkan terjadinya kudeta, antara lain kemerosotan ekonomi, konsentrasi kekuasaan politik di tangan segelintir elite, dan pengaruh internasional.
Salah satu atau kombinasi antara kondisi-kondisi tersebut, umumnya dapat melahirkan kudeta militer di Afrika.
Soal kemerosotan ekonomi, agaknya Afrika sudah memiliki reputasi sebagai kawasan dengan perkembangan ekonomi yang buruk. Pada 2012, Africa Development Bank merilis penelitian mereka tentang kerentanan politik di negara-negara Afrika terhadap fenomena kudeta militer.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan berjudul Political Fragility in Africa: Are Military Coups d’Etat a Never-Ending Phenomenon, AfDB berusaha menarik benang merah antara buruknya performa ekonomi dan maraknya usaha percobaan kudeta di kawasan itu.
Hasil penelitian AfDB cukup menarik: bahwa ada keterkaitan erat antara rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi dengan maraknya fenomena kudeta.
Studi Collier dan Hoeffler juga menyatakan hal serupa. Masalah di bidang ekonomi, terutama rendahnya pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi, umumnya akan menjadi sumber legitimasi kelompok militer untuk melancarkan kudeta.
Negara-negara di kawasan Afrika seperti Burundi, Republik Afrika Tengah, Sierra Leone, dan Niger, adalah contoh negara yang sejak dekade 1960-an memiliki rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi rendah (tak sampai 2 persen), dan sedikitnya telah mengalami 7 kali percobaan kudeta.
ADVERTISEMENT
Namun kenyataannya, ada juga negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang mengalami angka percobaan kudeta militer tinggi. Contohnya Guinea Khatulistiwa yang rata-rata pertumbuhan ekonominya 12,4 persen, dan mengalami 5 kali percobaan kudeta.
Perayaan usai kemenangan kudeta militer Kongo (Foto: STR / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Perayaan usai kemenangan kudeta militer Kongo (Foto: STR / AFP)
Laporan AfDB juga menyoroti rapuhnya institusi politik di negara-negara Afrika, yang juga turut mendorong berbagai upaya percobaan kudeta.
Setelah berhasil memperoleh kemerdekaan, banyak negara di Afrika gagal membangun struktur politik demokratis. Malahan, mereka kerap terjebak ke dalam struktur politik otokratik yang dipenuhi korupsi, kesewenang-wenangan, dan tata kelola pemerintahan buruk.
Berdasarkan data AfDB, pada awal dekade 1960-an, hanya ada 6 negara di Afrika yang dipimpin oleh rezim demokratis. Sementara 23 negara lainnya berakhir dengan sistem pemerintahan otokratik.
Namun, negara dengan sistem politik demokratis tak serta-merta kebal terhadap kudeta militer. Pada 1994, Gambia, negara demokratis yang saat itu dipimpin oleh Presiden Dawda Jawara, digulingkan melalui kudeta oleh perwira muda militer, Letnan Yahya Jammeh.
ADVERTISEMENT
Kudeta tersebut sekaligus mengakhiri 30 tahun sistem demokrasi multipartai di negara itu.
Contoh lebih dramatis terjadi di Mali. Pada awal dekade 1990-an, gerakan prodemokrasi di Mali berhasil menggulingkan kekuasaan diktator militer Jenderal Moussa Traore yang telah berkuasa selama 22 tahun.
Jatuhnya Traore sekaligus menandai berakhirnya era pemerintahan otokratik dan dimulainya sistem pemerintahan demokrasi multipartai di Mali.
Namun, setelah bertahan selama dua dekade, pada 2012 Presiden Mali Amadou Toumani Toure dikudeta oleh militer yang dipimpin oleh perwira menengah, Amadou Sanogo.
Belakangan, atas desakan organisasi regional Afrika Barat (ECOWAS), Sanogo bersedia mengembalikan kekuasaan politik ke tangan kelompok sipil.
Selain sejumlah kondisi di atas, tak bisa pula dinafikan peran serta pengaruh aktor-aktor internasional terhadap fenomena percobaan kudeta yang terus berlangsung di Afrika.
ADVERTISEMENT
Dalam laporannya, AfDB menyoroti konteks sosio-politik internasional yang sedikit banyak memengaruhi fenomena kudeta di Afrika dalam beberapa periode. Pada dekade 1970 sampai 1980-an, motif ideologis yang dilatarbelakangi konteks Perang Dingin banyak memengaruhi kudeta militer di kawasan itu.
Contoh terbaik atas hal tersebut adalah kudeta yang berlangsung di Burkina Faso pada 1983. Kudeta ini dipimpin oleh Kapten Thomas Sankara, seorang perwira muda militer revolusioner, yang karena kebijakan-kebijakan antiimperialisme dan antikolonialisme yang dipegangnya, dijuluki sebagai Che Guevara-nya Afrika.
Sementara di akhir dekade 1980-an, program restrukturisasi ekonomi (SAPs) yang dipaksakan oleh Bank Dunia dan IMF menyebabkan banyak negara-negara di Afrika mengalami krisis ekonomi. Krisis tersebut, menurut AfDB, telah menimbulkan instabilitas politik di banyak negara Afrika, terutama karena rusaknya hubungan patron-klien antara elite politik yang memicu terjadinya kudeta militer.
Kendaraan dan pasukan militer di Harare, Zimbabwe (Foto: REUTERS/Philimon Bulawayo)
zoom-in-whitePerbesar
Kendaraan dan pasukan militer di Harare, Zimbabwe (Foto: REUTERS/Philimon Bulawayo)
Meski kudeta telah menjadi hal yang lazim di Afrika, tetapi efek di setiap kudeta tersebut tidak melulu melahirkan rezim pemerintahan militer yang otoriter. Sejarah juga mencatat, setidaknya ada beberapa kudeta militer yang dilakukan untuk menyediakan panggung bagi terciptanya pemerintahan sipil yang demokratis.
ADVERTISEMENT
Seorang peneliti politik Afrika, Sebastian Elischer, mencatat fenomena yang lazim disebut sebagai “The Good Coup” ini pernah terjadi beberapa kali, seperti pada kudeta di Mali 1991, kudet di Lesotho 1991, kudeta di Nigeria pada 1999 dan 2000, kudeta di Guinea pada 2008, dan kudeta Mali 2012.
Hingga pada 14 November 2017, militer Zimbabwe melancarkan percobaan kudeta atas kekuasaan rezim diktator Robert Mugabe. Atas percobaan kudeta itu, banyak pihak masih menduga-duga latar belakang dan dampaknya.
Yang jelas, angin segar dan harapan baik bertiup: semoga militer Zimbabwe akan menyediakan panggung untuk memulai demokratisasi di Zimbabwe.