news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pengunduran Pemilu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Hanya Bikin Malu

Agum Pangku Raja Silalahi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas HKBP Nomensen Medan (Ketua Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Medan)
Konten dari Pengguna
5 Maret 2023 20:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agum Pangku Raja Silalahi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pengadilan : https://www.pexels.com/photo/brown-wooden-gavel-on-brown-wooden-table-6077326/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengadilan : https://www.pexels.com/photo/brown-wooden-gavel-on-brown-wooden-table-6077326/
ADVERTISEMENT
Kita sempat dibuat gusar dan kesal dengan pencopotan Hakim Aswanto hingga penyuapan Hakim Agung Gazalbah Saleh yang rasa-rasanya belum saja satu semester berlalu. Kemudian munculnya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang mengundang tanda tanya.
ADVERTISEMENT
Di tengah santernya isu gorengan politik penundaan pemilu hingga Jokowi tiga periode, putusan ini akan memperkeruh situasi dinamika politik nasional yang rasa-rasanya selalu saja dibombardir isu liar.
Putusan ini berawal dari Partai Rakyat Adil Makmur biasa disingkat PRIMA merupakan partai politik yang secara usia masih sangat muda sebab partai ini didirikan pada tahun 2021 oleh Agus Jabo Priyono yang merupakan eks ketua umum Partai Rakyat Demokratik atau biasa disingkat PRD.
Partai Prima tidak terima akan isi daripada berita acara verifikasi ulang yang dikeluarkan oleh KPU pada tanggal 22 Oktober 2022, Partai Prima sendiri mengaku bahwa sudah memenuhi persyaratan verifikasi yang ditentukan oleh KPU yang telah diatur dalam Pasal 173 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, bahkan Agus Jabo Priyono mengaku sudah melewati syarat minimal.
ADVERTISEMENT
Verifikasi partai sendiri masih dinilai "dicurangi" oleh beberapa pihak terkait dengan murninya proses verifikasi. Hal ini sempat terjadi pada Rabu (14/12/2022) bahwa KPU mengeluarkan keputusan kontroversial yang menyatakan Partai UMMAT tidak lolos verifikasi faktual untuk pemilu tahun 2024.
Kemudian kembali dinyatakan lolos pasca diajukannya gugatan ke Bawaslu seperti memperkuat lemahnya prosedural atau integritas dalam proses ini. Ditambah beredarnya rekaman telepon upaya “penjegalan” Partai UMMAT dalam proses verifikasi semakin memperkuat kecurigaan akan proses verifikasi.

Keputusan KPU Bukan Objek Pengadilan Negeri

Diluar daripada kecurigaan kita terhadap proses verifikasi yang merupakan tanggung jawab daripada verifikator yakni KPU sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 173 ayat (1) Undang-undang Pemilu. Kita akan mempersoalkan bagaimana bisa seorang Hakim Pengadilan Negeri menerima hasil verifikasi faktual partai sebagai suatu gugatan perdata?
ADVERTISEMENT
Dalam berita yang beredar, bahwa gugatan tersebut pernah dilayangkan oleh Partai PRIMA ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN namun ditolak. Pasalnya secara kompetensi absolut PTUN merupakan pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara terkait dengan keputusan administratif.
Keputusan administrasi pemerintahan sendiri dinyatakan dapat menjadi objek PTUN apabila sifat daripada administratif tersebut adalah bersifat final (lihat pasal 87 Undang-undang Administrasi Pemerintahan). Permasalahannya adalah, Partai PRIMA tidak menunggu hasil keputusan final yakni surat keputusan daripada KPU mengenai hasil verifikasi ulang dan malah menjadikan berita acara sebagai objek gugatan yang berakhir penolakan oleh PTUN.
Partai Prima tidak kehilangan akal, mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum ditempuh. Letak kesalahan terjadi ketika Hakim PN Jakarta Pusat yang mengadili perkara a quo menerima gugatan tersebut sebagaimana perbuatan melawan hukum biasa (onrechmatige daad).
ADVERTISEMENT
Padahal secara terang terdapat dua subjek dalam hal ini yakni KPU yang notabene Lembaga Negara sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 dan Partai Prima yang merupakan Badan Hukum. Sehingga secara gamblang subjek dari perkara ini sudah lagi tidak sekedar perkara perbuatan melawan hukum biasa.
Melihat bunyi PERMA Nomor 2 Tahun 2019 yang menetapkan bahwa perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau pejabat Pemerintah (Onrechtmatige Overheidsdaad) merupakan tindakan pemerintah sehingga menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Jadi sangatlah terang dan umum diketahui bahkan oleh orang yang awam hukum jikalau hal ini bukan lagi wewenang Pengadilan Negeri. T. Oyong, H.Bakrie, Dominggus Silaban menambah daftar Hakim yang membuat kita gusar.
ADVERTISEMENT
Usut punya usut ternyata Hakim T. Oyong pernah diperiksa oleh inspektur wilayah Mahkamah Agung dikarenakan kasus pemukulan wartawan akibatnya sempat dimutasikan ke PN Jakarta Pusat yang sebelumnya bertugas di PN Medan.

Isu Penundaan Pemilu

Ilustrasi pemilihan umum, sumber : https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-menjatuhkan-kertas-pada-kotak-1550337/
Tapi kita akan tetap fokus pada santernya isu penundaan pemilu yang dihangatkan kembali, pasalnya putusan ini memerintahkan KPU untuk melakukan proses verifikasi ulang untuk Partai PRIMA dengan dasar pertimbangan bahwa KPU tidak mematuhi prosedur, tidak tanggung putusan tersebut memerintahkan KPU untuk menunda tahapan pemilu selama dua tahun empat bulan. Lantas, apakah pemilu secara yuridis dapat ditunda? Jelas tidak.
Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, serta anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Jadi sudah jelas toh, lima tahun sekali dan hal ini tidak dapat digugat. Adapun pemilu yang tidak dilakukan secara serentak hanya berlaku pada skala daerah tertentu dan syaratnya pun tidak sembarangan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, secara yuridis hanya dikenal istilah penundaan susulan dan pemilu lanjutan. Dalam hal pemilu lanjutan ada beberapa syarat yang pada dasarnya adalah force majer atau keadaan memaksa yang di antaranya terjadi kerusuhan pada daerah terkait, ganguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan pemilu tidak dapat dilakukan (lihat Pasal 230 ayat (2) UU 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu).
Sedangkan Pemilu susulan harus memenuhi syarat yang sama dengan pemilu lanjutan yakni keadaan memaksa (lihat pasal 231 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu). Hal yang membedakan pemilu susulan dengan lanjutan adalah adanya sebagian tahapan yang sempat terlaksana pada pemilu lanjutan, sedangkan dalam pemilu susulan sama sekali belum terjadi tahapan pemilu pada daerah terkait.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, juru bicara Mahkamah Agung yakni Suharto sempat menyatakan bahwa perbuatan Hakim PN Jakarta Pusat tidak dapat disalahkan akan putusan tersebut, dengan dalil bahwa dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mengedepankan prinsip independensi Hakim.
Keliru, independensi Hakim yang dimaksud adalah kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili, bukan berarti melanggar kompetensi absolut daripada Pengadilan Tata Usaha Negara. Rasa-rasanya, kompetensi hakim yang perlu di cek ulang, bukan kompetensi absolut yang diganggu gugat dengan dalil Independensi.
Perihal Hakim yang tidak dapat menolak permohonan, pasca ditolaknya gugatan tersebut oleh PTUN. Hakim dapat menerima permohonan gugatan. Kemudian pada tahap persidangan putusan sela, Hakim PN Jakarta Pusat dapat menyatakan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) pada gugatan tersebut yang menyatakan bahwa gugatan tersebut tidak dalam ranah kompetensi absolut Pengadilan Negeri sehingga dinyatakan gugatan cacat formil dan tidak dapat diterima.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, prinsip Hakim untuk tidak dapat menolak permohonan gugatan tidak dilanggar dan juga tidak membuat malu badan yudikatif.