Melihat Pendidikan Kita

Agung Harahap
Penikmat kopi dan pengagum senja. Memiliki ketertarikan pada dunia Jurnalistik dan Politik. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UMSU
Konten dari Pengguna
21 Mei 2020 16:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari pendidikan kembali dirayakan pada 2 Mei 2020 lalu. Di tengah situasi merebaknya pandemi virus korona. Membuat kita banyak menghabiskan waktu di rumah. Sesekali tentu tak salah jika kita merenung, terlebih merenungi hari pendidikan yang saban tahun diperingati ini. Seperti peringatan hari-hari besar pada umumnya. Termasuk hari buruh satu hari sebelumnya. Ucapan memperingati hari pendidikan nasional beredar luas di media sosial lewat akun-akun berbagai lapisan masyarakat seperti Siswa, Mahasiswa, Buruh, Ibu Rumah Tangga, Pedagang online, hingga akun-akun partai politik, lembaga pemerintahan, dan tokoh-tokoh nasional. Tetapi seperti tidak ada yang berubah. Di luar konteks merebaknya pandemi virus korona pendidikan kita masih begitu-begitu saja.
ADVERTISEMENT
Jika merunut sejarah, hari pendidikan nasional ditetapkan berdasarkan hari lahir Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Di zaman penjajahan kolonial Belanda ia mendirikan Taman Siswa (Tamsis). Tujuannya agar anak-anak kaum pribumi mendapatkan pendidikan dengan harapan standar sumber daya manusia masyarakat pribumi ketika itu dapat menjadi lebih baik. Sebab sistem pendidikan yang dihadirkan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda ketika itu hanya memperbolehkan kaum-kaum dari kelas bangsawan guna mengenyam pendidikan. Dari sini kita paham, bahwa Ki Hajar Dewantara meracik dasar pendidikan kita dengan bumbu perlawanan dan kesetaraan hak. Memang seperti itulah kiranya pendidikan itu ada. Sebagai perlawanan terhadap sistem dan perilaku-perilaku pembodohan. Singkatnya, membangun nalar yang sehat. Sehingga istilah yang kaya akan pintar dan yang miskin akan bodoh dapat dihapus.
ADVERTISEMENT
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim sempat mengeluarkan pidato yang mengundang banyak perhatian saat awal-awal dirinya menduduki posisi tersebut sekitar awal November 2019 lalu. Inti pidato Nadiem menjurus ke satu inti: ada yang kurang tepat dalam sistem pendidikan kita. Memang pada kenyataannya, hari pendidikan hanya selalu diperingati secara seremonial belaka. Menggelar upacara peringatan seperlunya. Setelah itu sudah. Momen itu hanya berlaku hari itu saja. Kita seakan menjadi manusia yang paling peduli terhadap pendidikan saat tanggal 2 Mei. Sementara setelah itu, orang-orang tua yang hanya cukup menafkahi keluarganya cuma untuk makan sehari-hari masih sulit menyekolahkan anaknya. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, anggaran untuk pendidikan pada APBN 2019 mencapai angka Rp492,5 Trilyun dengan rincian pemerintah pusat sebesar Rp163,1 Trilyun, transfer ke pemerintah daerah sebesar Rp308,4 Trilyun dan pembiayaan lainnya sebesar Rp21 Trilyun. Sasaran targetnya berupa 20,1 juta jiwa program indonesia pintar, 50 juta jiwa bantuan operasional sekolah (BOS), pembangunan sekolah 56,1 ribu dan Beasiswa Bidik misi sebanyak 471,8 ribu Mahasiswa/i.
ADVERTISEMENT
Sementara dilansir dari Tirto.id pada 2018 menunjukkan bahwa rata-rata penduduk Indonesia hanya merupakan tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan rerata lama pendidikan mencapai 8,58 tahun atau setara dengan kelas 2 SMP/Sederajat. Semua perubahan berawal dari sebuah proses. Panjang pendeknya proses tersebut tergantung dari keseriusan kita. Tentu kita tak ingin muluk-muluk dengan terburu-buru ingin menciptakan gaya pendidikan layaknya seperti Finlandia yang banyak menuai pujian dan mengantarkan negara itu menjadi rujukan sistem pendidikan di berbagai negara. Finlandia memang secara serius menaruh perhatian terhadap dunia pendidikan. Mungkin mereka sadar bahwa perubahan sebuah peradaban dan kemajuan negaranya dapat dimulai dari situ. Pun begitu, bukan berarti mereka tidak melewati proses yang panjang untuk sampai di titik sekarang ini. Postur ekonomi dan kemajemukan Finlandia berbeda dengan kita. Namun bukan berarti kita tidak dapat berada di posisi Finlandia sekarang suatu saat nanti.
ADVERTISEMENT
Paradoks Pedagogi
Kita secara sadar telah banyak mendengar keberhasilan Finlandia dengan sistem pendidikannya. Elite kita juga berkali-kali mengungkapkan hal ini. Namun entah kenapa, implementasi atau sebagai langkah awal untuk kesana masih belum kelihatan. Selain menyediakan sarana yang cukup serta biaya pendidikan secara gratis, Finlandia juga memberi perhatian pada andragogi. Suatu hal yang kiranya dapat memutus mata rantai pengangguran. Salah satu dari kunci sukses pendidikan mereka adalah minat baca. Pendidikan memang kiranya tak melulu harus diartikan formal dalam konteks fisik. Datang ke sekolah, mengenakan seragam, duduk rapi setelah itu pulang. Ada yang paling menjadi fondasi dasar dari itu semua: membaca. Program for International Student Assessment (PISA) mencatat remaja Finlandia menempati peringkat pertama di literasi membaca. Sayangnya, kita sangat memprihatinkan dalam soal ini. Sebagaimana dilansir dari Detikcom, bahwa penelitian PISA tahun 2015 menunjukkan rendahnya tingkat literasi Indonesia yang berada di urutan ke 62 dari 70 negara yang disurvei. Hal ini semakin diperkuat dengan data UNESCO pada 2016 yang menyebut persentase minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001% yang artinya dari total 1000 masyarakat Indonesia hanya 1 orang yang rajin membaca.
ADVERTISEMENT
Problem ini tak sepenuhnya menjadi kesalahan mutlak masyarakat. Hemat saya, minat baca masyarakat Indonesia terutama yang berada di usia anak-anak dan remaja sebenarnya cukup tinggi. Hanya saja, terkadang sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan tersebut kurang memadai. Belum lagi razia buku tertentu yang masih dilakukan aparat. Agaknya ini bisa menjadi perhatian serius bagi pemerintah jika ingin SDM kita unggul. Sebenarnya gerakan-gerakan guna meningkatkan minat baca kita sudah banyak dilakukan di tengah-tengah masyarakat. Hanya saja terkadang gerakan tersebut masih dilakukan secara mandiri atas inisiatif perorangan, komunitas, hingga organisasi-organisasi Mahasiswa. Seiring berjalannya waktu, mereka yang tidak mendapat rangkulan dari pemerintah tentu saja lambat laun akan kehabisan nafas.
Di samping itu, paradoks dalam dunia pedagogi kita masih menjadi salah satu sebab terhambatnya kemajuan pendidikan. Jika kita mendengar atau membaca soal dunia pendidikan Finlandia pasti familiar dengan sekolahnya yang tidak mewajibkan seragam, pelajaran yang sesuai minat, hingga jam pelajaran yang minim. Sebagian masyarakat kita menerima dan meyakini jika hal ini diterapkan, dunia pendidikan kita akan mengalami kemajuan seperti Finlandia. Tetapi tidak sedikit pula yang berargumen bahwa kultur pendidikan dan faktor pendukung Finlandia jelas berbeda dengan kita. Memang kita tak harus meniru Finlandia. Namun ironisnya, bersamaan dengan premis tersebut kita masih belum menemukan style yang cocok dan dapat menyelaraskan kemajuan dunia pendidikan Indonesia. Masih terdengar bahwa anak-anak sekolah kita sering bolos. Secara tersirat, sekolah tidak menjadi tempat yang cukup nyaman bagi mereka. Belum lagi istilah guru “killer” yang menggunakan pedagogi jauh dari prinsip-prinsip humanisme dan penuh kasih sayang. Bagaimana kita ingin generasi bangsa kita menjadi pribadi yang berkarakter budi pekerti jika pengajar dan metode pengajarannya masih saja kaku. Walau begitu saya yakin. Di tengah pandemi yang banyak dari kita berdiam di rumah. Syukur-syukur dapat semakin meningkatkan intensitas membaca di berbagai lapisan masyarakat. Sembari kita juga perlu melihat dunia pendidikan kita di depan cermin, membersihkan yang kotor dan merapikan yang kusut.
ADVERTISEMENT
Agung Harahap, Pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Koordinator Liputan Lembaga Pers Mahasiswa TeropongUMSU