Menakar Efektivitas PSBB di Jabodetabek

Konten dari Pengguna
5 Mei 2020 8:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Mahesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto udara suasana Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (1/5/2020).  Foto: ANTARA FOTO/ Hafidz Mubarak
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara suasana Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (1/5/2020). Foto: ANTARA FOTO/ Hafidz Mubarak
ADVERTISEMENT
Semenjak penerbitan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) 9/2020 tentang Pedoman PSBB per 3 April 2020, maka sampai saat ini sudah sekitar 18 daerah yang mengadopsi kebijakan PSBB tersebut. Evaluasi berkala perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas kebijakan PSBB dalam menanggulangi penyebaran penularan virus SARS-CoV-2, yang menyebabkan penyakit bernama COVID19.
ADVERTISEMENT
Kawasan Megapolitan Jabodetabek termasuk yang pertama melaksanakan PSBB dan telah menyelesaikan tahap pertama selama 14 hari. Jakarta adalah yang pertama per 10 April, diikuti oleh Bodebek per 15 April, dan terakhir Tangerang Raya per 18 April.
Penetapan lamanya waktu PSBB dan pedoman pelaksanaan PSBB masing-masing daerah diuraikan pada Tabel 1. Sebagai episentrum penyebaran COVID19 nasional, di mana total angka positif COVID19 per 3 Mei di kawasan metropolitan ini mencapai lebih dari 53% angka nasional, maka penting untuk mengetahui sejauh apa penerapan PSBB di kawasan ini membantu pengendalian penyebaran COVID19. Informasi ini krusial dalam menentukan apakah kebijakan relaksasi terhadap penerapan PSBB sudah layak untuk dipertimbangkan.
Tabel 1. Peraturan Pelaksanaan PSBB
Mengacu pada Peraturan Gubernur masing-masing wilayah, dapat dikatakan cakupan kebijakan PSBB yang ditetapkan relatif sama, karena mengacu pada PMK 9/2020.
ADVERTISEMENT
Seluruh Pergub membatasi enam kegiatan yang diatur dalam PMK, yaitu: sekolah & tempat kerja, kegiatan keagamaan, kegiatan di fasilitas umum, kegiatan sosial budaya, moda transportasi dan kegiatan lain yang terkait aspek hankam.
Pengecualian terhadap pembatasan dalam Pergub juga mengacu pada PMK yang sama, antara lain meliputi: pengecualian PSBB di tempat penyedia kebutuhan pokok (supermarket, pasar, stasiun penyedia bbm, dll), fasilitas layanan kesehatan, fasilitas pemenuhan kebutuhan lain termasuk olahraga, dan pelaku usaha yang bergerak di 11 sektor (kesehatan, perhotelan, konstruksi, dlsb). Pergub di sisi lain juga sama-sama merinci kegiatan yang diperbolehkan secara terbatas: khitanan, pernikahan dan pemakaman orang meninggal bukan karena COVID19. Hal terakhir ini tidak diatur di dalam PMK 9/2020.
ADVERTISEMENT
Kebijakan PSBB yang hampir menyerupai kebijakan lockdown yang diadopsi di beberapa negara berpeluang untuk mengikuti keberhasilan lockdown dalam mengendalikan penyebaran COVID19. Sebagaimana ditemukan oleh Hin Lau, dkk [1], diketahui bahwa terjadi penurunan kecepatan penularan COVID19 dari semula terjadi pelipatgandaan penularan dalam 2 hari, pasca lockdown di Wuhan, pelipatgandaan penularan terjadi dalam 4 hari. Hal yang sama juga ditemukan untuk kasus beberapa negara di Eropa yang ditulis Guy P. Nason [2]. Nason menemukan bahwa pola penularan COVID-19 di beberapa negara Eropa mengikuti pola siklus harian 2,7; 4,1; dan 6,7 hari. Artinya, setiap 2,7 hari (atau 4,1 dan 6,7 hari) terdapat kenaikan penularan COVID-19 dengan siklus yang berulang.
Ketika lockdown ditetapkan, pola penularan 2,7 dan 4,1 hari berhasil ditekan, sehingga hanya menyisakan pola penularan 6,7 hari. Pola penularan ini merujuk pada penambahan kasus signifikan dalam ketiga siklus harian tersebut. Pola penularan 6,7 hari tidak teratasi oleh lockdown mungkin dikarenakan hal-hal yang tidak berkaitan dengan sifat virus. Antara lain misalnya, proses administrasi rekapitulasi data kasus positif COVID-19 yang dilakukan pekanan.
ADVERTISEMENT
Perkembangan Kasus Harian Pasca Penerapan PSBB
Jelas bahwa PSBB bertujuan untuk mengurangi kasus positif COVID19. Pembatasan di sejumlah kegiatan dan pergerakan orang diharapkan dapat mengurangi kecepatan transmisi penyakit. Berdasarkan data kasus harian yang dikumpulkan dari situs web masing-masing kabupaten, kota dan provinsi, diketahui secara umum PSBB belum memberikan hasil optimal di sejumlah Kawasan Jabodetabek.
Kasus harian di Jakarta telah mulai melandai setelah pelaksanaan PSBB per 10 April, sebagaimana ditunjukkan oleh garis tren pada Gambar 1. Kasus yang sama terlihat untuk Kabupaten Tangerang (Gambar 2). Sementara Kota Tangerang Selatan menunjukkan penambahan kasus harian yang cenderung naik pasca penerapan kebijakan PSBB (Gambar 2). Sayangnya, data kasus harian Kota Tangerang tidak dapat diakses, sehingga informasi untuk Tangerang Raya tidak dapat disajikan secara utuh.
ADVERTISEMENT
Gambar 1. Perkembangan Kasus Harian COVID19 di DKI Jakarta (Sumber Data: https://corona.jakarta.go.id/id/data-pemantauan; diakses 3 Mei 2020)
Gambar 2. Perkembangan Kasus Harian COVID19 di Kota Tangerang Selatan dan Kab. Tangerang (Sumber Data: https://bit.ly/2SxRISe; https://bit.ly/3c0emKr; Diakses 2 Mei 2020)
Untuk Kawasan Bodebek, yang terdiri dari lima daerah: Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi dan Kota Depok teramati tidak mengalami penurunan tren kasus harian, kecuali Kota Bogor (lihat Gambar 3-5).
Gambar 3. Perkembangan Kasus Harian COVID19 di Kab. Bogor (Sumber Data: https://bit.ly/2WoXdUc; Diakses 2 Mei 2020)
Gambar 4. Perkembangan Kasus Harian COVID19 di Kab. Bekasi (Sumber Data: https://bit.ly/2WkrfIH; Diakses 2 Mei 2020)
Gambar 5. Perkembangan Kasus Harian COVID19 di Kota Depok, Kota Bekasi dan Kota Bogor (Sumber Data: https://bit.ly/2WkGYHR; Diakses 2 Mei 2020)
Tren Kasus Harian yang Menurun dan Problematikanya
Menarik untuk mendalami kasus DKI Jakarta dan Kota Bogor, di mana terjadi pelandaian tren kasus harian COVID19 pasca penerapan kebijakan PSBB.
Sebagaimana diketahui bersama, penemuan kasus positif sangat bergantung pada luasan cakupan tes. Indonesia sendiri saat ini masih berada pada sekitar 286 tes per 1 juta penduduk. Bandingkan dengan jumlah tes per satu juta penduduk di Malaysia (4.764), Thailand (2.551), Vietnam (2.188), dan Filipina (903). Bahkan Indonesia bahkan masih di bawah India (559), Bangladesh (363), dan Kenya (335) (Data diambil dari situs Worldometers per 1 Mei 2020).
ADVERTISEMENT
Dari Tabel 2 diketahui juga bahwa tiga provinsi di mana kawasan Jabodetabek berada sudah memiliki rasio tes per 1 juta penduduk yang cukup baik. Namun jumlah tes yang dilaporkan daerah ini masih menggabungkan antara tes dengan metode rapid test dan tes dengan metode swab.
Ini yang menyebabkan angka kumulatif tes nasional berbeda dengan masing-masing provinsi, karena angka nasional hanya melaporkan tes yang dilakukan melalui metode swab/PCR. Keakurasian rapid test di bawah metode swab, sebagaimana diungkapkan Gubernur Jawa Barat, dari total 100.000 rapid test yang dilakukan di Jawa Barat, 2.000 orang ditemukan reaktif. Ketika ditindaklanjuti dengan metode swab, hasilnya hanya 10% dari 2.000 orang tersebut yang dinyatakan positif.
Tabel 2. Cakupan Tes
Dengan demikian, pelandaian tren kasus harian perlu dibaca dengan lebih hati-hati dan cermat. Kasus yang tidak terlaporkan karena tidak dilakukan tes atau diagnosa yang kurang akurat dari rapid test sesungguhnya berpotensi menambah jumlah kasus positif yang ada di Jabodetabek.
ADVERTISEMENT
Tentunya ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk mengoreksi angka resmi kasus positif COVID-19. Pada kenyataannya, sudah banyak pihak yang melakukan estimasi dengan menggunakan berbagai model matematika dan statistik mengenai probabilitas penyebaran virus ini, tentunya dengan dasar asumsi yang beragam. Tulisan ini mengusulkan dan mendiskusikan dua angka koreksi yang dihasilkan dari dua cara yang berbeda.
Pertama, kami mencoba melakukan estimasi dengan menggunakan data tingkat kematian atau Case Fatality Rate (CFR). Jika angka kasus positif COVID-19 penuh dengan ketidakpastian karena keterbatasan cakupan tes, maka kami melihat angka kasus kematian akibat COVID-19 memiliki tingkat kepastian dan keakuratan yang jauh lebih baik, meskipun tidak sempurna. Angka kematian diyakini lebih tercatat dengan baik, di mana tidak hanya kematian kasus positif yang dicatat, namun juga kasus kematian Pasien Dalam Perawatan (PDP) yang hasilnya keluar kemudian dan dinyatakan positif tetap dicatat sebagai korban dari COVID-19.
ADVERTISEMENT
Angka kematian ini kemudian digunakan untuk mengestimasi angka kasus positif COVID-19 yang sesungguhnya dengan menggunakan tingkat kematian global (CFR global). Dengan menggunakan data DKI Jakarta, diasumsikan bahwa pelayanan kesehatan di Jakarta dinilai cukup setara dengan standar internasional sehingga angka CFR Jakarta yang relatif tinggi (9,2%; per 4 Mei 2020) lebih disebabkan oleh jumlah kasus positif COVID-19 yang menjadi angka pembagi (penyebut) di bawah angka sesungguhnya. Oleh karena itu, dengan mengasumsikan CFR Jakarta setara dengan CFR global, kita dapat mengestimasi angka kasus positif COVID-19 di Jakarta dengan menggunakan angka kematian yang diumumkan secara resmi. Hasilnya kami tampilkan pada Gambar 6 berikut.
Gambar 6. Akumulasi Kasus Positif COVID19 di DKI Jakarta (Sumber: hasil estimasi berdasarkan data dari https://corona.jakarta.go.id/id/data-pemantauan, diunduh pada 3 Mei 2020; https://www.worldometers.info/coronavirus/, diunduh pada 3 Mei 2020.)
Gambar 6 merupakan hasil estimasi kasus positif COVID-19 secara kumulatif dengan menggunakan CFR global 7,03% (garis oranye, per 3 Mei 2020, dari situs Worldometers). Tentunya pola pergerakan angka ini mengikuti pola angka kematian resmi, karena CFR diasumsikan tetap. Adapun angka kasus positif COVID-19 kumulatif yang resmi divisualisasikan oleh garis berwarna biru. Terlihat bahwa kedua garis kumulatif tersebut belum menunjukan pelandaian yang kasat.
ADVERTISEMENT
Kami mentranslasi angka kumulatif tersebut ke dalam angka harian sebagaimana ditampilkan pada Gambar 7. Kami mempertegas pola pergerakan dengan menampilkan garis tren (trendline) menggunakan persamaan polynominal, karena memiliki nilai R2 (R squared) yang paling baik dibandingkan persamaan lainnya (misalnya persamaan linear). Grafik menunjukan bahwa kasus positif COVID-19 hasil estimasi menunjukan pelandaian yang kurang lebih sama dengan apa yang ditunjukkan oleh data resmi. Dengan kata lain, hasil estimasi ini mengkonfirmasi pola yang disarankan oleh data resmi pada Gambar 1.
Gambar 7. Perkembangan Kasus Harian COVID19 di DKI Jakarta (Sumber: hasil estimasi berdasarkan data dari https://corona.jakarta.go.id/id/data-pemantauan, diunduh pada 3 Mei 2020; https://www.worldometers.info/coronavirus/, diunduh pada 3 Mei 2020.)
Kedua, kami juga mengestimasi kasus positif COVID-19 dengan menggunakan data resmi Orang Dalam Pemantauan (OPD) dan Pasien Dalam Perawatan (PDP). Sebagaimana kita ketahui bahwa PDP merupakan orang yang telah mengalami gejala serius COVID-19 dan dalam proses perawatan sambil tetap menunggu hasil tes. Dengan kata lain, PDP ini semacam antrian di ruang tunggu untuk mengetahui hasil tes apakah gejala yang mereka alami itu merupakan positif atau negatif COVID-19.
ADVERTISEMENT
Jika hasilnya negatif, maka pasien dinyatakan sehat dari COVID-19 dan diperbolehkan pulang. Sebaliknya, jika hasilnya positif, maka pasien masuk ke dalam data kasus positif COVID-19. Dalam banyak kasus, pasien sudah terlanjur meninggal dunia sebelum hasil tes keluar.
Untuk kasus seperti ini, pasien dikebumikan dengan prosedur tetap penanganan COVID-19. Jika hasil tes dinyatakan positif setelah pasien meninggal dunia, maka kasus kematian tetap dicatat resmi sebagai kematian akibat COVID-19 (angka ini tertangkap di metode pertama).
Dalam metode estimasi ini, PDP yang dinyatakan negatif tidak diperhitungkan lagi. Sementara PDP yang berstatus ‘masih dirawat’ masih berpotensi untuk menjadi kasus positif COVID-19. Oleh karena itu, estimasi ini b erasumsi semua PDP yang masih dirawat dianggap sebagai penderita positif COVID-19 di luar kasus positif COVID -19 resmi yang telah diumumkan oleh otoritas.
ADVERTISEMENT
Adanya asumsi bahwa PDP yang masih dirawat akan menjadi kasus positif COVID -19 (hasil tes positif) bisa jadi membuat estimasi menjadi bias ke atas (over estimate). Namun estimasi bias ke atas ini, menurut pandangan kami, akan lebih aman dibandingkan estimasi yang bias ke bawah dalam konteks pandemi seperti sekarang ini.
Sama seperti PDP, untuk ODP yang belum selesai masa pemantauannya juga diperlakukan sama seperti PDP yang masih dirawat. Singkatnya, estimasi angka positif COVID -19 adalah penjumlahan dari angka kasus positif resmi ditambah jumlah PDP yang masih dirawat (2a dalam Tabel 3), ditambah dengan jumlah ODP yang masih dalam proses pemantauan (1a dalam Tabel 3).
Tabel 3. Klasifikasi Data ODP dan PDP COVID-19 di DKI Jakarta
Gambar 8 menampilkan hasil estimasi dengan mengikutkan data resmi PDP yang masih dipantau dan ODP yang masih dirawat. Hasil estimasi kematian kumulatif hasil extrapolasi menggunakan CFR global 7,03% (garis oranye) pada metode pertama tetap ditampilkan pada grafik ini sebagai pembanding.
ADVERTISEMENT
Menarik untuk diperhatikan bahwa hasil estimasi menggunakan data resmi PDP yang masih dipantau (garis hitam), hasil estimasi menggunakan data resmi PDP dan ODP (gari abu-abu), dan hasil estimasi kasus akumulasi menggunakan CFR global (garis oranye) mulai konvergen setelah dua minggu penerapan PSBB di Jakarta. Hasil yang konvergen ini, walaupun dengan metode estimasi yang berbeda, memperkuat keyakinan bahwa estimasi ini cukup mendekati kondisi nyata di lapangan.
Namun, perlu diperhatikan juga bahwa terjadi penurunan drastis angka PDP yang masih dirawat sejak 24 April 2020. Hal ini disebabkan oleh lonjakan PDP yang dinyatakan sehat dan tidak adanya penambahan berarti PDP baru. Bisa jadi ini pertanda meningkatnya kapasitas tes, atau ini hanya akumulasi dari backlog yang ada dan diumumkan dalam hari yang sama.
Gambar 8. Akumulasi Kasus Positif COVID19 di DKI Jakarta dengan Beberapa Estimasi (Sumber: hasil analisis berdasarkan data dari https://corona.jakarta.go.id/id/data-pemantauan, diunduh pada 3 Mei 2020 (diolah)
Kesimpulannya adalah, menurut data resmi, akumulasi kasus positif COVID-19 per 2 Mei 2020 sebanyak 4.370 kasus. Sementara menurut hasil estimasi menggunakan CFR global adalah 5.719 kasus, dan menurut estimasi menggunakan data gabungan positif COVID-19 dan PDP yang masih dirawat sebanyak 5.364 kasus. Terlepas dari besarnya perbedaan jumlah kasus positif COVID-19 antara data resmi dan hasil estimasi, keduanya menunjukan adanya pelandaian, meski tidak tajam, yang relatif sama setelah penerapan PSBB.
ADVERTISEMENT
Tentu perlu diperhatikan dengan cermat bahwa asumsi pelandaian dengan proyeksi kasus positif menggunakan CFR global juga turut mengasumsikan bahwa kemampuan tenaga kesehatan dan kapasitas layanan kesehatan diasumsikan memiliki performa sama dengan realita kasus positif yang teridentifikasi saat ini. Asumsi ini gugur apabila lonjakan pasien positif hasil proyeksi ternyata tidak mampu ditangani dengan baik.
Selain itu, Guy P. Naso (2020), dalam artikel yang kami kutip di awal, menyarankan bahwa penilaian efektivitas lockdown, maupun intervensi kebijakan lain, harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan pola penularan harian COVID-19. Dia menyarankan untuk menunda penilaian keberhasilan COVID-19 sampai ditemukan tren menurun kasus harian selama 4 hari berturut-turut. Untuk kasus Indonesia, baik untuk mempertimbangkan bahwa masa inkubasi virus SARS-CoV-2 adalah 6 hari.
ADVERTISEMENT
Sehingga, apabila mengambil saran Naso, maka perlu ditemukan tren menurun kasus harian secara berturut-turut 6 hari, baru dapat dikatakan intervensi kebijakan (misalnya, PSBB) membuahkan hasil. Pada saat tulisan ini disusun (3 Mei 2020), kasus harian di Jakarta tercatat masih fluktuatif pasca usainya PSBB per 23 April 2020. Sementara itu, Kota Bogor baru menyelesaikan PSBB-nya per 28 April 2020, dan belum cukup tersedia data untuk mengakomodir tenggang 6 hari tersebut.
Implementasi PSBB dan Saran Kebijakan
Per 3 Mei 2020, penerapan kebijakan PSBB di kawasan Jabodetabek telah resmi diperpanjang: Jakarta hingga 22 Mei 2020, Tangerang Raya hingga 17 Mei 2020, dan Bodebek hingga 12 Mei 2020. Ini adalah kebijakan yang tepat karena beberapa hal.
ADVERTISEMENT
Pertama, penerapan PSBB tahap pertama selama 14 hari di kawasan Jabodetabek mendapat penilaian yang kurang efektif, bahkan oleh kepala daerah sendiri. Ini diketahui dari monitoring pemberitaan media massa online selama penerapan PSBB di Jabodetabek. Sebagaimana tercatat di Kabupaten Bogor, pada minggu pertama penerapan PSBB, hanya 30% warga yang menaati aturan, menurut Bupati Bogor. Pada pekan terakhir penerapan PSBB juga diketahui masih ada ratusan kios di luar daftar pengecualian PSBB masih tetap buka, dan terpaksa ditutup Wali kota Bogor.
Beberapa warga juga masih nekat melintas perbatasan Jakarta dan Kota Bekasi dengan melalui jalan tikus, menghindari pos pemantauan PSBB. Kerumunan warga juga masih terlihat di hari-hari akhir penerapan PSBB di sejumlah jalan raya di Kota Tangerang Selatan.
ADVERTISEMENT
Di Jakarta sendiri, pelanggaran PSBB masih ditemukan cukup tinggi selama 10 hari pelaksanaan, termasuk perusahaan yang tetap buka mesti tidak dikecualikan dalam Pergub DKI Jakarta tentang Pedoman PSBB. Mengenai perusahaan di luar kategori yang dikecualikan dalam PSBB, Bupati Bogor juga mengeluhkan kesulitan membatasi operasi pabrik karena telah mengantongi izin dari Kementerian Perindustrian.
Kedua, bila mengacu pada hasil penelitian terkait lockdown yang kami kutip di awal artikel, terdapat perbedaan kebijakan antara PSBB dan lockdown. Yang cukup signifikan adalah masih diperbolehkannya moda transportasi massal beroperasi pada kebijakan PSBB. Kebijakan PSBB memang mulai diperketat oleh Pemerintah Pusat dengan larangan mudik dengan penerapan sanksi per 7 Mei 2020 dan larangan penerbangan yang ditetapkan dari 24 April hingga 1 Juni 2020.
ADVERTISEMENT
Tetapi kebijakan pengetatan ini tidak berlaku serentak dengan penetapan PSBB tahap pertama di Kawasan Jabodetabek. Akibatnya, di samping sulit mengisolasi kebijakan tunggal yang berdampak pada penyebaran COVID-19, dengan PSBB juga masih dimungkinkan transmisi lintas-wilayah sebelum larangan mudik dan larangan terbang diberlakukan. Transmisi lintas-wilayah ini berpotensi memicu gelombang kedua penyebaran COVID19 di daerah yang sudah menerapkan PSBB.
Kebijakan PSBB di satu sisi memang berpotensi mengurangi laju penyebaran COVID-9, sehingga dapat memberikan ruang bagi tenaga medis dan fasilitas kesehatan Indonesia untuk “bernafas”. Dengan ruang tersebut, diharapkan kurva penularan COVID-19 melandai, sehingga jumlah pasien yang ditangani masih dalam kapasitas rumah sakit yang ada. Ini akan meningkatkan angka harapan hidup pasien COVID-19. Akan tetapi, berdasarkan pantauan tulisan ini, bukti-bukti yang mendukung pelandaian kurva masih belum meyakinkan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri kebijakan PSBB juga membawa dampak negatif signifikan bagi perekonomian. Perusahaan besar seperti Kentucky Fried Chicken dan Ramayana terpaksa merumahkan banyak karyawannya. Untuk mengatasi ini, Pemerintah Pusat turun tangan dengan memberikan stimulus ekonomi. Namun demikian, kebijakan PSBB ini bukanlah sebuah kebijakan yang berkelanjutan. Banyak yang harus “menderita” supaya kebijakan ini dapat dilaksanakan. Oleh sebab itu, PSBB harus dilakukan secara efektif dan efisien, tanpa membuang waktu sia-sia. Karena waktu yang terbuang adalah kerugian ekonomi yang harus diderita oleh banyak pelaku ekonomi di negeri ini.
Referensi
[1] Lau, H., Khosrawipour, V., Kocbach, P., Mikolajczyk, A., Schubert, J., Bania, J., & Khosrawipour, T. (2020). The positive impact of lockdown in Wuhan on containing the COVID-19 outbreak in China. Journal of Travel Medicine.
ADVERTISEMENT
[2] Nason, G. P. (2020). Rapidly evaluating lockdown strategies using spectral analysis: the cycles behind new daily COVID-19 cases and what happens after lockdown. arXiv preprint arXiv:2004.07696.
Khairul Rizal (Pengurus Nasional Ikatan Ahli Perencanaan)
Agung Mahesa (Pengurus Ikatan Ahli Perencanaan DKI Jakarta)