Kebijakan Salah Kamar di Industri Penerbangan

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
Konten dari Pengguna
22 April 2019 10:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi pesawat. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi pesawat. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Membaca sebuah artikel berjudul “Pemerintah Akan Atur Sub-Kelas Tiket Pesawat” di Koran Tempo (halaman 7: Bisnis) akhir pekan 20 - 21 April 2019 lalu, membuat saya terkejut dan tidak mengerti apa maunya Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk ikut mengatur tarif penerbangan.
ADVERTISEMENT
Padahal keselamatan di industri transportasi, yang menjadi salah satu tupoksi atau domain Kemenhub, belum diurus dengan baik. Ini terlihat dari masih tingginya angka kecelakaan di sektor angkutan darat dan laut/penyeberangan. Kecelakaan masih terjadi setiap hari dengan korban yang tidak sedikit.
Kalau kita baca dengan teliti : Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2015 Tentang Organisasi Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 No. 8, Peraturan Presiden (Perpres) No. 40 Tahun 2015 Tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015) dan Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No. 189 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan, jelas bahwa di ketiganya tidak ada perintah untuk mengatur sub kelas yang merupakan tata cara menjual tiket penerbangan melalui sub kelas. Kemenhub hanya mengatur tarif ekonomi.
ADVERTISEMENT
Selama ini saya sudah sering ingatkan Menteri Perhubungan untuk tidak ikut campur mengatur tata cara menjual tiket penerbangan yang bukan domain pemerintah. Itu domain industri.
Kemenhub tugasnya hanya mengatur Tarif Batas Atas (TBA) untuk menjaga supaya terjadi persaingan sehat antar maskapai penerbangan. Begitu pula Tarif Batas Bawah (TBB) juga ditetapkan supaya tidak ada maskapai yang banting harga yang merugikan industri.
Untuk itu Kemenhub sudah mengeluarkan Peraturan baru PM No. 72 Tahun 2019 Tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Jika sekarang Kemenhub memaksa akan mengeluarkan PM baru tentang Tarif Sub Kelas, itu melanggar UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan turunannya. Para pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk menuntut secara hukum.
ADVERTISEMENT
Kebijakan tarif atau tepatnya tata cara menjual tiket penerbangan, khususnya untuk Garuda Indonesia (GA), menjadi tanggung jawab Kementerian BUMN sebagai wakil Pemerintah (Pemegang Saham korporasi terbesar) dan untuk maskapai swasta termasuk LCC menjadi tanggungjawab Dewan Direksi. Direksi
GA harus patuh kepada kebijakan Menteri BUMN jika terkait usaha, bukan Kemenhub. GA hanya patuh pada Menteri Perhubungan jika terkait dengan keselamatan penerbangan.

Tarif Sub Kelas dan Tata Cara Menjual Tiket

Tarif Sub Kelas merupakan tata menjual tiket penerbangan. Menurut peraturan perundang undangan di atas, jelas bahwa Kemenhub melanggar fungsinya sebagai regulator dengan ikut mengatur tarif yang sebenarnya itu tata cara penjualan tiket.
Intervensi ini sangat merugikan maskapai penerbangan, khususnya national flag carrier yang merupakan perusahaan publik atau terdaftar di bursa. Campur tangan berlebih dari Pemerintah dapat menghancurkan bisnisnya. Harga saham GA sempat turun ketika notulen rapat di Kantor Kementerian Koordinator Maritim bocor ke publik.
ADVERTISEMENT
Tertulis di notulen rapat, adanya campur tangan Kemenhub mengatur tata cara penjualan tiket dengan memaksa Garuda Indonesia menyediakan tiket murah melalui sub kelas.
Menurut Pasal 126 Ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009, tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan komponen: (a) tarif jarak; (b) pajak; (c) iuran wajib asuransi; dan (d) biaya tuslah/tambahan (surcharge). Pasal 127 Ayat (1) menyatakan ; hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) merupakan batas atas tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri.
Pada Pasal 3 PM No. 189 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan; kedudukan, tugas dan fungsi Kemenhub; jelas bahwa tidak ada satupun ayat yang menyatakan bahwa Kemenhub berhak mengatur tarif penerbangan.
ADVERTISEMENT
Jadi sekali lagi bahwa Pasal 3 PM No. 189 Tahun 2015 membuktikan kebijakan tarif penerbangan tidak dapat diatur oleh regulator yang namanya Kemenhub.
Pertanyaannya, mengapa Kemenhub bersikeras ingin mengatur kebijakan tarif, khususnya sub kelas ? Patut diduga ada pembisik yang bisnisnya meredup atau bangkrut karena tarif penerbangan murah sudah berakhir dan porsi pemesanan tiket sudah menggunakan online, tidak lagi secara manual melalui travel agent.
Saya tidak berpihak pada maskapai atau siapapun tetapi sebagai penumpang yang setiap minggu terbang, saya berkepentingan meluruskan pelaksanaan kebijakan yang keliru di sektor penerbangan demi tumbuhnya industri penerbangan dan kuatnya pemerintah mengatur keselamatan penerbangan.
Untuk informasi publik, industri penerbangan saat ini sedang koma dan perlu masuk ICU supaya bisa bertahan. Sehingga mereka harus meningkatkan pendapatan untuk bisa bertahan. Berbagai cara dilakukan untuk efisiensi, namun karena nilai tukar dolar Amerika terhadap rupiah masih sekitar Rp 14.000 cukup sulit bagi maskapai untuk bertahan jika tarif dipaksa turun melalui intervensi Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Perlu diingat bahwa ambruknya maskapai penerbangan akan juga mempengaruhi pendapatan bandara, navigasi, perawatan pesawat dan lain-lain.
Saat ini pada periode Januari – Maret 2019 dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2018, industri penerbangan terus meredup pendapatannya. Pengguna seluruh Bandara yang dioperasikan PT Angkasa Pura 2 sampai Maret 2019 telah berkurang sekitar 4 juta penumpang. Pengguna seluruh Bandara PT Angkasa Pura 1 hingga bulan Maret 2019 dibandingkan periode yang sama di tahun 2018, turun hingga sekitar 3,5 juta penumpang.
Sedangkan menurut Airnav Indonesia, trafik di Bandara Soekarno Hatta saja pada periode Januari – Maret 2019 dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2018 turun rata2 16,84%, belum di bandara lainnya.
ADVERTISEMENT

Langkah Pemerintah

Data penumpang domestik menurut Data Produksi Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal, pada bulan Maret 2019 dibandingkan dengan bulan Maret 2018 turun 25,52 % atau sekitar 2 juta pax.
Sebuah jumlah yang mengkhawatirkan. Harga tiket penerbangan murah sudah berakhir, namun bukan berarti maskapai penerbangan full service dapat menaikkan harga tiket hingga batas atas.
Supaya industri penerbangan bisa hidup dan berkembang dan harga terjangkau sebaiknya maskapai penerbangan full service menerapkan strategi promosi sesering mungkin, dan jika menaikkan harga tiket tidak langsung dengan harga mendekati batas atas.
Jika harga tiket sub kelas harus dilakukan, biarkan industri yang mengatur dan hindari campur tangan Pemerintah. Apalagi campur tangan pemerintah di maskapai penerbangan swasta, termasuk yang LCC.
ADVERTISEMENT
Untuk full service seperti GA yang merupakan perusahaan publik, intervensi Pemerintah menjadi sensitif terhadap kelangsungan usaha dalam kancah persaingan usaha. Apalagi di tengah nilai tukar mata uang Amerika masih DISEPUTAR Rp. 14.000/USD.
Sekali lagi harus diingat bahwa kewenangan Kemenhub di harga tiket sebatas pelaksanaan PM Perhubungan No. 72 Tahun 2019. Kepada semua maskapai penerbangan mohon menerapkan strategi penyelamatan dengan menggunakan strategi promosi yang tepat.
Strategi penggunaan tarif sub kelas terbukti kurang efektif. Di tahun 2018 secara pembukuan, hampir semua maskapai merugi, tetapi begitu maskapai menerbitkan tiket sub kelas, kerugian maskapai bertambah. Di tahun 2019 maskapai penerbangan menggunakan pendekatan promosi bukan sub kelas, hasilnya positif.
Sekali lagi tujuan kita adalah menyelamatkan industri penerbangan, bukan hanya menyelamatkan maskapai penerbangan saja. Salam.
ADVERTISEMENT
Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).