Problematik Regulasi dan Implementasi Pengembangan EBT

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
Konten dari Pengguna
31 Maret 2018 9:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Transmisi listrik (ilustrasi). (Foto: Dok. PLN)
zoom-in-whitePerbesar
Transmisi listrik (ilustrasi). (Foto: Dok. PLN)
ADVERTISEMENT
Elektrifikasi merupakan salah hal terpenting dalam pembangunan negara. Tanpa ada aliran listrik, maka pembangunan infrastruktur tidak akan banyak gunanya bagi publik. Jika masih ada daerah tanpa listrik, artinya negara telah melakukan diskriminasi terhadap warganya. Ketidakadilan seperti itu dapat menyuburkan benih-benih perlawanan publik kepada negara, seperti tumbuhnya terorisme dan radikalisme. Untuk itu Pemerintah harus mempercepat elektrifikasi, terutama di daerah terdepan, terluar dan tertinggal dan intinya listrik harus terjangkau.
ADVERTISEMENT
Melalui beberapa program percepatan elektrifikasi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM di daerah terdepan, terluar dan tertinggal secara off grade atau tidak masuk pada jaringan PLN membuat rasio elektrifikasi di seluruh Indonesia per Desember 2017 tumbuh 95,35% atau melebihi dari target yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui Rencana Strategis Kementerian ESDM, yaitu sebesar 92,75%. Program fast track elektrifikasi Kementerian ESDM ini dilakukan melalui program lampu surya (tenaga surya) gratis ke desa-desa sangat tepat untuk mengejar elektrifikasi 2.519 desa atau sekitar 255 ribu rumah lainnya di tahun 2019.
Dalam pelaksanaan elektrifikasi khususnya desa, Pemerintah menerbitkan atau merevisi berbagai peraturan perundang undangannya supaya program percepatan elektrifikasi ini mempunyai payung hukum yang sesuai. Untuk percepatan program elektrifikasi desa diutamakan penggunaan EBT, seperti tenaga surya, bayu, mikro hydro dan sebagainya. Tumbuhnya EBT memang didorong oleh Pemerintah supaya pengurangan emisi gas CO2 dari sektor energi sebesar 11% dari total 29% tercapai, dan ini sesuai dengan National Determined Contributions (NDC) Indonesia pada perjanjian Paris 2015.
ADVERTISEMENT
Di lapangan rencana elektrifikasi menggunakan EBT banyak mengalami hambatan, antara lain karena masih adanya praktik makelarisasi perijinan dan PT PLN (Persero) sendiri sebagai satu satunya pembeli listrik swasta belum bisa move on di zaman now. Di tulisan kali ini, saya ingin bahas singkat saja kaitannya antara regulasi dan implementasi yang menghambat.
Permasalahan Implementasi Kebijakan Elektrifikasi
Menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang dibuat oleh Kementerian ESDM, data bauran energi primer pembangkit listrik tahun 2017 menunjukkan bahwa pembangkit listrik PT PLN (Persero) dan swasta; 57,22% masih menggunakan batubara; 24,82% masih menggunakan gas; baru 12,15% menggunakan EBT dan 5,81% masih menggunakan BBM.
Tingginya penggunaan batubara memang harus secara bertahap dikurangi mengingat tingginya emisi gas CO2 batubara. Masih digunakannya batubara sebagai sumber energi primer hanya semata karena ketersediaan suplai energi batubara dalam negeri, keterbatasan APBN untuk impor energi fosil (BBM) dan kontinuitas suplai energi primer non fosil. Penggunaan batubara akan dan harus dikurangi untuk digantikan dengan EBT secara bertahap. Untuk masa transisi ini, selain batubara Pemerintah mendorong penggunaan gas bumi domestik.
ADVERTISEMENT
Untuk penggunaan EBT tidak ada pilihan lain, Pemerintah harus terus mendorong digunakannya EBT sebagai energi primer untuk elektrifikasi. Hambatannya masih sangat besar, baik di tingkat regulasi maupun implementasi dan kaitannya dengan ketersediaan dan kontinuitas suplai. Regulasi harus terus diperbaiki untuk percepatan, khususnya di tingkat Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Keputusan Direktur Jenderal supaya implementasi di lapangan lancar.
Di tingkat implementasinya, dengan alasan beragam, masih tersendat di tangan PT PLN (Persero) sebagai akibat dari interpretasi atau pemahaman yang kurang di lapangan. Sehingga banyak proyek pembangunan pembangkit EBT yang belum berjalan sesuai dengan harapan Pemerintah dan publik. Sebagai contoh, pengembangan pembangkit listrik mikro hydro (PLTMH, biomasa (PLTB) dan sebagainya masih terkendala. Permasalahan utama berada pada implementasi dari peraturan perundang undangan yang ada.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 Tentang Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan Untuk Penyediaan Energi Listrik cukup baik dan seharusnya dapat mendorong percepatan penggunaan EBT, hanya saja implementasi di lapangan banyak yang macet karena perbedaan pemahaman di tingkat Direksi dan lapangan pada PT PLN (Persero).
Ada tiga (3) hal utama yang sampai saat ini masih menjadi masalah bagi investor pembangkit EBT, yaitu persoalan kontrak dengan sistem Build Owned Operated and Transfer (BOOT) di mana harga tanah tidak diperhitungkan ketika masa kontrak habis; tarif yang berdasarkan Biaya Pokok Produksi (BPP) tidak menguntungkan bagi investor EBT dan penggunaan mata uang Rupiah dalam kontrak yang dianggap oleh investor tidak sesuai dengan kesepakatan awal.
ADVERTISEMENT
Setelah saya lakukan pemantauan dan kajian di lapangan, ternyata persoalannya bukan hanya pada isi peraturan perundang undangannya tetapi lebih pada implementasi PM No. 50 Tahun 2017 yang dilakukan oleh PT PLN (Pesero) secara business to business (B to B) dengan investor. Terkesan oleh saya bahwa PT PLN (Persero) menganggap bahwa investor sebagai pesaing PLN, bukan mitra. Kalau ini yang terjadi, maka EBT sektor PLTMH akan sulit untuk berkembang apalagi menjadi andalan elektrifikasi di daerah terdepan, terluar dan tertinggal di Indonesia.
Di sektor tenaga bayu, implementasi PM ESDM No. 50 Tahun 2017 dapat diterapkan dengan baik dan investor yang ada (PT UPC Sidrap Bayu Energi), saat ini sedang dalam proses finalisasi tahap I dan akan segera membangun tahap II. Sebagian besar listrik yang dihasilkan sudah masuk ke jaringan PT PLN (Persero) di Sidrap, Sulawesi Selatan. Artinya di sektor bayu, PM ESDM No. 50 Tahun 2017 tidak bermasalah. Kita tunggu apakah ada investor PLTB lain yang akan segera masuk.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan pembangkit EBT sektor lain, seperti penggunaan biomasa untuk peningkatan elektrifikasi ? Sejauh ini hambatan terkait dengan pembangkit yang menggunakan biomasa, khususnya sampah, masih ada beberapa permasalahan, antara lain persoalan tipping fee dengan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat dan terkait dengan Purchasing Power Agreement (PPA) dengan PT PLN (Persero) yang belum terselesaikan. Sehingga inti persoalannya bukan dengan PM ESDM No. 50 Tahun 2017 atau lainnya tetapi pada Kebijakan Pemda dan PT PLN (Persero).
Langkah Lanjut Pemerintah
Tidak seimbangan dan tidak jelasan antara posisi PT PLN (Persero) dengan investor dalam proses berkontrak membuat efektivitas PM ESDM No. 50 Tahun 2017 dan peraturan sejenis lainnya terlihat dan terkesan Pemerintah lamban serta merugikan investor, padahal dalam implementasi peraturan dasarnya B to B, Regulator sama sekali tidak ikut campur. Mereka berkontrak murni secara korporasi.
ADVERTISEMENT
Saran saya PT PLN (Persero) sebagai pembeli, harus bijak dalam melaksanakan peraturan yang dibuat oleh regulator dan jangan memanfaatkan loop holes yang ada pada regulasi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya karena kontrak di maksudkan untuk saling menguntungkan bagi yang berkontak. Ingat bahwa salah satu tujuan negara, selain total elektrifikasi di seluruh Indonesia, juga supaya harga listrik tidak boleh naik minimal hingga 2019. Namun kedua belah pihak juga tidak boleh merugi apalagi bangkrut. Salam AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Konsumen)