Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Review Kebijakan Penanganan COVID-19
20 Maret 2020 21:52 WIB
Tragedi kemanusiaan dunia akibat COVID-19 di Indonesia semakin tidak menentu ujung penyelesaiannya, dan penderitanya masih terus bertambah sebagai akibat lambannya para pihak mengantisipasi wabah COVID-19 di awal tahun 2020.
Bertebaran asumsi publik bahwa kita sebagai negara tropis yang banyak mengonsumsi empon-empon, banyak berdoa dan biasa makan nasi kucing, akan kebal terhadap COVID-19. Ternyata Indonesia tidak kebal dan sampai akhir Februari 2020, COVID-19 sudah muncul di beberapa kota dan terus bertambah jumlahnya.
Nasi sudah menjadi bubur dan Indonesia sudah join the club with COVID-19. Penjelasan pemerintah terus bergulir secara normatif dan menggunakan istilah asing yang tidak dipahami banyak orang.
Saat itu (Januari 2020) publik sudah mengingatkan bahwa pemerintah harus bereaksi cepat terkait merebaknya virus COVID-19, misalnya melalui pembentukan Gugus Tugas semacam Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang bertanggung jawab langsung kepada presiden dan berkuasa ke lintas Kementerian/Lembaga serta TNI/POLRI. Lalu tunjuk seorang Juru Bicara dan terbitkan protokol penanganan COVID-19.
Semua ini baru muncul di awal Maret 2020 atau kurang lebih dua bulan sejak merebaknya COVID-19. Apa boleh buat.
Lambannya proses awal penanganan COVID-19 membuat pembentukan Gusus Tugas COVID-19 juga terlambat setelah virus itu menyebar selama dua bulan. Hal krusial yang harus segera ditangani adalah hubungan Gugus Tugas dengan pemerintah daerah: bagaimana mekanisme kewenangan dan komunikasinya? Apakah protokol sudah disosialisasikan ke seluruh pemda dan publik sehingga segera dapat diimplementasikan?
Kebijakan Ragu
Sampai hari ini, ratas kabinet masih saja membicarakan masalah ekonomi, belum membahas langkah-langkah strategis secara kemanusiaan soal penanggulangan COVID-19. Ekonomi Indonesia tidak akan membaik jika penanganan COVID-19 hanya dari sisi ekonomi. Berapa pun intervensi Bank Indonesia tidak akan memperbaiki nilai rupiah terhadap USD.
Beberapa negara yang sudah mereda dari serangan COVID-19, sejak awal selalu menampilkan program penanganan COVID-19, bukan membicarakan faktor ekonomi karena dunia sedang krisis ekonomi.
Hari ini bangsa Indonesia masih menunggu, langkah tegas apa yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus COVID-19, selain melarang penerbangan dari 10 negara yang sedang terjangkit parah COVID-19, melarang kumpul-kumpul dan tinggal di rumah tanpa ada langkah lainseperti pembersihan kota dengan menggunakan disinfektan ala Pemkot Surabaya, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan gratis untuk COVID-19.
Menurut pendapat saya, kalau kondisi penderita COVID-19 terus meningkat diatas 30% per harinya, kota tersebut sudah harus dikenakan karantina (lockdown) sesuai UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 50–59.
Konsekuensi karantina adalah semua kebutuhan masyarakat dipenuhi dan ditangani oleh negara, termasuk makanan/minuman setiap orang di kota tersebut.
Kemudian Gugus Tugas melakukan pembersihan kota dan tidak ada warga kota yang keluyuran. Untuk itu aparat keamanan harus berpatroli 24 jam untuk menindak masyarakat yang masih berkeliaran di jalan serta menjaga toko kebutuhan sehari-hari supaya tidak dijarah.
Jika dilakukan karantina, tentunya harus ada anggaran yang cukup, karena selain untuk memenuhi kebutuhan hidup warga kota, juga harus membiayai operasional aparat keamanan untuk mengawasi jalannya karantina dan menyiapkan sebanyak mungkin Rumah Sakit Darurat guna menampung warga yang dicurigai terinfeksi atau sudah terinfeksi.
Nasib pedagang kaki lima, pengemudi ojek dan taksi, serta pekerja sektor informal lain juga harus diperhatikan karena dengan karantina mereka tidak dapat bekerja atau berdagang untuk makan hari itu, sehingga program dana tunai atau dana bantuan sosial lainnya harus dianggarkan segera dengan cara relokasi APBN/D untuk menjaga daya beli masyarakat. Menteri Keuangan sudah menetapkan anggaran perjalanan dinas akan direlokasikan untuk keperluan di atas.
Jika anggaran ini kurang, maka megaproyek seperti pemindahan ibu kota negara, pembangunan kereta cepat dan pembangunan infrastruktur raksasa lainnya, harus ditunda. Selain itu, pemerintah juga dapat gunakan dana cadangan yang dalam kasus krisis COVID-19 digunakan untuk intervensi pasar uang.
Intervensi pasar uang sudah dilakukan Bank Indonesia dan menghabiskan dana cadangan hampir Rp. 192 triliun, namun rupiah masih tetap terjun bebas di penutupan Jumat, 20 Maret 2020. Nilai rupiah sudah mendekati Rp 16.000 per USD.
Dalam krisis COVID-19, sebaiknya pemerintah tidak terkonsentrasi hanya mengurusi sektor ekonomi saja karena kondisi dunia memang sedang resesi berat.
Pemerintah justru harus berkonsentrasi pada perlawanan COVID-19 melalui langkah-langkah yang terkait dengan nilai kemanusiaan.
Dunia harus melihat bahwa pemerintah Indonesia serius menangani COVID-19. Jangan bingung dan terlalu lama untuk mengambil keputusan demi terselesaikannya pandemi COVID-19 secara cepat.
Pastikan publik patuh. Jangan seperti di Italia, karena publik tidak patuh dan pemerintah kurang tegas, maka program penanganan COVID-19 di Italia kurang berhasil. China dengan program yang didukung rakyat penuh disiplin dapat menyelesaikan pandemi COVID-19 dalam waktu kurang dari tiga bulan.
Langkah Konkrit Pemerintah
Untuk mengejar keterlambatan penanganan COVID-19, pemerintah Indonesia harus bekerja keras melalui Gugus Tugas COVID-19, terutama untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Koordinasi menjadi kunci utama penyelesaian konflik COVID-19.
Yang harus berhadapan dengan publik dan pemda adalah Gugus Tugas, bukan presiden.
Sebagai simbol negara, presiden jangan terlalu sering tampil di media untuk hal yang tidak strategis. Biarkan Ketua Gugus Tugas melaksanakan tugasnya. Semua kebijakan yang sudah ditetapkan pemerintah harus dilengkapi dengan tata cara pelaksanaannya, sehingga memudahkan publik dan kementerian/lembaga serta pemerintah daerah sebagai pelaksana.
Social distancing atau jaga jarak kurang berhasil untuk menyelesaikan COVID-19 di Indonesia karena rendahnya disiplin orang Indonesia. Kalau mau berhasil, jaga jarak harus dilengkapi dengan penegakan hukum bagi yang melanggar.
Selain itu, pendekatan jaga jarak juga harus memikirkan jalan keluar bagi pekerja sektor informal, misalnya pedagang kaki lima atau pengendara atau pengemudi online atau industri tertentu yang tidak dapat bekerja dari rumah. Mereka tidak bisa makan hari itu kalau tidak bekerja. Untuk itu, jaga jarak tidak dapat menyelesaikan masalah COVID-19.
Berdasarkan referensi penyelesaian COVID-19 di beberapa negara, metode karantina merupakan metode yang tepat, termasuk untuk Indonesia, asalkan direncanakan dengan baik. Untuk menjalankan karantina, pemerintah melalui Gugus Tugas harus menyiapkan anggaran dan personal aparat keamanan yang cukup.
Karantina konsekuensinya menutup wilayah secara keseluruhan. Tidak ada lagi manusia di tempat publik. Semua kebutuhan hidup disuplai oleh negara. Jika ada yang melanggar, akan dikenai pidana kurungan atau denda. Selama proses larantina, kota didisinfektan dan warga disembuhkan.
Sayang, sampai hari ini pemerintah masih ragu dan belum mengambil keputusan. Semakin lama memutuskan, semakin panjang waktu penyelesaian COVID-19.
Dalam penanganan COVID-19, keterbukaan adalah langkah yang sangat baik untuk mengatasi pandemi yang begitu menakutkan.
Sekali lagi pemerintah harus menunjukkan pada dunia bahwa kebijakannya menangani COVID-19 menggunakan pendekatan humanis, bukan ekonomi. Dunia ingin mengetahui langkah dan strategi pemerintah Indonesia menghadapi COVID-19.
Sembuhkan dulu penderita COVID-19, investor dan wisatawan asing pasti akan datang. Percayalah.
AGUS PAMBAGIO
Pemerhati Kebijakan Publik dari PH&H Public Policy Interest Group