‘Berdamai’ Menuju Gerbang Kematian (?)

Agus Salim Irsyadullah
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang kelahiran Batang
Konten dari Pengguna
31 Mei 2020 23:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Salim Irsyadullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber ilustrasi: langgam.id
zoom-in-whitePerbesar
Sumber ilustrasi: langgam.id
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sekitar empat bulan lamanya, bangsa Indonesia bertarung hidup-mati melawan virus corona. Entah berapa banyak keringat dan air mata bercucuran membasahi wajah. Namun, cahaya kemenangan yang dinanti, belum juga terpancar dari wajah ibu pertiwi. Kini, satu demi satu, negara kehilangan rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Perkembangan virus corona di negeri ini pun semakin mengkhawatirkan. Bahkan, grafiknya semakin hari semakin menunjukkan peningkatan ke level yang lebih tinggi. Hingga hari ini saja, terdapat 24.538 kasus corona, dengan rincian 6.240 orang sembuh dan 1.496 mengalami kematian (bbc.com, 28/05/2020).
Melihat kondisi negara yang tak kunjung membaik, lantas membuat pemerintah membanting stir dan membuat kebijakan baru dalam hal penanganan corona. New normal atau tatanan kehidupan baru adalah strategi yang saat ini lantang dikampanyekan pemerintah.
Dengan menerapkan new normal, maka masyarakat akan ‘dipaksa’ untuk berdamai dan merubah gaya hidup namun tetap menjalankan protokol kesehatan pemerintah. Rajin berolahraga, rajin cuci tangan, senantiasa memakai masker, saling menjaga jarak dan menjaga kebersihan lingkungan agar bisa berdampingan dan berdamai dengan corona.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana jika corona tidak mau berdampingan dengan kita? Pertanyaan itu sempat terlontar dari Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla. Meskipun hanya sebatas celetukan, namun harus menjadi perhatian bersama. Ini tentu bukan hal mudah mengingat, akhir-akhir ini kebanyakan orang yang terkontaminasi dengan corona justru tidak mengalami gejala atau Orang Tanpa Gejala (OTG) seperti pada umumnya.
Selain itu, penerapan new normal Indonesia tidak didasari untuk mencegah virus corona menyebar, melainkan mencegah ekonomi bangsa roboh, seperti yang pernah terjadi kala krisi moneter 1998 dan 2008 silam, bahkan mungkin lebih dari itu. Dengan melihat kondisi ekonomi masyarakat yang semakin jatuh, tidak heran jika kemudian Indonesia berencana menerapkan new normal tanpa memperdulikan kurva penurunan corona. Amerika Serikat, Inggris, dan Rusia adalah negara-negara yang dilaporkan tengah mempersiapkan new normal meski penambahan kasus belum mereda.
ADVERTISEMENT
Dalam konferensi pers yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada awal Mei lalu, WHO memahami tentang kesulitan negara-negara dalam mempertahankan kebijakan pembatasan sosial maupun lockdown. Namun, WHO juga memperingatkan bahwa negara-negara yang menerapkan pelonggaran harus kembali bersiap jika terjadi lonjakan kasus baru.
Yang menjadi permasalahan adalah, apakah Indonesia harus secepat ini dalam menerapkan sistem new normal? Mengapa tidak menunggu kurva corona melandai dulu, seperti apa yang disyaratkan oleh WHO?
Seperti kita ketahui, salah satu syarat sebuah negara menerapkan new normal adalah kurva penyebaran corona haruslah menurun. Jika dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara, kurva penyebaran corona di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Berbeda dengan negara Malaysia, Thailand, Singapura, Kamboja, Vietnam, dan Filiphina yang sudah lebih dulu mengalami penurunan.
ADVERTISEMENT
New normal rasa herd immunity?
Jika melihat situasi yang terjadi saat ini, rasanya tidak salah jika skenario herd immunity atau kekebalan kelompok akan benar-benar diterapkan di Indonesia. Meskipun pemerintah menyangkal dan tidak mau mengakui, tapi kebijakan new normal ala Indonesia yang saat ini ramai diwacanakan, hampir mirip seperti herd immunity.
Dalam konsepnya, Herd immunity lebih mengacu kepada situasi di mana cukup banyak orang dalam satu populasi yang memiliki kekebalan terhadap infeksi sehingga dapat secara efektif menghentikan penyebaran penyakit tersebut.
Jika pada suatu kelompok terdapat orang yang terinfeksi virus, dan dalam kelompok tersebut tidak ada yang melakukan vaksinisai, maka penyakit akan menyebar dengan cepat pada kelompok tersebut.
Beda halnya ketika sebagian orang ikut melakukan vaksinisasi maka, penyebaran penyakit bisa mulai dikendalikan secara perlahan. Apalagi, jika sebagian besar orang dalam kelompok tersebut melakukan vaksinisasi, maka penyebaran penyakit akan terhambat dengan drastis.
ADVERTISEMENT
Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk menerapkan herd immunity. Pertama, dengan memberikan vaksin corona. Kedua, dengan membiarkan 70 persen populasi terinfeksi virus sehinggga akan meningkatkan kekebalan antibodi secara alami.
Melihat vaksin corona yang sampai saat ini belum ditemukan, tidak salah jika kemudian pemerintah ‘diam-diam’ merencanakan herd immunity (sambil menunggu vaksin ditemukan).
Bagi masyarakat yang tidak sadar mungkin akan berpikiran bahwa corona telah selesai. Padahal, di Indonesia sendiri, belum ada tanda-tanda kasus korona akan menurun di bulan Juni. Kurvanya pun masih menunjukkan adanya peningkatan dan belum mencapai puncak pandemi.
Di sisi lain, pemerintah kini sedang mengkaji pembukaan kembali mall, toko-toko, sekolah dan kantor yang sudah vakum beberapa bulan akibat corona ini yang rencananya akan kembali di buka pada Juni mendatang.
ADVERTISEMENT
Untuk memuluskan rencana itu, pemerintah membagi skenario pemulihan ekonomi ke dalam lima fase di mana, fase pertama akan dimulai pada 1 Juni 2020, fase kedua 8 Juni 2020, fase ketiga 15 Juni 2020, fase keempat 8 Juli 2020, dan fase kelima 20 dan 27 Juli 2020.
Nantinya, 4 provinsi dan 25 kabupaten atau kota akan menjadi percobaan awal penerapan new normal. Adapun ke empat provinsi tersebut yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatra Barat, dan Gorontalo.
Jika melihat persebaran virus di masing-masing daerah, ini akan menimbulkan pertanyaan besar. DKI Jakarta dengan 7.229 kasus, Jawa Barat 2.231 kasus positif, Sumatra Barat 552 kasus positif, dan Gorontalo dengan 69 kasus positif. Mengapa dua provinsi (DKI Jakarta dan Jawa Barat) yang notabene masuk dalam kategori top five kasus korona menjadi wilayah yang akan dibuka aktivitas ekonominya?
ADVERTISEMENT
Ancaman bagi lansia
Jika pemerintah benar-benar akan melakukan new normal di bulan Juni, saya rasa ini akan berbahaya. Indonesia harus bersiap-siap dengan second wave (gelombang kedua) corona. Secara tidak langsung, penduduk nantinya akan dipaksa untuk berinteraksi dan terinfeksi oleh virus ini.
Meskipun dengan harapan akan tumbuh kekebalan tubuh secara alami, namun jumlah kematian meningkat drastis dan hampir dipastikan Indonesia kehilangan separuh juta jiwa. Kematian massal akan menjadi pemandangan di setiap sudut kota. Terutama, orang yang berumur di atas 45 tahun.
Melansir dari CNNIndonesia.com (24/03/2020), Peneliti Bidang Mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono mengungkapkan orang berusia 45-65 tahun berpotensi memiliki tingkat kematian tinggi akibat corona. Hal ini disebabkan sistem imun yang melindungi tubuh tidak lagi mempunyai kekuatan optimal seperti saat waktu muda.
ADVERTISEMENT
Dalam studi yang dilakukan oleh Chinese Center for Disease Control and Prevention (CDC), tingkat kematian di China berkisar di angka 4,04 persen. Korban yang meninggal umumnya orang dengan usia lanjut yang telah memiliki riwayat masalah kesehatan. Usia 40-49 tahun sebesar 0,4 persen, usia 50-59 tahun sebesar 1,3 persen, usia 60-69 tahun sebesar 3,6 persen, usia 70-79 tahun sebesar 8 persen, dan usia 80 tahun ke atas sebanyak 14,8 persen.
Sementara, presentase kematian lansia akibat korona di Indonesia berada di puncak dengan presentase 43,6 persen mengalahkan usia yang lain. Dengan presentase kematian yang tinggi ini, bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan separuh penduduknya.
‘Lahirnya manusia baru’
Selain berpotensi menimbulkan kematian massal, kebijakan new normal (jika diterapkan saat ini) juga akan ‘melahirkan manusia baru’ yang lebih kebal terhadap virus. Menggantikan yang tua dan waktunya bagi yang muda untuk memimpin.
ADVERTISEMENT
Seperti kita tahu, sejak wabah black death hingga kawan-kawannya yang kini terus menyerang manusia, ia (baca: manusia) senantiasa berevolusi menjadi lebih kuat. Bertahan di tengah gempuran virus dan menciptakan kekebalan sistem imun tubuh.
Apalagi, di tengah ketidakpastian new normal ini, manusia dengan usia di bawah 45 tahun diperbolehkan kembali bekerja namun dengan syarat tidak memiliki riwayat penyakit kronis. Dengan alasan, mereka tidak akan mudah gugur dalam berperang melawan corona.
Hal ini diungkapkan langsung oleh Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Tommy Suryopratomo, seperti yang dilansir dari CNBC Indonesia (12/05/2020). Menurutnya, masyarakat dengan usia 45 tahun ke atas berpotensi terkena corona lebih tinggi dibanding usia 45 tahun ke bawah.
ADVERTISEMENT
Ini menandakan bahwa usia di bawah 45 tahun harus bersiap-siap bertarung secara terbuka melawan corona tanpa vaksin. Meskipun ada potensi untuk terpapar dan meninggal, ini lebih baik daripada harus mengorbankan rakyat sebagai tumbal kepada corona. Dengan demikian, akan lahir manusia baru yang mempunyai kekebalan tubuh kuat setelah terpapar langsung dengan corona.
Melihat rencana ini, saya jadi teringat dengan Charles Darwin mengenai The Survival Of The Fittest. Dalam teori itu, Darwin menjelaskan bahwa manusia haruslah menjadi kuat apabila ingin bertahan hidup dan menang dalam pertarungan melawan seleksi alam.