Corona dan Blunder Media Kita

Agus Salim Irsyadullah
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang kelahiran Batang
Konten dari Pengguna
30 April 2020 13:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Salim Irsyadullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber ilustrasi: Tirto.id
zoom-in-whitePerbesar
Sumber ilustrasi: Tirto.id
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Framing media terhadap virus corona tidak diimbangi dengan jurnalisme positivisme. Imbasnya, masyarakat menjadi semakin panik.
ADVERTISEMENT
Angka kematian akibat pandemi corona di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, jumlah kematian per Minggu (26/04/2020) mencapai 743 orang.
Hal ini turut menambah panjang deretan kepanikan dan ketakutan di dalam masyarakat. Terbukti, dari sejumlah korban yang meninggal akibat Covid-19, sebagian besar mendapat penolakan serius dari masyarakat.
Di Banyuwangi misalnya, dalam video yang beredar di media sosial, petugas medis yang membawa korban meninggal akibat Covid-19 dihadang massa dan dilarang menguburkan jenazah di kampung tersebut. Bahkan, terlihat warga yang melakukan penolakan juga sempat melempari batu kepada para petugas medis.
Belum lama ini, perawat yang meninggal di RSUP Kariadi Semarang setelah dinyatakan positif Covid-19 juga mendapat penolakan keras warga. Bahkan, keluarga korban menangis dan memohon agar masyarakat menerima pemakaman korban. Namun, tak ada satu pun masyarakat yang mengindahkannya.
ADVERTISEMENT
Padahal, jika mengacu pada hukum islam, menghormati jenazah sudah menjadi kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Terkait jenazah yang meninggal akibat Covid-19, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri sudah mengatur tata cara yang tercantum dalam fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah.
Dalam fatwa itu terdapat tata cara pengurusan jenazah terpapar Covid-19 yang harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang. Namun, dengan tetap memperhatikan ketentuan sesuai syariat islam.
Yang patut disayangkan adalah bagaimana sikap masyarakat terhadap fenomena ini. Dimanakah letak hati nurani mereka?
Framing sesat media
Diakui atau tidak, ketakutan yang timbul di kalangan masyarakat terhadap Covid-19 tidak bisa dilepaskan dari peran media. Media yang dalam hal ini berperan sebagai penyampai informasi, gagal memberikan pemahaman kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Petugas sedang menguburkan jenazah pasien corona (Sumber foto: sukabumiupdate.com)
Mirisnya lagi, pemberitaan yang dilakukan oleh media terlanjur membuat masyarakat bertindak salah kaprah dalam menangani kasus corona. Memperlakukan manusia secara tidak manusiawi dengan menyemprotkan disinfektan ke tubuhnya.
Padahal, hal semacam ini tidak dianjurkan oleh WHO. Menyemprot tubuh dengan alkohol atau klorin pada tubuh seseorang tidak akan membunuh virus yang sudah masuk ke dalam tubuh. Bahkan, menyemprot bahan-bahan kimia dapat membahayakan jika terkena pakaian atau selaput lendir, seperti mulut atau mata.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat kita mengalami ketakutan epistemik luar biasa. Inilah blunder yang dilakukan media kita. Pemberitaan tentang Covid-19 yang tiada henti, nyatanya tidak banyak memberi edukasi bagaimana menghadapi virus itu sejak awal. Media tidak bisa memberi pengetahuan justru memberi ketakutan.
ADVERTISEMENT
Yang terjadi selanjutnya, banyak masyarakat yang berspekulasi dan berlomba menonjolkan pengetahuan tentang virus corona.
Kaum yang katanya intelektual sibuk menyaring berita hoaks corona. Lalu, kaum agamawan sibuk berfatwa dengan dalil-dalil agama yang nantinya digunakan sebagai pedoman penanganan covid-19 bagi masyarakat. Meneguhkan masyarakat untuk tetap bertahan sembari mengokohkan konsep ketuhanan.
Hal ini tak lepas dari jurnalisme marketting yang banyak diterapkan media itu sendiri yang mana, lebih mengutamakan clickbait daripada proses analisis data menjadi knowledge management.
Knowledge management adalah proses menciptakan, membagikan, menggunakan, dan mengelola suatu pengetahuan dan informasi dari sebuah organisasi yang nantinya menjadi pengetahun baru bagi pembaca.
Dalam konsepnya, knowledge management mempunyai hirarki berupa Data-Information-Knowledge-Wisdom (DIKW).
ADVERTISEMENT
Pada konsep DIKW inilah fakta-fakta yang terjadi kemudian diformulasikan menjadi sebuah data. Formulasi fakta ini dicatat dan direkam dalam berbagai bentuk data seperti teks, angka, gambar, suara, video, dan simbol.
Hasil pencatatan data ini lantas dimaknai dalam berbagai konteks untuk kemudian menjadi informasi. Saat informasi bersinggungan dengan pengalaman dan gagasan dari penggunanya maka, informasi ini berubah menjadi pengetahuan yang nantinya akan mempengaruhi keputusan.
Selain itu, perlu dicatat pula bahwa untuk mencapai sebuah pengetahuan dan kebijaksanaan, hal itu bergantung pada data dan informasi (yaitu pengetahuan adalah kumpulan dari data atau informasi), dan bahwa kebijaksanaan harus membantu orang untuk membuat keputusan yang baik
ADVERTISEMENT
Yang sering dilakukan media kita adalah lalai melakukan analisis mendalam tentang dampak pemberitaan Covid-19. Hal itu justru membuat panik masyarakat. Jurnalisme positivisme yang seharusnya ikut disertakan dalam pemberitaan menjadi kabur.
Jika media masih kekeh untuk mementingkan kepentingan bisnis lalu, bagaimana nasib masyarakat awam kita?
Menimbulkan perpecahan
Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak, sedangkan pengertian media massa sendiri adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi seperti surat kabar, film, radio dan televisi (Canggara, 2010:123,126).
Namun, apabila informasi yang ingin disampaikan tidak dipahami oleh masyarakat, maka dapat menimbulkan perpecahan di antara mereka. Pada kasus penolakan jenazah misalnya, yang secara tidak langsung akan mengucilkan keluarga korban dalam hubungan bersosial.
ADVERTISEMENT
Tentunya, nalar berpikir masyarakat kita sedang dipertanyakan. Mereka masih saja terperangkap dalam kehidupan hedonis dan cenderung untuk mencari keselamatan sendiri-sendiri.
Yang menjadi persoalan lain adalah bagaimana timbangan nalar dan rasa kemanusiaan kita mampu mengendalikan rasa takut dan waspada terhadap virus ini. Pantaskah korban dan keluarganya mendapatkan perlakuan semacam ini?
Agaknya apa yang dikatakan oleh Jean Baudrillard benar adanya bahwa, dunia nyata kita telah musnah dari kerangka berpikir manusia.