news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Konspirasi Gelap, Bersama Membela yang Nista

Agus Sarkoro
Auditor KAP, Ketua DeWas Yayasan Al-Ikhlas Tarakan
Konten dari Pengguna
9 September 2021 19:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sarkoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Dilema Moral (Sumber: pikisuperstar dari freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Dilema Moral (Sumber: pikisuperstar dari freepik)
ADVERTISEMENT
Di negeri bernama Indonesia akhir-akhir ini sering kita saksikan tontonan keburukan dan rendah etika yang semakin dianggap menjadi sebuah kewajaran. Anggapan yang melekat pada setiap orang bahwa Nusantara adalah negeri yang penuh ramah-tamah penghuninya, rasanya semakin jauh dari kenyataan.
ADVERTISEMENT
Seperti yang baru saya alami di gerai ATM dekat rumah. Tadi pagi saya mengantre di ATM cukup lama. Pengunjung ATM di depan saya lama sekali tidak keluar-keluar dari ruang kaca ATM. Sementara antrean di belakang sama semakin banyak. Saya membayangkan pengunjung yang di dalam ATM itu sedang sibuk sekali mengambil uangnya hingga batas maksimal pengambilan sehingga butuh waktu lama untuk mengeluarkannya dari mesin ATM.
Akhirnya, orang yang di dalam ruang kaca ATM itu keluar. Nampak wajah cuek dan sedikit merengut. Ia tak memberi tahu kepada para pengganti di belakangnya jika mesin ATM nya tidak bisa mengeluarkan uang sehingga saya harus mengalami derita kekecewaan yang sama, sebuah kesialan yang mestinya tidak saya alami andai orang itu mau sedikit berderma memberi tahu jika mesin ATM nya rusak.
ADVERTISEMENT
Tetapi saya tidak ingin meratapi kesialan dan tak lagi melanjutkan umpatan dalam hati saya, karena hal semacam ini sudah sering terjadi. Saya lebih memilih untuk menjaga perasaan saya dengan menganggap itu sebuah kewajaran. Buat apa memendam rasa jengkel pada orang yang tidak dikenal.
Ini hanyalah soal kecil, tentang memberi maaf pada sikap orang yang sama sekali tidak saya kenal hanya karena ia tidak mau meringankan derita orang lain. Meskipun kejadian semacam ini nyaris terjadi setiap hari. Apalagi jika dibandingkan dengan orang-orang yang sanggup bersuka cita menyambut kedatangan artis yang baru keluar dari penjara karena kejahatan pedofilia yang dilakukannya, sikap saya ini masih terlalu ringan untuk bisa dilakukan oleh siapa pun.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menghujat, para penyambut artis mantan napi, yang mungkin juga karena dibayar, mereka lebih memilih ikut merasakan kegembiraan bebas yang dirasakan sang artis. Stasiun televisi juga lebih memilih rating dari pada memikirkan bagaimana derita yang dialami oleh orang-orang yang telah menjadi korban perbuatan bejat artis ini.
Ada juga contoh lain. Beberapa waktu yang lalu, artis yang menyebut simbol kelima dari Pancasila adalah bebek nungging. Ia dituntut dan dilaporkan ke polisi. Alih-alih dihukum, sang artis malah dijadikan duta Pancasila oleh salah satu partai politik besar di negeri ini.
Ada juga, seorang pedagang roti yang suka berkata-kata kasar suka memaki. Kata-kata kasarnya banyak ditiru orang sampai menjadi viral di media sosial. Bukannya ditegur, oleh Gubernur, pedagang roti ini dijadikan duta bagi perkembangan UKM kuliner.
ADVERTISEMENT
Terjadi juga, sepasang artis yang dengan sengaja melanggar lalu lintas dengan masuk ke jalur busway. Ketika ditegur petugas, bukan mengakui kesalahannya, artis ini justru marah-marah. Ajaibnya, bukan hukuman yang ia dapatkan, ia bahkan mendapat kehormatan menjadi duta berlalu lintas dari seorang Wakil Gubernur.
Tetapi saya ragu dengan diam dan mendukung serta bergembira mereka. Jangan-jangan mereka yang menyambut penjahat yang keluar dari penjara, dan penganugerahan duta pada para pelanggar etika, hanyalah bentuk keputusasaan melihat begitu banyak perilaku buruk yang terjadi di sekitar kita. Bukankah bergembira itu lebih baik dari pada berputus asa ?
Kenyataannya, orang yang punya kebiasaan mengumpat berkata kasar, tak terhitung banyaknya. Orang yang tidak hafal Pancasila juga tidak sedikit, orang yang sengaja menerobos jalur busway bisa kita saksikan setiap hari. Begitu juga dengan koruptor pencuri uang rakyat yang tak terhitung banyaknya ada di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Putus asa pada jumlah pelanggaran etika moral dan hukum yang sudah diluar takaran itulah yang membuat kita secara bersama-sama memilih diam, seolah sabar terhadap semua itu. Bahkan sebagian kita menelanjurkan diri mendukung, saling bantu, saling dorong, tarik menarik tetapi cuma untuk masuk ke lubang keburukan secara berjemaah.
Maka pantaslah jika banyak koruptor yang tetap bisa terpilih kembali menduduki jabatannya, karena banyaknya korupsi di negeri ini telah menjadi kewajaran bagi pelakunya, dianggap biasa oleh sebagian besar rakyat.
Kalaupun ada yang tertangkap, mereka menganggap hanya sebuah kesialan belaka. Penjara bukanlah tempat penyesalan dan hukuman, tetapi hanya menjadi tempat reuni dengan teman-temannya, berbagi ilmu, menyusun strategi agar selepas dari bui dapat beraksi kembali.
ADVERTISEMENT
Panggung negeri ini benar-benar sudah dipenuhi dengan atraksi arogansi dan kesesatan moral diiringi sorak sorai masyarakat penontonnya. Sementara, si bijak, si alim, si baik, diam membisu, putus asa tak berdaya.

Inilah yang disebut konspirasi gelap. Keadaan di mana seorang bisa membenci sebuah kesalahan tetapi membiarkan, bahkan mendukung kesalahan itu terus terjadi. Jadi, ada jenis gotong royong kelabu, bahu membahu membela yang keliru.

Atau jangan-jangan karena negeri ini penuh dengan manusia berhati mulia, sehingga, berapapun besar kesalahan, sebanyak apa pun keburukan, ketersediaan orang-orang yang memaafkan masih jauh lebih banyak.