Mencari Wajah Negara di Meja Makan Kita

Agus Sarkoro
Auditor KAP, Ketua DeWas Yayasan Al-Ikhlas Tarakan
Konten dari Pengguna
3 September 2021 18:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sarkoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masakan Non-Indonesia mulai menghiasi meja makan masyarakat (Sumber Foto: Agus Sarkoro)
zoom-in-whitePerbesar
Masakan Non-Indonesia mulai menghiasi meja makan masyarakat (Sumber Foto: Agus Sarkoro)
ADVERTISEMENT
Melihat negara tak perlu harus repot-repot keliling pulau seluruh nusantara. Tidak perlu pula harus memencet tombol remot, menonton televisi yang penuh berita dusta. Anda cukup duduk di meja makan, menikmati makan malam dengan keluarga tercinta. Seperti yang saya lakukan malam tadi bersama istri dan anak saya,
ADVERTISEMENT
Istri saya seharian menyiapkan makanan. Mengambil bahan makanan yang telah disimpan di kulkas dapur bermerek LG, buatan Jepang. Istri saya yang memilih merek saat kami membelinya beberapa bulan yang lalu. Satu merek yang sudah lama sekali ada di Indonesia yang menurut istri saya sudah teruji keandalannya. Beberapa kali ganti kulkas, ia selalu memilih merek ini.
Diambilnya bahan makanan satu demi satu dari tempat penyimpanan makanan berbentuk mangkuk terbuat dari plastik tebal berwarna polos buatan Massachusetts merek Tupperware, yang dibelinya dari jaringan Multi Level Market di mana ia menjadi sub agennya.
Macam-macam bahan makanan yang dibeli untuk menu makan hari kemarin. Bukan hanya drama korea saja yang digandrungi istri saya, tapi juga sampai ke urusan makanan. Lewat aplikasi ojek online, dia memesan makanan ala korea bernama Korean Bulgogi Toast, daging panggang ala korea. Sementara anak saya yang sehari-hari sibuk dengan gadget-nya bermain game memesan Pizza ala Amerika.
ADVERTISEMENT
Ini hanyalah kebiasaan yang dilakukan istri saya bersama teman-temannya sebelum masa pandemi. Makan di restoran-restoran korea yang ada di mal sambil ngrumpi membahas drama korea yang sudah sama-sama mereka saksikan. Tetapi karena adanya PPKM yang tidak membolehkan makan di tempat, terpaksa harus memesan lewat aplikasi online agar makanan kesukaannya itu tetap bisa dinikmati di rumah.
Akhirnya, makanan tersaji di meja makan kami yang ditutup dengan taplak meja buatan china yang dibeli lewat belanja online. Sementara makanan yang disantap adalah makanan ala korea dan amerika, Bulgogi dan Pizza.
***
Pemandangan seperti itu, pastilah bukan hanya ada di rumah saya saja, tetapi ada di banyak rumah. Terutama di kota-kota besar kebiasaan makan seperti di atas kian hari semakin banyak terlihat. Gaya hidup dan lingkungan, dan kemudahan untuk mendapatkan makanan itu menjadi pendorong cepatnya masakan-masakan asing itu merambah diseluruh lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di pusat-pusat perbelanjaan, di arena food court, menu non Indonesia semakin mendominasi dan secara perlahan-lahan mulai menggeser menu-menu seperti gudeg, pecel, soto, rendang dan menu-menu asli Indonesia lainnya.
Apalagi jika kita melihat anak-anak generasi milenial dan generasi Z yang berumur di bawah 25 tahun. Mereka semakin jarang memilih makanan asli Indonesia, tetapi lebih menu korea, jepang, china atau amerika yang hangat, praktis dan cepat tersaji bila dibandingkan dengan masakan asli Indonesia yang kebanyakan dingin dan lebih ribet penyajiannya.
Meskipun perubahan selera makan seperti ini masih terbatas di wilayah perkotaan, tetapi gejala semacam ini harus diwaspadai. Karena pengaruh sarana komunikasi dan informasi yang sudah semakin merata sampai ke pelosok desa pasti akan membuat perubahan dalam urusan selera kuliner dengan cepat merambah ke sana.
ADVERTISEMENT
Masakan-masakan produk luar negeri yang cepat saji, praktis dan dianggap lebih keren, akan dengan cepat mengubah selera kuliner dan kebiasaan makan generasi muda kita. Mereka tidak lagi mempermasalahkan dari mana makanan itu berasal.
Jika tentang makan ini kita permasalahkan lebih jauh, dikaitkan dengan urusan nasionalisme, utang negara, dan hal lain yang menyangkut idealisme negara, maka hal gejala semacam ini tidak bisa dipandang hanya sebatas urusan makan, tetapi sebuah peristiwa degradasi moral kebangsaan. Indonesia telah lenyap dari pandangan di meja makan rakyatnya.
Apalagi jika masalah makan dimaknai sebagai gambaran dari watak sebuah bangsa, maka perubahan selera dan cara makan bisa juga dikatakan sebagai berubahnya watak bangsa yang semakin pragmatis, dangkal, jauh dari nilai-nilai filosofi.
ADVERTISEMENT
***
Ilustrasi menyajikan makanan. Foto: Getty Images
Untungnya, ada kabar baik yang kita dengar beberapa hari terakhir ini. Pemerintah telah membentuk Badan Pangan Nasional (BPN). Badan ini dibentuk dan langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Badan ini bertugas untuk koordinasi, penetapan kebijakan dan ketersediaan pangan, stabilisasi harga dan pasokan pangan, pelaksanaan pengadaan, pengelolaan dan penyaluran cadangan pangan, pelaksana pengendalian kerawanan pangan, pembenihan hingga bimbingan teknis dan supervisi atas pangan.
Kewenangan BPN adalah melakukan koordinasi, merumuskan, dan menetapkan kebijakan ketersediaan pangan serta gizi. BPN juga berfungsi mengatur keanekaragaman konsumsi pangan dan menjaga keamanan pangan nasional.
Semoga pembentukan Badan Pangan Nasional ini bukan hanya tentang pengaturan ketersediaan pangan agar kebutuhan pangan masyarakat terjamin saja, tetapi juga mengembalikan fungi makan yang sebenarnya. Menghidupkan kembali selera makan menu-menu Indonesia, menjaga kelestarian kearifan lokal kuliner Indonesia dan menghadirkan kembali Indonesia sejak dari meja makan rumah penduduknya.
ADVERTISEMENT
Kita akan melihat kembali jenis-jenis masakan khas negeri tercinta terhidang di meja makan setiap rumah. Kita tak melihat lagi tubuh-tubuh tambun akibat konsumsi jenis masakan yang bukan dari akar budaya dan geografis Indonesia.