Harga Diri dan Martabat Peradaban

Surya Al-Bahar
Penulis dan Suka Budaya Pop
Konten dari Pengguna
6 Mei 2022 19:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Surya Al-Bahar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Acara Pemantapan Aswaja Santri PP Bustanul Ulum Glagah Lamongan (Dokumentasi Pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Acara Pemantapan Aswaja Santri PP Bustanul Ulum Glagah Lamongan (Dokumentasi Pribadi).
ADVERTISEMENT
Menurut para tokoh keberagaman, budaya Indonesia itu unik, berwarna. Mirip pelangi dan saudaranya, rombongan bintang bertebaran di langit. Amat banyak. Saking banyaknya, sampai tidak terhitung itu bintang. Berbeda dengan budaya negara lain, terutama Arab, negara turunnya Islam. Begitu juga praktik agamanya, seratus persen beda. Di sini pakai sarung, di sana pakai jubah atau gamis. Di sini pakai peci, di sana pakai igal sorban. Orang Indonesia tak mau kalah, pakai sorban juga, tapi atas kegunaan tertentu, bukan utama. Misalnya buat pengganti sajadah atau aksesoris di pundak saat salat, konon itu sunah Rasul.
ADVERTISEMENT
Khusus sorban ini, Indonesia boleh sama dengan Arab. Hanya sorbannya saja. Jangan yang lain. Ditambah banyak ulama Indonesia menimba ilmu di sana. Tapi tidak semua beres pemahamannya saat pulang. Banyak dari mereka kehilangan Indonesia-nya. Jiwanya tidak sepenuhnya Indonesia. Terlalu jauh. Bukan Indonesia, tapi asal tanah kelahirannya, tanah Jawa, Sunda, Bugis, dan lainnya. Bisa seluruh atau sebagian diri mereka berubah jadi identitas lain.
Beda lagi soal budayanya. Di sana tidak ada maulid nabi, tahlilan, yasinan, dan piranti sosial keagamaan lainnya. Jarang kumpul-kumpul dan diskusi. Padahal di situ bisa menciptakan kerukunan dan persatuan. Sedikit permusuhan pun bisa, cuma peluangnya lebih kecil. Mereka cukup terlatih saling mengerti.
Jadi, tingkat kultur budaya rukun di Indonesia sengaja diciptakan sejak dulu. Grand design yang mendarah daging, mengalir, dan terpendam di hati. Bahasa orang sekarang, itu program kerjanya para ulama. Kalau program kerja, pasti disengaja. Kesengajaan itu pun dengan alasan, karena mereka cerdas membaca kondisi Indonesia waktu itu. Tak cukup pintar, tapi juga cerdas. Hasilnya maksimal. Mereka paham apa yang dibuat. Kalau paham, berpeluang besar sukses. Sama seperti ilmu-ilmu pasti, matematika atau fisika. Pengerjaannya jelas. Rumusnya runtut sesuai konteks masalah. Salah menggunakan rumus, hasil akhirnya bisa salah.
ADVERTISEMENT
Hari ini kita tinggal meneruskan. Hukumnya wajib. Buktinya jelas. Tanpa mereka, kita di sini sulit mengenal Islam. Tapi nyatanya meneruskan tidak semudah menciptakan. Di sana-sini penuh terpaan angin. Mirip nelayan di tengah langit, lalu datang badai hujan dan angin. Si nelayan itu bingung, kapalnya kecil. Sedangkan ombaknya besar. Tidak ada cara lain selain pasrah.
Kita juga pasrah di tengah terpaan itu. Cuma, sepasrah apa pun, seorang nelayan harus berusaha menyelamatkan diri dan kapalnya. Hanya nelayan yang tahu seperti apa karakter kapalnya. Kita pun sama, sepasrah apa pun, kita wajib berusaha. Yang tahu kultur dasar bangsa ini adalah kita para kaum pelestari dan penerus.
Saya mengambil judul unik dari bukunya Fritjof Capra, "Titik Balik Peradaban". Budaya dan peradaban itu berbeda. Budaya yang telah menjiwa, otomatis beralih ke peradaban. Sedangkan peradaban itu tanpa sekat. Ia rapat dan mendasar. Bisa dibilang kebutuhan sosial yang kuat. Meski Fritjof menekankan mistisme di samping kuatnya dunia sains, tapi di sana ada unsur kembali atau pulang.
ADVERTISEMENT
Setelah bermain, berlari, dan belajar jauh, ada masanya pulang, kembali lagi ke titik awal. Fritjof menekankan lagi, narasi kembali itu kembali ke Tuhan. Sejauh apa pun mengejar keinginan dunia, ingatlah kembali ke Tuhan. Sejauh apa pun menyimpang dari peradaban, kembalilah ke titik awal tujuan peradaban diciptakan. Itu yang dinamakan zikir.
Umpamanya itu benar, para akademisi dan praktisi ilmu pengetahuan primordial tentu akan senang. Mereka sangat berharap masyarakat bisa belajar sekaligus menghargai nilai masa lalu. Setya Yuwana Sudikan, Guru Besar Universitas Negeri Surabaya sempat mengutarakan hal serupa. Sejauh apa pun peradaban bergeser dari titiknya, suatu saat akan kembali. Sebab pergeseran yang dimaksud merujuk pada kepentingan dengan maksud tertentu. Nanti bila mereka bosan, sama sekali tujuannya tak tercapai, mereka akan kembali sendiri, berzikir mengingat Tuhan. Istilah Jawa-nya jadi Panembahan.
ADVERTISEMENT
Mereka hanya merantau. Mencicipi simulasi permainan bongkar pasang. Ada saatnya mereka dipasang, bahkan dicopot, sama sekali tidak digunakan pun bisa. Khusus ini mungkin peluangnya lebih kejam. Lebih perih sakit hati anak yang tidak diakui ibunya. Soal harga diri juga ada. Malahan perihnya persis muka yang diludahi orang. Kalau begitu, urusannya martabat dan harga diri. Maka, bila terlalu jauh menggeser peradaban dari titiknya, harga diri itu taruhannya. Baik bangsa dan manusianya.
Lamongan, 6 Mei 2022