Kalau 'Sastra' Akhirnya Mati, Memangnya Kenapa?

Ahmad Farid
Penulis dan Pedagang
Konten dari Pengguna
5 Juni 2018 20:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Farid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku-buku tua (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku-buku tua (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Kita boleh cemas jika sekolah-sekolah tidak mengenalkan Pramoedya Ananta Toer pada siswa-siswanya. Boleh gemas dengan rencana ekranisasi Bumi Manusia oleh Hanung dan aktornya Iqbaal, atau merasa jijik dengan puisi esainya Denny JA, atau iri mampus pada Tere Liye yang karya-karyanya selalu laris, dan tenaga menulisnya yang seperti kuda pacu.
ADVERTISEMENT
Atau pesimistis dengan meningkatnya jumlah komunitas-komunitas literasi yang lebih menekankan pentingnya dokumentasi di instagram dan acara-acara seremonial daripada membangun tradisi menulis dan membaca yang kokoh di dalam lingkaran komunitasnya sendiri. Juga boleh bertanya cemas kenapa cerpen-cerpen dan puisi-puisi di koran begitu membosankan, atau kenapa nobel sastra mirip piala dunia—terlalu jauh untuk dapat diraih Indonesia.
Atau yang paling klise merasa miris pada jongkoknya angka minat baca masyarakat kita—yang sebenarnya bisa diperbincangkan lagi sumber datanya. Masalahnya adalah kecemasan kita seringkali dialamatkan hal-hal yang cangkang saja.
Namun, kalau toh kita tetap menggunakan itu sebagai alasan kecemasan maka kita perlu merunut jauh agak ke belakang sebentar. Apa sebenarnya yang kita cemaskan tidaklah baru. 2500 tahun lalu Socrates cemas, sebagaimana dikisahkan oleh Plato dalam Phaedrus-nya.
ADVERTISEMENT
Pemikir agung itu ketakutan melihat hadirnya tulisan dan buku-buku, sesuatu yang masih asing pada zamannya. Katanya: “Karena simbol menggantikan ingatan, tulisan akan membuat kita menjadi pemikir dangkal, sehingga kita tidak bisa mencapai kedalaman intelektual yang akan mengantarkan pada pengetahuan dan kebahagiaan sejati.”
Tapi kita tahu, Socrates keliru. Barangkali ini bisa membuat penilaian baru. Buku-buku puisi dan novel yang terbit di kita memang tidak sebanyak negara tetanggga, tapi bagaimana dengan e-Book, Twitter, Blog, dan Instagram?
***
“Yang fana adalah waktu, kita abadi.” ucap Sapardi Djoko Damono. Manusia hidup dengan tradisi dan sejarahnya sendiri. Ada banyak alasan untuk mengira lalu merasa cemas bahwa sebuah tradisi yang satu menenggelamkan tradisi yang lain. Tapi tidak ada yang bisa mematikan perasaan manusia yang ingin abadi.
ADVERTISEMENT
Apa itu sastra? Aku tidak tahu apa pastinya. Barangkali saat ini aku ingin mengira-ngira begini saja. Sastra (sebagai novel, puisi, cerpen, bahkan disiplin ilmu pengetahuan) hanyalah salah satu jalan manusia untuk melawan kefanaan mereka. Dengannya, manusia menunjukkan eksistensi dan mencatat sejarahnya, sehingga mereka bisa menyusun dan memetakan pemahaman tentang bagaimana dunia membentuk keberadaan mereka dan sebaliknya.
Untuk saat ini, dalam skenario terburuk akan ada yang menulis puisi atau karya sastra lainya dengan kualitas buruk, membuat kesalahan fatal dalam rumusan fisika, atau tidak sengaja meledakkan dirinya di sebuah rumah kontrakan kecil di kampungmu, atau aktivis literasi yang tidak suka membaca dan tidak tahan duduk dua puluh menit untuk menulis.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam skenario terbaiknya, akan ada penemuan baru di berbagai bidang, cerita-ceriita pendek yang menyenangkan, puisi-puisi yang membuat kita bergetar sampai ke dalam tulang, karya-karya sastra (atau adaptasinya) yang sanggup membangun kesadaran pentingnya manusia untuk saling mengerti dan tidak perlu saling membunuh hanya karena terlalu lama berada dalam grup WhatsApp yang salah.
Akan ada yang memandang sastra seperti fashion kuno. Begitu juga yang menghargainya setengah mampus seperti barang antik. Akan ada yang mengira bahwa puisi-puisi itu hanya garapan orang-orang yang sakit hati, sementara cerpen adalah mainan remaja galau. Atau malah mengiranya sebagai bentuk perlawanan terhadap tirani dan hal-hal hebat lainnya.
Tapi tidak ada yang berani meragukan bagaimana kekuatan cerita (sastra) di keseharian kita khususnya, dan di dalam sejarah umat manusia pada umumnya. Sastra sejauh ini telah menjadi salah satu pendorong umat manusia untuk bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Di masa lalu, sastra, melalui dongeng lisan dari para tetua (yang diyakini berasal dari bisikan oleh roh-roh leluhur) adalah cara yang efektif untuk melawan kefanaan mereka, dengan mencatat masa lalu dan merumuskan hari-hari depan.
Lalu, masa para nabi dan rosul, melalui wahyu-wahyu (yang diyakini datang melalui perantara malaikat) juga melakukan hal yang sama: menyisipkan gagasan tentang hari akhir, penghitungan amal dan sejenisnya. Sampai kita tiba di masa-masa tradisi tulis menulis dimulai sampai saat ini, dan telah menempuh berbagai bentuknya. Dari lontar ke buku, dari buku ke e-Book, dari e-Book ke aplikasi penyedia konten bacaan, dan entah apalagi nantinya. Semua dengan maksud yang sama: melawan kefanaan.
Mungkin pada ribuan tahun nanti, manusia bisa hidup lebih bahagia dan saling mengerti—saya tidak tahu adakah cara lain selain kedua hal ini untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia sampai ke masa-masa paling jauh di masa depan—tanpa memerlukan sastra seperti dulu dan sekarang.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu nanti tidak ada lagi yang diperlukan dari sastra untuk menghibur dan mendidik. Tidak perlu ada film, karena naskahnya toh ditulis. Tidak juga musik, karena liriknya toh ditulis. Tidak juga kitab suci, sebab tidak ada lagi yang mengubur bayi perempuan seolah-olah bukan manusia. Bukan pula dongeng sebelum tidur, sebab tidak diperlukan lagi pesan-pesan moral yang menanamkan kebahagiaan dan peringatan bahaya dari kedangkalan pikiran pada mimpi manusia.
Kita khawatir dengan kemungkinan tibanya masa-masa paperless atau pada angka minat baca kita, tapi di saat yang sama kita mungkin lupa, bahwa manusia berevolusi. Begitu pula dengan cara kita menempatkan sastra di tengah kita.
Jadi, jika sastra mati memangnya kenapa? Jika belum, apa yang bisa dicapai manusia dengannya? Dan yang lebih penting, apa yang sebenarnya kita cemaskan dengan dunia sastra kita?
ADVERTISEMENT
Purwakarta, 05 Juni 2018.
__________________________________________________
*Paper ini merupakan pengantar untuk memantik diskusi "Sastra Telah Mati?" yang diinisiasi M.I.C (Majelis Insan Cita) pada 05 Juni 2018, Situ Buleud, Purwakarta.
**Ahmad Farid Pemimpin Redaksi www.nyimpang.com, pustakawan di @pustakaki, dan editor di Pustakaki Press.