Kosmologi dan Kutukan Ketidaktahuan

Ahmad Farid
Penulis dan Pedagang
Konten dari Pengguna
26 April 2018 9:44 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Farid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemandnangan Luar Angkasa (Foto: pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandnangan Luar Angkasa (Foto: pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
I want to know why the universe exists, why there is something greater than nothing. --Stephen Hawking.
ADVERTISEMENT
Pada permulaan milenium kedua, ungkap Karlina Supelli, seorang kosmolog senior menulis artikel “Dari Kosmologi Cermat menuju Kosmologi Tepat”. “Cermat” merujuk pada keadaan ketika semua parameter penting dalam sebuah teori sudah berhasil ditentukan. Sedangkan “tepat” berarti bahwa teori tersebut sudah cukup teruji sehingga dapat diterima sebagai lampiran terhadap keadaan yang sesungguhnya. Lanjutnya, artikel tersebut sampai 1940-an masih menjadi alasan perdebatan para Ilmuwan yang memperkarakan, apakah kosmologi termasuk dalam cabang ilmu-ilmu empiris atau tidak.
Di masa yang sama para patriot kita berdarah-darah mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Dari gerilya ke gerilya, perundingan ke perundingan. Boro-boro memimpikan anak negeri naik ke Bulan, nentuin tanggal kemerdekaan aja pakai adegan culik-menculik segala. Lalu pada dekade-dekade setelahnya, lahirlah MUI, Habib Riziq, Ahok, dan seterusnya, dan seterusnya. Sementara mimpi ke Bulan masih tetap jadi mimpi basah seorang tuna asmara.
ADVERTISEMENT
Jauh di luar angkasa, ratusan juta tahun cahaya jaraknya dari bumi kita, bintang-bintang meledak dan berevolusi. Segala hal terjadi dan berlalu begitu saja sampai perdebatan di antara para ilmuwan di muka tadi mengerucut jadi pertanyaan berikut: seberapakah nilai kecermatan dan ketepatan dalam kosmologi yang dimaksud?
Mari kita simak data yang entah bagaimana cara mengumpulkannya ini. Yang jelas para kosmolog sudah mengompilasi dan menyimpulkan seperti ini:
5 % kandungan alam semesta adalah materi energi konvensional yang diketahui dan dapat diamati melalui berbagai panjang-gelombang. Seperti bintang-bintang, Rocky Gerung, bahkan Pasir Hisap.
23 % adalah materi gelap dingin (cold dark matter) a.k.a prediksi-prediksi yang mulai dapat topangan bukti pendukung meski wujud kongkretnya masih belum diketahui, contohnya perasaan gebetan yang belum kau tembak;
ADVERTISEMENT
72 % adalah energi gelap (dark energi)
Mari kita ulangi lagi. 5% kandungan diketahui dan dapat diukur, 23% diketahui tapi belum dapat diukur, 72% sisanya adalah apa yang menyebabkan Karlina Supelli menyimpulkan hal ini secara eksplisit: Alam Semesta adalah The Cloud of Unknowing. Dalam kata lain ya lo pikir aja sendiri!
Masih kata Karlina Supelli, kaitan kosmologi ini sangat erat dengan lelaku-mengetahui sampai pada asbab tindak-tanduk manusia dari zaman ke zaman. Dalam sejarah lelaku-mengetahui manusia, gampangnya bisa dibagi dalam tiga babak: 1. Zaman Iman/Agama (Age of faith); 2. Zaman banyak alasan (Age of Reason); dan 3. Zaman penafsiran (Age of Interpretation), yakni zaman di mana kita hidup saat ini.
Mari kita urai hal ini sebentar. Babak pertama: Sejak masa prasejarah, sebelum manusia mengenal kemungkinan mengukur panas matahari, dan menemukan Pokestop. Manusia saat itu menghadapi pertanyaan yang sama dengan manusia sekarang: Apa kandungan alam semesta? Apa maksud menjadi manusia? Ke mana manusia ini pada akhirnya, selain menuju khilafah?
ADVERTISEMENT
Yang terjadi kemudian, mereka berimajinasi atau mengimani begitu saja tentang jagad kosmos mereka. Bumi ini datar? Oke! Hewan-hewan itu bisa jadi totem yang menandai iman? Sip! Matahari itu sembah-able? Siap!
Kemudian datanglah babak selanjutnya: masa sains. Di mana segala hal tidak cukup diimani saja. Melainkan harus bisa diukur-hitung, dijadikan bahan debat, dan dituliswariskan kepada generasi selanjutnya demi maslahat, atau apapun. Kecuali dihadapkan ke kumpulan orang yang suka cari buku buat pesta barbekyu.
Ujug-ujug Age of Reason tadi sudah berlalu. Tibalah lelaku mengetahui manusia pada fase ketiga, masa kita juga. Masa Penafsiran (Age of Interpretation). Meski masa ini tidak datang dengan cara yang mulus, banyak hal baik terjadi. Ada dialog antara sains dengan Iman. Sains tidak lagi didominasi oleh lembaga-lembaga agama, para mufasir menemukan Tafsir 'Ilmy,' para penginjil ketemu hermeneutika. Ketegangan sains-agama mereda. Urusan kosmologi ya kayaknya gitu-gitu aja.
ADVERTISEMENT
Meskipun cara manusia zaman kiwari memandang alam semesta berevolusi, nyatanya masalah manusia tidak. Sejarah membuktikan bagaimana ketegangan demi ketegangan terus terjadi dalam jagad tafsiran, klaim kebenaran, glorifikasi kelompok, dll.
Age of Interpretation or Extinction?
Nampaknya sial bukan kepalang hidup di zaman serba-tafsir ini, semua orang selalu punya sesuatu untuk dikatakan. Ya mau gimana lagi? Ini juga zaman setiap orang merasa pusat kosmosnya dalam jangkauan dua jempol tangan. Ngeshare hal-hal yang tidak dibaca sampai tuntas, menulis status panjang lebar yang tidak mengatakan apapun selain kebencian dan kegenitan sendiri.
Menyandarkan hal seagung iman dan amal pada meme-meme yang penuh dengan tendensi politis, lalu terburu-buru menekan tombol share. Seperti orang lagi cepirit, yang kalau gak keluar dikit di celana seolah-olah bukan diare serius.
ADVERTISEMENT
Ini semualah yang terjadi. Dampak ketegangan persoalan menafsirkan yang kita alami sehari-hari, lebih brutal daripada ketegangan teolog dan ilmuwan di masa silam. Perbedaan penafsiran hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia menyeret kita untuk tunduk pada paksaan dogmatik tentang cara bersikap, percaya, dan terutama harus gentar dan gemetar.
Narasi-narasi yang bekerja belakangan nampaknya melulu memacak jarak antara alam dan Alam, sains dan agama, bahkan kata tentang Tuhan dan Tuhan yang sehari-hari dalam diri manusia, dan yang lebih menggelisahkan hanya berapa persen tafsiran yang mampu menjembatani titik-titik itu untuk mengantarkan manusia pada dunia yang saling memahami perbedaan dan pentingnya hidup bersama.
Para kosmolog terus membuat temuan baru. Sementara hal-hal yang melukai kemanusiaan terus terjadi. Yang jelas kita tetap saling melukai, tetap saling tidak tahu apa kandungan semesta yang belum masuk hitungan tadi. Tidak tahu pula bentuk bumi yang sesungguh-sungguhnya--bahkan Hawking tidak berani membantah seorang nenek tua yang meyakini bumi ini ditumpu-tumpukan kura-kura tak terbatas.
ADVERTISEMENT
Di luar itu semua alam semesta tetap bekerja, tidak pernah peduli sebebal apa manusia memandang keberadaannya.