Andai Indonesia Menggunakan Sistem Pemilu Distrik

Ahmad Hidayah
Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute (TII)
Konten dari Pengguna
20 Januari 2023 13:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Hidayah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemungutan suara di TPS Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemungutan suara di TPS Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu lalu, publik dihadapi pada wacana perubahan sistem pemilihan umum (Pemilu) yang semula menerapkan sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup. Wacana tersebut pun membuat opini publik terbelah. Ada yang mendukung wacana tersebut, ada pula yang menolak.
ADVERTISEMENT
Menariknya, salah satu pertimbangan mendukung sistem pemilu proporsional tertutup adalah untuk menyederhanakan jumlah partai politik yang ada saat ini. Pasalnya, partai politik saat ini sulit dibedakan. Untuk itu, dengan mengerucutnya jumlah partai politik, maka diharapkan akan muncul diferensiasi partai politik berdasarkan ideologi dan program kerja.
Menurut penulis, jika berangkat dari asumsi untuk menyederhanakan jumlah partai politik, maka sistem proporsional tertutup dapat dikatakan bukan solusi yang solutif. Pasalnya, tidak ada kepastian bahwa partai politik akan menurun jumlahnya.
Untuk itu, terdapat tiga cara untuk menyederhanakan jumlah partai politik, yaitu membuat peraturan yang ketat untuk mendirikan partai politik, membuat aturan yang ketat untuk dapat lolos ke parlemen (misalnya melalui peningkatan parliamentary threshold, ataupun mengubah sistem pemilu dari proporsional menjadi sistem distrik.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya sistem pemilu terdiri dari empat model, yaitu sistem mayoritas (satu daerah pemilihan, satu wakil), proporsional (satu daerah pemilihan memiliki beberapa wakil), sistem campuran, dan sistem lainnya. Meski demikian, mayoritas negara di dunia menggunakan dua sistem, yaitu sistem distrik ataupun sistem proporsional.
Perbedaan dari dua model ini adalah jika model sistem proporsional adalah satu daerah pemilihan dapat dimenangi oleh beberapa partai politik, maka pada sistem pemilu distrik hanya memberikan kursi pada satu partai politik pemenang. Oleh karena itu, sistem pemilu distrik dianggap hanya menguntungkan partai politik besar dan membuat banyaknya suara yang terbuang.
Tulisan ini mencoba berandai-andai, jika sistem pemilu Indonesia menggunakan sistem distrik dengan menggunakan data hasil Pemilu tahun 2019, apakah benar akan mengurangi jumlah partai politik yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat ini? Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Partai Politik Pemenang di Setiap Provinsi Berdasarkan Hasil Pemilu Tahun 2019 (Sumber: KPU RI)
Berdasarkan tabel di atas, ada beberapa hal yang bisa ditarik benang merahnya. Pertama, jika asumsi sistem distrik dapat mengecilkan jumlah partai politik yang lolos ke Parlemen, maka asumsi tersebut terverifikasi. Jika sistem pemilu proporsional di tahun 2019 melahirkan sembilan partai politik yang lolos ke Parlemen, maka dengan menggunakan sistem distrik, hanya ada enam partai politik yang lolos, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, dan Demokrat.
ADVERTISEMENT
Kedua, peringkat perolehan kursi pun berubah jika menggunakan sistem distrik. Jika menggunakan sistem proporsional, maka peringkatnya adalah PDIP (128 kursi), Golkar (85 kursi), Gerindra (78 kursi), Nasdem (59 kursi), PKB (58 kursi), dan Demokrat (54 kursi). Sedangkan jika menggunakan sistem distrik, maka berubah menjadi PDIP (232 kursi), Gerindra (129 kursi), PKB (87 kursi), Golkar (81 kursi), Nasdem (33 Kursi), dan Demokrat (13 kursi).
Ketiga, jika melihat perubahan perolehan jumlah kursi, dapat dikatakan bahwa PDIP, PKB, dan Gerindra mengalami peningkatan jumlah kursi. Sedangkan Golkar, Nasdem, dan Demokrat mengalami penurunan perolehan jumlah kursi.
Dari PDIP, PKB, dan Gerindra yang menerima pertambahan jumlah kursi, PDIP dan PKB yang paling mengalami lonjakan signifikan. Hal ini disebabkan karena PDIP menjadi partai politik paling banyak menang di berbagai provinsi. Sedangkan PKB dikarenakan menang di satu wilayah yaitu Jawa Timur yang merupakan distrik kedua dengan jumlah kursi terbesar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sementara merosotnya jumlah suara Nasdem, Demokrat, dan Golkar disebabkan sering kali ketiga partai tersebut memperoleh kursi walaupun bukan partai politik pemenang jika menggunakan sistem proporsional.
Keempat, perubahan signifikan terlibat pada perolehan kursi PKB, dari peringkat 5 dengan menggunakan sistem proporsional, menjadi peringkat 3 dengan menggunakan sistem distrik. Kasus PKB ini menjadi catatan penting bagi sistem distrik karena adanya ketimpangan jumlah kursi dari setiap distrik. Dampaknya, partai politik besar akan fokus pada distrik-distrik besar, tidak terlalu memedulikan distrik kecil.
Berdasarkan empat hal tersebut, asumsi untuk mengecilkan jumlah partai politik dengan cara mengubah menjadi sistem distrik dapat dikatakan efektif. Lantas, bagaimana dengan nasib partai politik kecil? Nantinya, jika partai politik menjadi lebih sedikit, makan akan tumbuh diferensiasi partai politik.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, partai kecil dapat berkoalisi dengan partai besar yang memiliki ideologi yang sama. Sebagai contoh, PKB sebagai partai islam, nantinya dapat membagi kursi dengan PPP sesama partai islam. Tentu hal ini dapat dilakukan dengan kesepakatan bersama.
Melihat penjelasan di atas, maka mengubah sistem proporsional terbuka perlu dilandasi argumen serta maksud dan tujuan yang jelas. Lebih lanjut, mengubah sistem pemilu harus dilandasi dengan pertimbangan yang matang serta penelitian yang lebih mendalam. Jangan sampai, mengubah sistem pemilu hanya demi kepentingan segelintir partai politik saja.