Memaknai Pesan Filosofis Ki Hadjar Dewantara

Ahmad Hidayat
Guru SDN Tugu Selatan 03 Jakarta Utara, penulis dan dosen microteaching
Konten dari Pengguna
28 Agustus 2021 11:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tutwuri Handayani”. Kalimat tersebut tidak usang ditelan zaman. Sebuah pesan filosofis dari menteri pendidikan pertama Indonesia itu sepertinya akan terus di ucapkan oleh para aktor pendidikan Indonesia. Pesan yang sederhana tapi syarat akan makna. Pesan yang banyak dihafal namun sulit diamal. Pesan yang jika diterapkan maka potensi kualitas pendidikan akan meningkat, termasuk juga dengan indeks kebahagian dan kemerdekaan belajarnya. Mengapa demikian? Penulis selalu percaya bahwa kualitas pendidikan suatu bangsa sangat amat tergantung pada kualitas guru-gurunya. Mengajar dengan baik dan menyenangkan, sehingga membuat siswa memiliki minat yang tinggi. Juga bagaimana caranya membentuk suatu sikap manusia yang teguh pada imannya, peduli pada sesama manusianya dan menyayangi makhluk lainnya.
ADVERTISEMENT
Ing ngarsa sung tulada atau secara harfiah berarti memberi contoh pada saat di depan, pada saat mengajar, pada saat menjadi pemimpin dan pada saat kita sedang diperhatikan. Bukankah satu perbuatan itu lebih baik dan mengalahkan seribu kata-kata indah.
Guru adalah suri tauladan yang tidak hanya didengar kata-katanya tapi juga diperhatikan tingkah lakunya, baik di sekolah ataupun di masyarakat. Menjadi guru yang baik tidak cukup secara kualitas mengajar di kelas ataupun memiliki kualifikasi pendidikan yang tinggi.
Nyatanya menjadi guru yang baik jauh lebih kompleks dari apa yang dibayangkan. Menjadi guru yang baik berarti harus bersedia menjadi penyebar kebaikan, kebaikan dalam ilmu, tutur kata dan tingkah laku.
Ing madya mangun karsa yang memiliki arti di tengah memberi semangat. Guru membersamai anak didiknya di dalam kelas. Kebersamaan itu adalah pintu yang luas dan pintu itu akan terbuka dengan kunci yang tepat. Kunci itu adalah minat. Kebersamaan dalam belajar mengajar akan tidak berarti jika siswa tidak memiliki minat dalam belajar.
ADVERTISEMENT
Guru harus memperhatikan situasi dan kondisi kelas, muram dan semringah wajah siswa, sepi dan ramainya suara mereka. Semangat dan antusias siswa bergantung pada semangat dan antusias guru. Apakah guru mampu menjadikan kebersamaan itu sebagai pertemuan yang dikenang? Atau malah sebaliknya.
Di sinilah ujian seorang guru dalam ilmu pedagogik dibuktikan. Tentang ide, gagasan, dan materi yang disalurkan melalui strategi, media dan metode pembelajaran sehingga dapat membuka pintu kebersamaan itu.
Tut wuri handayani kalimat yang terakhir ini adalah yang paling familiar, kalimat ini memiliki arti di belakang memberi dorongan. Seorang guru memiliki siswa lebih dari satu dan ada saatnya siswa tersebut harus pergi untuk menjajaki tempat mencari ilmu lain, bertemu guru-guru lain, atau mungkin memulai karya-karyanya ataupun pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
Peran guru persis seperti peran orang tua, mereka harus memberikan doa-doa positif, pesan-pesan moral serta dukungan secara kata dan perbuatan. Setiap cita-cita yang siswa ingin mulai, maka guru harus menjadi barisan orang-orang pertama yang memberi mereka kekuatan, keyakinan, dan kepercayaan setinggi-tingginya.
Perlakuan tersebut akan menjadi stimulus dan energi positif bagi siswa dalam memulai langkahnya. Hubungan ini juga akan menjadi hubungan emosional yang penuh dengan kebaikan. Dan sebaliknya jika suatu saat siswa mengalami kegagalan dan kita menemukan mereka, maka bantulah semampu kita.
Sebagai seorang guru “tut wuri handayani” adalah jalan kebaikan terakhir untuk mengikat dan melengkapi kebaikan-kebaikan sebelumnya.