Berani bilang Sultan Yogya rasis?

Ahmad Idham T. Lubis
A moslem, college student, PC gamer, Pro Wretling enthusiast, and casual anime/manga lover. QS 2:153
Konten dari Pengguna
3 April 2018 22:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Idham T. Lubis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam ribut2 soal pribumi-non pribumi ini ada satu isu yang tiba-tiba terangkat, yaitu soal hukum hak atas kepemilikan tanah yang diterapkan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang ga mengenakkan adalah munculnya pernyataan "Berani bilang Sultan Yogya rasis?"
ADVERTISEMENT
Karena penasaran, saya coba mencari dokumen landasan hukum terkait, yaitu Surat Instruksi Wakil Gubernur tahun 1975 yang tidak memperbolehkan WNI nonpribumi memiliki hak milik atas tanah[1]. Sayangnya dokumen tertulis tidak ketemu, adanya malah dokumen-dokumen yang menggunakan instuksi tersebut sebagai alasan menolah permohonan atas hak milik tanah dari WNI non pribumi. Nah yang seru adalah, ternyata sudah pernah terbit rekomendasi untuk menghapus instruksi tersebut dari Komnas HAM[2]. Kalau sampai Komnas HAM sendiri turun tangan, pastinya ada dugaan pelanggaran HAM yaitu diskriminasi etnis (biasa kita sebut rasisme) yang menjadi dasar mereka bertindak. Saat saya mencoba mencari dasar aturan tersebut, ternyata memang sudah ada undang-undang yang terbit pada tahun 2008 yang bertujuan untuk menghapus diskriminasi ras dan etnis di Indonesia[3].
ADVERTISEMENT
Saya sendiri juga mencoba mencari definisi WNI Nonpribumi dalam hukum kependudukan dan hukum kewarganegaraan Indonesia yang digunakan oleh Wakil Gubernur Yogya tahun 1975, tapi saya tidak menemukannya. Mungkin jika ada teman-teman yang menemukannya bisa bantu share di sini. Kok bisa ya definisi yang tidak terdapat pada hukum digunakan dalam mebuat hukum.
Saat saya mencoba membaca beberapa artikel mengenai hal ini, ada beberapa hal yang dijadikan pembelaan terhahadap hukum hak atas tanah di Yogya ini. Yang pertama adalah adanya hak atas tanah adat dari Keraton Yogyakarta dan yang kedua adalah ketakutan atas dominasi ekonomi kaum tionghoa di Yogyakarta. Untuk yang pertama memang agak rumit karena saling memanfaatkan loophole dalam hukum yang berlaku, saya belum bisa mengkaji lebih lanjut soal ini. Untuk yang kedua niatnya memang baik, tapi sepertinya tidak ada data empiris yang menyatakan kesenjangan tersebut, jadi alasan untuk "melindungi kesenjangan ekonomi" ini bias dan bisa saja tidak diterapkan secara konsisten.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan yang masih tidak bisa saya jawab adalah, apakah penerapan hukum adat yang melindungi kaumnya sendiri bisa dikategorikan dalam rasisme? Hal ini menjadi dilema, baik dalam konteks kependudukan/kewarganegaraan maupun hak asasi manusia. Menjawab pertanyaan ini mungkin dapat membantu kita menjawab dengan tegas apakah Keraton Yogyakarta rasis atau tidak.
Open for friendly discussion guys, terima kasih sudah mau membaca~
References:
[1] Instruksi Wakil Gubernur D.I Yogyakarta Nomor K898/I/A/1975 Perihal Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi
[2] Surat dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor 037/R/Mediasi/VIII/2014 Perihal Rekomendasi Terkait Dengan Diskriminasi Hak Atas Tanah Warga Keturunan Tionghoa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
[3] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis
ADVERTISEMENT
[4] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta