Luis Milla, Bertahanlah!

Konten dari Pengguna
1 September 2018 12:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Munawir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekitar satu bulan lalu, saya ikut menyaksikan pertandingan Final Piala AFF U-16 di Terminal Leuwipanjang, Bandung, Jawa Barat, sepulang menghadiri pernikahan teman di luar kota.
ADVERTISEMENT
Saat itu saya melihat bahwa di mata orang-orang yang lesehan itu ada rasa haus akan gelar juara. Penerangan yang relatif kurang tidak menyurutkan semangat mereka untuk menonton tim kebanggaannya. Mereka pun bersorak bahagia saat Timnas Indonesia U-16 berhasil menyamakan kedudukan.
Apa boleh buat, pertandingan yang berjalan 80 menit waktu normal itu mesti dilanjutkan dengan adu pinalti setelah tidak ada gol tambahan yang disarangkan ke gawang lawan.
Menonton Final AFF U-16 di Leuwipanjang/Dokumentasi Penulis
Hati saya agak kecut saat mengetahui pertandingan ditutup dengan adu pinalti. Sebab berdasarkan rekam jejaknya, mental Timnas Indonesia biasanya kalah kuat. Sehingga tendangan melesat ke atas atau samping gawang, atau lemah sehingga mudah dibaca kiper lawan.
Namun keraguan itu ternyata tak perlu, sebab Indonesia berhasil menuntaskan perlawanan dengan Thailand diadu pinalti. Bangsa Indonesia pun dalam euforia sesaat.
ADVERTISEMENT
Sepekan setelahnya, datang perhelatan besar yang diselenggarakan di mana Indonesia berlaku sebagai tuan rumah: Asian Games 2018. Saya yakin harapan masyarakat membubung tinggi setelah melihat prestasi Timnas U-16 dan ingin keberhasilan itu menular ke Timnas U-23.
Berhadapan dengan Palestina, Myanmar, China Taipei, dan Hong Kong pada fase grup, Indonesia justru dikejutkan dengan menelan kekalahan dari Palestina. Penampilan meyakinkan di laga pembuka saat mengalahkan China Taipei seakan sirna begitu saja ketika Indonesia tumbang dari Palestina.
Beruntung hanya sekali hasil buruk dialami Indonesia dan kemudian lolos ke babak knockout untuk menghadapi Uni Emirat Arab.
Melihat torehan tim lawan pada babak grup yang hanya menang atas Timor Leste, saya pikir wajar jika masyarakat begitu berharap melihat Indonesia bisa melenggang ke perempat final.
ADVERTISEMENT
Tapi apa lacur, hasil berbicara lain. Andritany dua kali dipaksa memungut bola dari gawang hasil tendangan pinalti lawan.
Timnas U-23/Akun Instagram PSSI @pssi__fai
Indonesia dapat mengejar ketertinggalan melalui gol Beto dan Lilipaly. Namun pada akhirnya, Indonesia dipaksa memainkan babak tambahan dan (lagi-lagi) harus menyelesaikannya dengan drama adu pinalti.
Kali ini dewi fortuna tidak berpihak ke Indonesia. Dari lima penendang, hanya tiga yang berhasil mengecoh kiper lawan, sedangkan dua yang lain tidak berhasil.
Timnas U-23/Akun Instagram PSSI @pssi__fai
Indonesia dipaksa takluk dari tim yang miskin permainan dan hanya bisa mencetak gol di waktu normal dari titik putih. Terus terang reaksi pertama saya adalah kesal karena dari segi permainan Indonesia jauh lebih unggul dan atraktif. Dan saya juga berpengharapan, sebagaimana semua orang yang menyaksikan langsung di stadion maupun dari layar kaca.
ADVERTISEMENT
Harapan itu kadang membuat sesak di dada ketika hasil tidak sesuai. Cuma, setelahnya saya melihat sebuah arus lain di media sosial. Kekesalan dan harapan warganet dituangkan dalam bentuk dukungan untuk dipertahankannya pelatih yang telah satu tahun memoles timnas.
Berembusnya kabar tentang dilengserkannya Luis Milla dari kursi pelatih karena gagal memenuhi target masuk semifinal Asian Games 2018, dilawan dengan tagar #saveluismilla.
Di sini saya terharu dan saya pikir ini merupakan sebuah bentuk kebanggaan tersendiri ketika masyarakat membela pelatih yang menurut federasi gagal. Masyarakat, khususnya pengguna media sosial, sudah punya kesadaran tersendiri bahwa dibutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk bisa meraih prestasi.
Pelatih Timnas Indonesia, Luis Milla (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Jika pelatih sebentar-sebentar diganti, maka pola latihan, permainan, dan chemistry antara pelatih, ofisial, pemain serta anggota tim lainnya akan sulit terbina dan akan terejawantahkan dalam minimnya prestasi yang membanggakan.
ADVERTISEMENT
Kita semua tentu tidak menginginkannya, oleh sebab itu desakan masyarakat untuk mempertahankan pelatih adalah mudah dimengerti. Ketika kemudian ketua federasi menyatakan akan memperpanjang kontrak pelatih, saya pikir hal ini sudah paling tepat.
Mengenai hasil kurang memuaskan dari segi capaian target, terlebih jika dibandingkan dengan torehan cabang lain, saya pikir desakan untuk memperpanjang kontrak pelatih adalah sebuah keberterimaan dari masyarakat.
Hasil jelek kemarin bukan disebabkan performa yang di bawah standar, tapi lebih kepada ketidakberuntungan dan buruknya kinerja wasit. Sekarang Timnas dihadapkan pada dua target baru: menjuarai Piala AFF 2018 dan merebut emas SEA Games 2019.
Harapan saya sekarang, yang saya yakin diamini juga oleh masyarakat, adalah Luis Milla menerima tawaran PSSI dan bersedia menukangi Tim Nasional Indonesia paling tidak satu tahun ke depan: merengkuh gelar juara dan membuat kita sebagai bangsa Indonesia bisa terus berbangga hati menyaksikan Timnas berlaga di pentas internasional.
ADVERTISEMENT