Politik Muhammadiyah

Ahmad Rifqi
Mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Malang
Konten dari Pengguna
23 Maret 2021 17:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Rifqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jejak Politik Muhammadiyah
zoom-in-whitePerbesar
Jejak Politik Muhammadiyah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai salah satu Ormas terbesar di Indonesia, Muhammadiyah telah mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat tanah air termasuk salah satunya dalam ranah politik. Muhammadiyah memiliki tuah politik tersendiri di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912 oleh Muhammad Darwis atau yang lebih akrab kita dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan. Berdirinya Muhammadiyah tidak terlepas dari pengalaman KH. Ahmad Dahlan yang pergi ke Tanah Suci Mekkah dan bermukim di sana.
KH Ahmad Dahlan banyak membaca pemikiran para pembaharu islam seperti Jalamuddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Ide-ide pembaharuan yang kemudian menjadi hal yang ingin dibawa oleh KH. Ahmad Dahlan saat Kembali ke tanah air.
Pada awalnya, ciri utama Muhammadiyah adalah di bidang Pendidikan. Di mana Kala itu, Muhammadiyah dianggap melakukan terobosan karena mencoba memadukan pelajaran agama dan umum. Melalui Pendidikan inilah Muhammadiyah mulai melebarkan sayapnya dan menancapkan kuku di Tanah Air. Seiring dengan pertambahan jumlah massa pengaruh Muhammadiyah sebagai salah satu Ormas terbesar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Persinggungan paling awal Muhammadiyah dengan politik bisa jadi bersumber dari keterlibatan mereka di dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau MASYUMI.
Pada 7 November 1945 organisasi yang memayungi kelompok-kelompok islam bertransformasi menjadi partai politik yaitu partai MASYUMI. Beberapa kader seperti Fakih Usman, Li Bagus Hadikusumo, AR Sutan Mansur, Hamka, Ahmad Badawi dan Djindar Tamimy sempat menjadi fungsionaris dari partai tersebut.
Meski demikian, kiprah MASYUMI tidak berlangsung lama. Pada tahun 1959 pemerintahan Soekarno membubarkan partai tersebut karena dianggap terkait dengan PRRI Pernesta. Krisis politik tahun itu yang kemudian membuat Muhammadiyah bersikap netral dalam politik Indonesia melalui Khittah Palembang 1959.
20 Februari 1968 beberapa tokoh Muhammadiyah sempat mendirikan Partai Muslimin Indonesia atau PARMUSI. Era Orde Baru saat itu membuat afiliasi dengan partai politik bisa merugikan ormas islam seperti Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT
Muhammadiyah melaksanakan kongres yang ke-38 di Makassar pada tahun 1971. Muhammadiyah memutuskan tidak akan terafiliasi dengan partai politik dan fokus pada gerakan dakwah. Sejak saat itu kiprah politik Muhammadiyah menjadi lebih moderat, akomodatif dan kooperatif.
Reformasi tahun 1998 membuka peluang politik bagi pihak manapun yang ingin mendirikan partai partai politik. Bagi beberapa anggota Muhammadiyah,mendirikan partai politik adalah hal yang strategis di masa itu. Amien Rais Ketua Umum Muhammadiyah memiliki keinginan untuk mendirikan partai. Meski demikian, banyak yang menganggap hal tersebut bisa melupakan misi sosial-keagamaan Muhammadiyah karena harus mengurusi aktivitas sebagai partai politik. Selain itu, sikap partisipan juga bisa membuat mereka mengalami diskriminasi dari rezim yang berkuasa.
Petinggi Muhammadiyah akhirnya mengizinkan Amien Rais mendirikan partai tetapi Ia harus mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum. Anggota-anggota Muhammadiyah diizinkan jika ingin mengikuti jejak Amien Rais. Meski demikian Muhammadiyah sendiri tidak secara resmi mengafiliasikan diri sebagai partai politik.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, berdirilah Partai Amanat Nasional (PAN) pada 23 Agustus 1998. Meski PAN kerap diasosiasikan dengan Muhammadiyah, pengurus Pusat Ormas tersebut sendiri jarang menyatakan pilihan politik secara terbuka. Sikap netral kerap menjadi posisi yang diambil oleh Muhammadiyah sendiri. Khittah Makassar 1971 kerap jadi dalil dari sikap netral tersebut. Hal tersebut tidak mempengaruhi dan mengecilkan peran politik Muhammadiyah.
Sebagai Ilustrasi. Foto: ShutterStock