Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Oligarki Energi dan Reformasi Pendanaan Iklim
29 November 2024 18:19 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Rizki Alimudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Reformasi pendanaan iklim di Indonesia telah menjadi medan pertempuran antara kepentingan lingkungan dan kekuatan oligarki yang mendominasi sektor energi. Dalam upaya mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, pemerintah terjebak dalam tarik-menarik antara tekanan global untuk mengurangi emisi karbon dan realitas politik yang sarat kepentingan korporasi. Di tengah krisis iklim yang kian mendesak, reformasi pendanaan menjadi elemen kunci untuk mempercepat peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan. Namun, dengan pengaruh besar aktor-aktor oligarkis yang mengendalikan sumber daya alam dan pengambilan keputusan, proses reformasi ini justru sering memperkuat status quo, menguntungkan elite ekonomi dan politik.
ADVERTISEMENT
ketergantungan pada investasi asing dalam proyek energi fosil semakin menambah persoalan. Modal internasional sering datang dengan syarat-syarat yang lebih menguntungkan korporasi asing daripada kepentingan domestik. Dalam situasi ini, muncul pertanyaan penting: bagaimana Indonesia dapat menjalankan reformasi pendanaan iklim yang berkeadilan, sementara dominasi oligarki energi dan ketergantungan pada modal asing terus mengekang kebijakan publik? Apakah kebijakan transisi energi ini benar-benar melayani kepentingan rakyat atau hanya memperkokoh kekuasaan oligarki dan korporasi multinasional di ranah politik ekonomi nasional?
Kemitraan Publik-Swasta dan Beban Negara
Sejak diperkenalkannya Kemitraan Publik-Swasta (PPP) pada 2003, pemerintah Indonesia mengadopsi paradigma baru dalam penyediaan infrastruktur, termasuk energi. Skema ini dipromosikan sebagai solusi investasi jangka panjang. Namun, skema PPP justru membebani negara. Pemerintah memberikan berbagai jaminan kepada investor swasta, seperti subsidi tunai dan jaminan pembayaran, serta menanggung risiko keuangan yang seharusnya menjadi tanggung jawab sektor swasta.
ADVERTISEMENT
Di sektor energi, skema PPP diterapkan melalui Power Purchase Agreement (PPA) antara PLN dan pembangkit listrik swasta. PLN diwajibkan membeli listrik dari perusahaan swasta, terlepas dari kebutuhan konsumen. Ini menyebabkan PLN harus membayar listrik yang tidak terpakai, terutama di wilayah Jawa-Bali yang kelebihan suplai 40-55% pada 2019. Pada 2020, PLN mencatat kerugian Rp 38 triliun hanya dalam kuartal pertama. Ketergantungan PLN pada anggaran publik untuk menutup defisit menunjukkan kegagalan PPP sebagai solusi berkelanjutan.
Terlebih, harga batu bara untuk pembangkit listrik di Indonesia lebih mahal dibandingkan ekspor karena menggunakan mata uang dolar AS. Ini memperburuk inflasi sektor energi dan membebani konsumen. Skema PPP ini pada praktiknya meningkatkan ketergantungan negara pada swasta, mengakibatkan tarif listrik yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Oligarki Energi dalam Kebijakan Publik
Reformasi pendanaan iklim di Indonesia terhambat oleh dominasi oligarki energi. Oligarki ini, baik domestik maupun asing, mempengaruhi kebijakan energi nasional melalui kontrol sumber daya alam dan politik. Perusahaan-perusahaan besar seperti PT Cirebon Electric Power, yang melibatkan konsorsium Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia, menunjukkan bagaimana kepentingan oligarki mendikte kebijakan energi.
Perusahaan multinasional seperti Marubeni Corporation dan Samtan International Co. Ltd. juga terlibat dalam proyek energi dengan rekam jejak buruk, seperti dugaan korupsi pembangunan PLTU Tarahan, Lampung. Kasus-kasus ini menunjukkan pengaruh korporasi asing dalam kebijakan domestik. Praktik bisnis mereka sering merugikan masyarakat lokal melalui perampasan tanah, deforestasi, dan eksploitasi buruh.
Ketergantungan pemerintah pada investasi asing memperkuat posisi oligarki ini. Dari 21 proyek PLTU antara 2010 hingga 2017, 91% didanai oleh lembaga kredit ekspor dan bank pembangunan bilateral. Keputusan penting terkait energi lebih banyak didikte oleh kepentingan asing daripada kebutuhan domestik. Dominasi oligarki menghambat transisi energi terbarukan, meskipun ada komitmen internasional untuk mengurangi emisi karbon.
ADVERTISEMENT
Oligarki energi memiliki kepentingan ekonomi yang bertentangan dengan prinsip keberlanjutan. Reformasi pendanaan iklim di Indonesia harus melawan pengaruh oligarki dalam pengambilan keputusan serta memprioritaskan kepentingan masyarakat dan lingkungan.
Geopolitik dan Investasi Asing
Reformasi pendanaan iklim juga menghadapi tantangan geopolitik global. Investasi asing dalam proyek energi fosil, terutama dari Jepang dan Tiongkok, memperkuat ketergantungan Indonesia pada modal internasional. Misalnya, dalam proyek PLTU Cirebon 1, Indonesia menerima pinjaman US$ 250-300 juta dari Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk memperpendek usia operasional PLTU tersebut. Meskipun diharapkan mengurangi emisi karbon, manfaat utamanya dirasakan oleh korporasi multinasional, bukan Indonesia.
Ketergantungan pada investasi asing menciptakan ketegangan antara kebutuhan transisi energi terbarukan dan kepentingan geopolitik negara besar yang melihat Indonesia sebagai pasar proyek energi. Lembaga keuangan internasional sering mensyaratkan penggunaan teknologi dan sumber daya dari negara asal mereka, memperbesar ketergantungan Indonesia pada teknologi asing. Ini menghambat pengembangan teknologi energi terbarukan yang mandiri di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Geopolitik pendanaan iklim mencerminkan kekuatan ekonomi global, di mana negara-negara besar menggunakan investasi mereka untuk memperkuat pengaruh politik di negara berkembang. Reformasi pendanaan iklim di Indonesia harus berusaha meninggalkan ketergantungan pada investasi asing serta mendorong kedaulatan energi terbarukan berbasis komunitas.