Ledakan Cahaya

Ahsan Azhar
a doodlebugger
Konten dari Pengguna
21 Oktober 2017 3:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahsan Azhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
KETIKA saya baru sampai di hotel, ruangan yang kami jadikan sebagai kantor terlihat lebih ramai dari biasanya. Para supir yang ikut bekerja di proyek, bersama office boy hotel berdiri mengelilingi Mohit dan Vinot Kumar yang sedang menyusun api, menyalakan dupa, menggambar rangoli dan mengalungkan karangan bunga ke sebuah foto berukuran A4 bergambar Sri Khrishna di atas peti besi tempat dokumen-dokumen kantor biasanya diarsipkan. Mereka sedang membangun altar kecil untuk melakukan puja, semacam ritual pembacaan doa. Itulah kenapa tadi tiba-tiba di depan mulut pintu ada banyak pasang sandal yang saya jumpai. Saya jadi ragu untuk masuk ketika menemukan kaki saya masih terbungkus sepatu. Salah seorang di antaranya mempersilakan saya yang tengah berdiri mematung, tak apa, katanya. Saya ambil duduk di pojok, di belakang meja yang biasa saya gunakan bekerja. Sambil mengecek email, bolak balik saya mengalihkan pandangan dari layar komputer ke kerumunan di tengah ruangan, memperhatikan apa yang dikerjakan kawan-kawan ini. Ada puluhan diyas, cawan kecil berisi minyak dengan sumbu yang ujungnya terbakar tersebar, mulai dari yang terbanyak di depan altar hingga satu-satu di setiap sudut jendela, pintu dan anak tangga. Putih lampu LED yang menggantung di bilah beton penyangga plafon seketika kalah terang oleh kuning api. Cahaya dan wangi dupa bersama asap yang mengepul mengepung seluruh ruangan.
ADVERTISEMENT
Tadi di sepanjang jalan pulang dari Latur menuju Ambejogai, gelap langit sesekali disela nyala kembang api. Dan, suara petasan yang memekakkan telinga yang sudah berlangsung sejak lima hari lalu--kadang muncul tiba-tiba dari entah mana sepenggal demi sepenggal, malam ini meledak makin kerap. Saya berulang kali menengok jam, yang di lengan atau di dinding, sambil bertanya dalam hati, kapan ini semua akan berhenti. Sejak petang hingga pukul sepuluh malam, mulai dari jenis petasan kecil hingga bunyi gelegar meriam hampir tiap menit bergantian meledak merusak ritme denyut jantung dan menghantam gendang telinga. Berisik minta ampun. Syukurnya, ini adalah hari terakhir, malam puncak perayaan Diwali. Besok, kita bisa kembali hidup tenang seperti sedia kala.
ADVERTISEMENT
*
Potongan adegan Sri Khrishna yang mengangkat gunung Gowardhana dengan jari kelingkingnya sebagai tempat berlindung penduduk desa Vrindavan dari badai dan hujan selama tujuh hari tujuh malam akibat kemarahan Dewa Indra masih begitu lekat dalam ingatan. Masa kanak-kanak saya akan meriah setiap akhir pekan tiba. Di depan televisi, saban Sabtu pukul dua belas siang, kami akan dengan senang hati menunggu aksi-aksi Pandawa bersaudara dalam serial Mahabharata. Keping kisah itu yang melatarbelakangi perayaan Diwali bagi sebagian umat Hindu sebagai bentuk apresiasi atas jasa Sri Khrisna, mereka merayakan kemenangan kebaikan (yang disimbolkan sebagai cahaya) melawan keburukan/kegelapan. Sebagian yang lainnya, mengambil dalil dari kisah kemenangan Rama atas Rahwana. Dalam perjalanan kembali dari pengasingan, penduduk Ayodya berbaris menyambutnya dengan menyalakan api di sepanjang jalan. Dari sinilah kemudian nama Diwali atau Deepavali diambil, berasal dari bahasa Sansekerta, deepa yang bermakna cahaya dan avaali yang berarti barisan. Dari sekte Jain dan juga penganut agama Sikh, serta beberapa aliran Budha mempunyai landasan berbeda-beda atas perayaan ini.
ADVERTISEMENT
Seluruh ingatan, kait mengait antara satu dan lainnya saling memanggil. Jelas belaka, mengenang film Mahabharata adalah mengenang kegagahan Arjuna di medan perang tatkala menghujani lawan-lawannya dengan anak panah. Kemudian, ingatan masa kecil itu begitu jauh melompat ke depan (entah siapa pula yang memulai istilah zaman now?) ketika saya menemukan anak panah lain dalam catatan Sayyid Haidar Bagir. Ia yang memperkenalkan saya kepada Hermeneutic Arc, teori yang digagas oleh Paul Ricoeur untuk memahami interpretasi atas teks. Bagaimanapun, hidup di India dalam delapan bulan terakhir mengharuskan saya mempelajari banyak hal, termasuk kehidupan masyarakatnya. Dan mempelajari budaya India tidak bisa dilepaskan dari agama mayoritas yang dianut di sini. Saya harus belajar untuk tidak buru-buru menarik kesimpulan atas apa yang ditangkap mata. Karena Hindu juga mempunyai bentuk mistisismenya sendiri, otomatis tafsir atas kegiatan-kegiatan ritual yang saya temukan pada keseharian mereka pastilah mempunyai makna yang berlapis.
ADVERTISEMENT
Ketika mengetik ‘makna yang berlapis’, saya melompat lagi, mengingat hal lain. Sayyid Abubakar Azzabidi pada suatu waktu bercerita tentang Imam Ibnu Syahin, penulis tafsir Al-Qur’an 1500 jilid. Bayangkan, bagaimana sebuah kitab suci diterjemahkan dalam begitu banyak layer. Lapisan-lapisan makna itu saling melengkapi membentuk jutaan hikmah. Bahkan, kata Beliau, saking detilnya, batu-batu yang dilemparkan burung Ababil dijelaskan berapa jumlahnya dan dari mana asalnya.
Kita-kita ini, yang memutuskan menjulurkan lengan membentuk pelukan erat kepada sebuah entitas bernama agama, masing-masing menggenggam busur hermeneutikanya sendiri-sendiri. Sadar atau tidak sadar, sehari-hari akal kita bekerja menanggapi setiap kejadian yang datang menghampiri diri kita, melalui berbagai ragam media. Berdasarkan dalil-dalil yang tertera di dalam kitab suci, segala apa yang terbentang di sekujur bumi dan yang tersembunyi di bawahnya; serta apa yang mengapung di setiap tingkat langit, hingga Yang Bersemayam di atasnya, semua memerlukan penjelasan, mulai dari yang sederhana hingga yang rumit, berlapis tafsir, dan bersilang bidang. Setiap saat kita melesakkan anak panah interpretasi atas sebuah teks kepada sasaran tembak yang bernama realitas. Begitu terus, berputar-putar, kafir-mukmin, pribumi-asing, balajaer-balasalmon, via-nella, apalah apalah, teks-interpretasi-teks-interpretasi-teks-interpretasi-teks-interpretasi, teruuuuus sampai SBY mengeluarkan album baru. Karena putaran itu, sebagian ilmuan menyebut teori Ricouer tadi sebagai Hermeneutic Circle.
ADVERTISEMENT
Sampai di sini, saya melompat lagi, dan jatuh ke dalam keadaan bingung, kenapa saya ngelantur terlalu jauh.
Oke, jadi gini…
*
Saya turun ke lantai dasar, kembali ke kantor setelah menunaikan jamak Isya dan Magrib di kamar, kewajiban yang terlewat sebab perjalanan tadi. Ruangan yang sudah dibuat sedemikian rupa menjadi altar pemujaan jadi semakin ramai. Selain sejawat kantor, manajemen hotel juga bergabung berkumpul di situ. Mereka semua berdiri di hadapan sebuah patung Ganesha yang diletakkan di atas lemari. Salah seorang dari mereka memimpin puja dengan suara keras, sesekali diselingi tepukan dan sahutan orang di sekitarnya. Saya seolah melihat tradisi Mahallul Qiyam, orang-orang yang berdiri ketika pembacaan Maulid Nabi. Doa yang dirapal ‘Pak Imam’ itu juga dilagukan dengan nada mendayu-dayu naik turun, seperti memiliki jenis qira’ahnya sendiri, entahlah. Saya masih duduk lama di situ, mengamati ritual yang asing--sekaligus tak asing, karena mudah menemukan padanannya dalam agama sendiri. Mas Alex, kawan yang berasal dari Columbia yang mejanya bersebelahan dengan ‘lemari Ganesha’ sudah kabur lebih dulu karena dua kemungkinan pasti, terganggu atau mengganggu.
ADVERTISEMENT
Orang-orang Hindu merayakan puncak Diwali di malam yang paling gelap, malam Tilem dalam kalender Hindu Lunisolar. Kalau hendak mendefenisikan sesuatu, orang-orang bisa menggunakan negasi dari apa yang hendak dijelaskannya. Makanya, waktu yang paling tepat ketika hendak meledakkan cahaya adalah di malam yang paling gelap. Ketika memasuki gerbang Ambejogai, seluruh rumah di sepanjang jalan nampak begitu terang, oleh warna warni lampu atau nyala api.
Saya tidak ingin berjalan jauh ke dalam ranah ontologis kajian agama Hindu beserta segala cabang-rantingnya, sebab di sana saya pasti melakukan banyak lompatan lain yang lebih melelahkan dan meniscayakan ketersesatan. Cukup sampai di sini saja, first layer, menerima makna paling sederhana dari festival Diwali, api dan segala kelengkapan perayaan tadi adalah sebuah metafora untuk menolak kejahatan, untuk menghilangkan kegelapan dan mewujudkan belas kasih kepada yang lain. Diwali adalah sebuah perayaan kemenangan cahaya batin atas kegelapan spiritual, pengetahuan atas kebodohan dan kebenaran atas kepalsuan.
ADVERTISEMENT
Malam ini dipenuhi kegembiraan yang meluap-luap. Kembang api, petasan, cahaya dan ledakan di mana-mana. Mereka melangitkan harapan, kesehatan, kekayaan, kesejahteraan, serta hal-hal baik lainnya. Sebab Tuhan tahu belaka doa makhluk yang mana yang pantas mengetuk pintu-Nya, saya mengaminkan semuanya dalam diam. Rezeki saya ditaruh di sini, soalnya.
Anyway, Happy Diwali!