MASYARAKAT KONSUMTIF Part 2

Aidil Akbar Madjid - Financial Planner
Youtube Aidil Akbar Channel, IG @aidilakbarmadjid & @aidilakbarofficial Perencana Keuangan, doyan ngomong and nulis (berbagi). Suka coklat & kopi. Fb & twit @aidilakbar
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2018 16:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aidil Akbar Madjid - Financial Planner tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia dari jaman pasca orde baru (masa reformasi) dengan bangga selalu mangatakan bahwa yang bisa membuat Indonesia bertahan dari tempaan krisis baik di tahun 1998 maupun krisis 2008 adalah karena nilai konsumsi yang tinggi dan masyarakat Indonesia yang konsumtif. Ingat bahwa meskipun kondisi keuangan dan ekonomi yang tidak menentu di negeri ini, ternyata masyarakat Indonesia masih masuk kedalam kategori masyarakat konsumtif. Ngak percaya? Coba cek mall-mall deh, pasti masih ramai orang berkumpul di mall. Hanya saja yang ramai biasanya hanya di foodcourt atau di restaurant. Hanya saja pembalanjaan tersebut belum tentu menggunakan uang cash, tapi banyak yang menggunakan hutang. Kenapa? Karena uangnya tidak ada.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya belanja yang menggunakan hutang, barang-barang yang kemudian dibeli atau konsumsi belum tentu barang-barang buatan dalam negeri karena orang Indonesia termasuk “gila” barang import alias barang luar negeri yang secara otomatis kontribusi ke masyakarat dan negara tidak sebesar yang diperkirakan. Hal ini kembali berhubungan dengan gengsi tadi, dengan dalih barang-barang luar negeri mempunyai kwalitas mutu yang lebih baik.
Kalau sudah begini, apakah benar ekonomi Indonesia kuat dari terpaan krisis karena masyarakatnya mempunya “daya beli” yang kuat sehingga membelanjakan penghasilan mereka?. Bukankah apabila mereka belanja dengan hutang konsumtif, yang sudah pasti bunganya sangat tinggi, justru membuat daya beli mereka rapuh karena lama kelamaan akan terbeli hutang?. Kalau dulu dijaman orde baru runtuhnya ekonomi Indonesia karena kredit macet konglomerat yang besar, jangan sampai hal ini terulang lagi oleh kredit macet konsumsi.
ADVERTISEMENT
Masih segar dalam ingatan kredit macet konglomerat yang harus ditebus mahal oleh seluruh rakyat Indonesia dengan keluarnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI yang lama kelamaan beralih menjadi Surat Utang Negara atau SUN. Kalau hutang konglomerat dijamin dengan aset-aset perusahaan (meskipun kita ketahui nilai penjualan kembali aset tersebut sangat kecil) akan tetapi setidak-tidaknya masih ada asset atau barang yang bisa dilego. Sementara kredit konsumen ini hanya mengandalkan suku bunga yang tinggi tanpa adanya jaminan aset, sehingga apabila macet seperti kejadian ditahun 1997-1998 akan sulit bagi institusi keuangan untuk mendapatkan uangnya kembali.
Itu ketika kita bicara tentang pola belanja secara langsung di pusat perbelanjaan seperti mall-mall besar yang ada di Indonesia. Sementara untuk teman-teman yang didaerah belum tentu melakukan hal tersebut? Weits jangan membuat kesimpulan terlebih dahulu. Kurang lebih 2 tahun yang lalu saya diminta untuk memberikan pelatihan mengelola keuangan bulanan oleh sebuah perusahaan sawit besar di Indonesia yang letak base camp nya ditengah hutan (kurang lebih perjalanan 4-6 jam naik mobil double cabin), kebayang kan jauhnya dari peradaban. Nah, apa yang terjadi disana yang menyebabkan saya diminta untuk berbagi ilmu? Karena karyawan mereka mulai bermasalah dengan keuangan karena boros belanja tapi bukan di mall melainkan melalui belanja online.
ADVERTISEMENT
Yes, dengan semakin mudahnya dan berkembangnya teknologi membuat orang lebih mudah untuk belanja khususnya melalui online shop alias belanja secara online. Karena kemudahan ini membuat banyak orang terbuai dan mulai boros dengan belanja online. Kalau dulu shopaholic hanya berlaku bagi belanja offline, sekarang hal tersebut juga berlaku untuk belanja online. So berhati-hatilah karena anda sekarang jauh lebih mudah untuk boros.
Oleh sebab itu, penting sekali untuk dapat mensosialisasikan dan mendidik agar masyarakat Indonesia bisa menabung dan berinvestasi. Jangan sampai kelompok dan masyarakat muda di Indonesia menjadi masyarakat konsumtif seperti anak muda di Jepang dan Singapore. Konsep Perencanaan Keuangan pribadi dan keluarga dapat membantu anda semua untuk dapat mengatur keuangan secara lebih baik lagi dan membantu anda untuk tidak menjadi masyarakat konsumtif sehingga bisa menabung dan berinvestasi agar tujuan-tujuan keuangan dan impian masa depan dapat tercapai.
ADVERTISEMENT
Pendidikan atau literasi keuangan bisa didapat dari artikel seperti yang sedang anda baca ini, atau bisa juga dengan mengikuti workshop-workshop yang ada.
Di Jakarta dibuka workshop sehari tentang bagaimana cara Mengelola Gaji dan Mengatur Uang bulanan info http://bit.ly/CPM1018 dan Belajar dan Teknik Menjadi Kaya Raya dan juga workshop sehari tentang Reksadana, info http://bit.ly/WRD1018. Untuk ilmu yang lebih lengkap lagi, anda bisa belajar tentang perencanaan keuangan komplit, bahkan bisa jadi konsultannya dengan sertifikat Internasional bisa ikutan workshop Basic Financial Planning dan workshop Intermediate dan Advance Financial Planning di Pertengahan Info lainnya bisa dilihat di www.IARFCIndonesia.com (jangan lupa tanyakan DISKON paket)
Anda bisa diskusi tanya jawab dengan cara bergabung di akun telegram group kami “Seputar Keuangan” atau klik t.me/seputarkeuangan .
ADVERTISEMENT
Kredit macet ternyata tidak hanya di belanja secara konvensional tapi juga jenis belanja lainnya seperti belanja online yang digandrungi kids jaman now alias generasi milenial. Ini semakin menarik untuk dibahas, dan akan kita lanjutkan di artikel-artikel berikutnya.