Geoliterasi Pandemi COVID-19 untuk Penyandang Disabilitas Netra melalui Peta

Aji Putra Perdana
Seorang Geograf(er) yang mengamati lingkungan sekitar dari sudut pandang geografi. Pemerhati Peta dan Toponim. Saat ini bekerja di Badan Informasi Geospasial.
Konten dari Pengguna
1 Juli 2021 18:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Putra Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selasa siang (29/6/2021), saya dapat kiriman tautan YouTube acara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) yang diadakan oleh Kementerian PAN-RB. Acara tersebut menayangkan paparan dari Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Muh Aris Marfai mengenai "Geoliterasi Bagi Penyandang Disabilitas Netra Melalui Atlas Taktual" dan diskusi tanya jawab dengan tim penilai.
ADVERTISEMENT
Di saat itu pula, berita mengenai PPKM Darurat mulai ramai dan lonjakan angka kasus aktif COVID-19 meningkat. Terlintas di benak saya, sepertinya suatu saat nanti perlu adanya peta taktual tematik maupun atlas taktual perjalanan fenomena geografis pandemi COVID-19, di dunia dan utamanya di Indonesia.
Tangkapan Layar Presentasi Kepala BIG, Muh Aris Marfai tentang Geoliterasi Bagi Penyandang Disabilitas Netra Melalui Atlas Taktual (sumber: YouTube SINOVIK Kementerian PANRB)

Apa itu Peta dan Atlas Taktual?

Peta merupakan wadah penyajian informasi kewilayahan atau ruang kebumian pada sebuah bidang datar. Nah, dalam paparannya Aris menyampaikan bahwa peta cetak untuk orang awas disajikan dalam berbagai bentuk warna isi peta dan disajikan pada media kertas.
Sedangkan, peta taktual bentuknya itu berupa peta timbul atau bentuknya 3 dimensi, sehingga dapat dibaca oleh penyandang disabilitas netra melalui rabaan jari. Terdapat beda tinggi dan lekukan dari tiap objek atau unsur rupabumi yang digambarkan pada sebuah peta taktual.
ADVERTISEMENT
Informasi yang mencengangkan dan baru buat saya ketahui dari paparan Aris bahwa penyerapan informasi dari indra peraba dibandingkan indra penglihatan itu ternyata 4:83. Artinya, pembuat peta dalam mendesain peta maupun atlas taktual harus memperhatikan aspek ukuran, bentuk, dan jarak penempatan antar simbol.
Perbedaan tinggi-rendah mesti diperhatikan, kemudian kasar-halus objek juga menentukan serta jarak antar objek yang diatur sehingga mudah dibedakan melalui rabaan jari.

Perjalanan Pengembangan Peta dan Atlas Taktual

Menyadari bahwa eksisting peta taktual yang ada digunakan untuk pembelajaran penyandang disabilitas netra saat ini masih bersifat umum dan belum detail. Sejumlah mahasiswa tersebut pada tahun 2012, mengenalkan peta taktual detail, sehingga penyandang disabilitas netra di Yogyakarta dapat bernavigasi. Contoh kedetailan informasi dalam peta taktual tersebut, misalnya peta tersebut memuat informasi keberadaan objek terkenal, seperti Malioboro atau Tugu dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ternyata BIG juga telah mengembangkan kumpulan peta taktual tematik dalam bentuk Atlas Taktual. Perjalanan panjang perjuangan penyusunan dan sosialisasi penggunaan Atlas Taktual yang ternyata telah dimulai pada tahun 2010 dengan peta taktual wilayah administrasi. Bahkan, BIG telah menyusun pula Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai penyajian atlas taktual sebagai pedoman yang dapat digunakan para pembuat atlas.
Tangkapan Layar Gambaran Sebaran Lokasi Uji Coba dan Penyebarluasan Penggunaan Atlas Taktual (sumber: YouTube SINOVIK Kementerian PANRB)
Atlas taktual ini berisi lembaran peta taktual (peta timbul) yang dilengkapi dengan huruf braile yang dibaca dengan cara diraba. Sosialisasi ke berbagai pelosok sekolah dari Sabang sampai Merauke untuk penyandang disabilitas netra telah dilakukan. Bahkan, juga dilakukan kegiatan uji keterbacaan dan sosialisasi secara hybrid (luring dan daring) di tengah situasi pandemi COVID-19 ini.
Gambaran Atlas Taktual yang disajikan dalam unggahan akun media sosial BIG. (Kredit Foto: Badan Informasi Geospasial)
Bagi saya atlas taktual ini adalah terobosan yang mesti terus dikembangkan dari sisi konten (tema peta) hingga inovasi lainnya, sehingga benar-benar dapat dijadikan media belajar bagi seluruh penyandang disabilitas netra di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tahapan selanjutnya, BIG perlu menjalin kerja sama dengan Kemenristekdikbud untuk menjadikan geoliterasi melalui atlas taktual ini sebagai bagian dari kurikulum pendidikan bagi penyandang disabilitas netra.
Salah satu tim penilai dalam video kompetisi tersebut pun menyampaikan seandainya dapat dikembangkan melalui teknologi informasi di era industri 4.0 ini. Diharapkan, ke depannya memungkinkan tersedia inovasi peta taktual digital untuk penyandang disabilitas netra.

Kelak Fenomena Pandemi COVID-19 perlu dikenalkan melalui Peta dan Atlas Taktual

Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2010 tercatat bahwa jumlah penyandang disabilitas netra di Indonesia sebanyak 3,75 juta penduduk. Kemudian, 40% dari jumlah tersebut merupakan penyandang disabilitas netra pada rentang usia sekolah 6-18 tahun. Artinya, mereka adalah warga negara yang berhak mendapatkan edukasi geografi mengenai perkembangan kewilayahan dan fenomena geografis yang terjadi melalui peta.
ADVERTISEMENT
Aris lebih lanjut menyampaikan bahwa geoliterasi berkaitan erat dengan pentingnya memberikan pemahaman kewilayahan bagi seluruh warga negara, termasuk penyandang disabilitas netra. Dari poin tersebut, saya sepakat bahwa geoliterasi sebagai bagian dari edukasi geografi wajib dikenalkan untuk semua kalangan.
Oleh karena itu, penyandang disabilitas netra semestinya berhak mendapatkan edukasi geospasial (mengenal ruang kebumian melalui peta) tentang fenomena geografis pandemi COVID-19 dan penanganannya, baik yang terjadi di dunia maupun di Indonesia.
Saya sempat menyampaikan pendapat ini ke sejumlah kawan sesama geogaf(er), termasuk ke rekan-rekan pegiat dan pemerhati peta. Hingga kami pun sependapat bahwa fenomena pandemi COVID-19 adalah bagian dari fenomena geografi yang layak disajikan pada peta taktual. Kemudian, kami melihat bahwa edukasi geografi tentang pandemi COVID-19 adalah hak bagi setiap warga.
Ilustrasi Peta Sebaran COVID-19 (Kredit Foto: Photo by Martin Sanchez on Unsplash)
Oleh karena itu geoliterasi pandemi COVID-19 itu perlu dipikirkan dan disiapkan ke depan sebagai bagian dari materi pendidikan bagi penyandang disabilitas netra. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman bagaimana suatu penyakit dapat menjadi pandemi yang menyebar tanpa kenal batas geografi.
ADVERTISEMENT
Kemudian, dapat juga diperkuat dengan pengetahuan mengenai bagaimana pergerakan atau mobilitas penduduk juga berdampak pada meningkatnya angka kasus aktif COVID-19. Di sisi lain, sebaran fasilitas kesehatan di Indonesia juga dapat menjadi gambaran yang dapat dikemas dalam bentuk peta taktual tematik maupun atlas taktual.
Sebagai orang awas yang mampu membaca peta, maka seyogyanya kita juga dapat membaca dan memahami peta sebaran dan zonasi pandemi COVID-19 dengan baik. Kemudian, besar harapan saya kelak akan tersedia peta maupun atlas taktual fenomena geografis pandemi COVID-19 bagi penyandang disabilitas netra di Indonesia. Satu Peta Satu Data Satu Nusantara untuk peningkatan literasi geografi di Indonesia.