Sebuah Renungan: Ketimpangan Digital

Aji Putra Perdana
Seorang Geograf(er) yang mengamati lingkungan sekitar dari sudut pandang geografi. Pemerhati Peta dan Toponim. Saat ini bekerja di Badan Informasi Geospasial.
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2021 20:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Putra Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selasa pagi ini (24/8), saya berada dalam kecemasan tatkala hasil PCR tak kunjung muncul di paspor digital pada aplikasi PeduliLindungi. Senin malam (23/8), saya pun menyalakan printer yang lama tak terpakai.
ADVERTISEMENT
Alhamdulillah tinta masih ada dan saya menemukan kertas bekas yang masih kosong salah satu sisinya. Bukti hasil PCR yang saya terima menjelang tengah malam tersebut, saya cetak pada kertas bekas.
Momen saat menuliskan bahan awal untuk renungan hari ini. Dokumentasi Pribadi (Aji Putra Perdana)

Tiada Paspor Digital, Bukti PCR Cetak pun Jadi

Saya tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada pagi hari, sehingga langsung coba mengantre pada mesin verifikasi PCR. Petugas menyampaikan jika untuk rute penerbangan yang akan saya tempuh langsung ke antrean pengecekan berkas.
Saya pun langsung menuju ke lokasi tersebut. Berbekal bukti hasil PCR yang tercetak pada kertas bekas. Saya menyiapkan gawai pada posisi membuka WhatsApp dari penyedia jasa layanan tes PCR. Tautan unduh bukti PCR dan kuitansi pembayaran pun siap untuk disajikan.
Di depan saya berdiri sekitar 5 orang yang antre bersama. Ternyata, 1 orang merupakan pengantar rombongan yang memandu agar rekan-rekannya dapat pelayanan untuk cek bukti PCR.
ADVERTISEMENT
Ada 2 orang yang tidak mempunyai gawai, sehingga mereka menggunakan bukti PCR yang distempel. Nah, berhubung bukti hasil PCR saya tak kunjung muncul di paspor digital. Maka, saya bernasib serupa yaitu bukti PCR kertas bekas ditandatangani dan stempel.
Tentunya dengan menunjukkan terlebih dahulu tautan file bukti hasil PCR dan kuitansi pembayaran pada WhatsApp dari penyedia jasa layanan tes PCR.
Perjalanan penerbangan saya pun berlanjut, hingga saya tiba di lokasi transit penerbangan. Seorang pemuda yang akan menuju Surabaya bertanya tentang bagaimana mengisi eHAC. Sebuah keraguan yang wajar dan saya pun pernah mengalaminya.
Saya pun menerangkan dengan singkat dan menunjukkan cara aksesnya pada aplikasi PeduliLindungi. Sisi positif dari aplikasi yang telah terintegrasi dalam satu kesatuan. Namun, edukasi dan literasi digital ternyata masih perlu gencar dilakukan.
ADVERTISEMENT

Tiada Aplikasi Daring Pesan Makanan, Jalan Kaki pun OK

Saya pun cukup tenang ketika melihat pemuda tersebut tampak senyum percaya diri melengkapi data pada eHAC.
Pertanyaan lain muncul, bagaimana jika kelak semua wajib digital sedangkan masih terdapat warga yang belum mempunyai akses terhadap gawai dan memiliki keterbatasan melek digital?
Perasaan saya pada ketimpangan digital makin meningkat tatkala saya tiba di Pulau Buton.
Hasrat natural kekotaan saya untuk mencari makanan menggunakan aplikasi ojol maupun sejenisnya ternyata tak dapat dipenuhi. Tidak ada layanan tersebut di wilayah ini.
Alhasil, malam ini (24/8) saya dan rekan kerja yang satu perjalanan menikmati jalan kaki di tengah keriuhan lalu lalang kendaraan bermotor. Mencari tempat makan yang hangat dan menarik. Saya pun melihat banyaknya ojek tidak online yang cukup banyak di tepi jalan.
ADVERTISEMENT
Informasi lokasi makan tersebut tentunya saya temukan berkat teknologi digital. Saya memanfaatkan peta digital Google Maps untuk melihat situasi sekitar dan warung makan yang buka dan menyajikan masakan sesuai lidah dan mengisi perut yang keroncongan.

Memantik Renungan: Ketimpangan Digital di Masa Pandemi

Saya merasakan suatu ketimpangan digital di masa pandemi COVID-19. Tatkala lompatan digital meningkat dan mampu dinikmati sejumlah kalangan, ternyata akses adil dan merata masih jauh untuk digapai oleh Indonesia sebagai Negara Kepulauan.
Pertama, di tengah aplikasi digital masih ada manfaat dari bukti dalam bentuk cetak. Kedua, belum semua lokasi menikmati layanan daring. Berikut renungan ala #celotehfulan (tagar yang sering saya gunakan di akun Instagram).
ilustrasi keramaian orang di era digital. Kredit Foto: Photo by Anna Dziubinska on Unsplash
Bersyukurlah, bagi kita yang dapat menikmati inovasi teknologi digital, salah satunya inovasi media sosial yang makin luas sediakan wadah bagi kita berekspresi dan berbagi rasa.
ADVERTISEMENT
Bersyukurlah, bagi kita yang dapat pesan antar paket maupun makanan memanfaatkan aplikasi daring.
Hingga kita dapat tenang menjalani hidup di rumah dalam situasi pandemi yang tak kunjung menuju endemi.
Bersyukurlah, bagi kita yang dapat dengan mudahnya menggunakan gawai dan memiliki kuota internet atau bahkan jaringan internet yang lebih stabil.
Membuat kita yang jenuh menjalani kehidupan pandemi menjadi keliling di dunia maya menemukan berita dan cerita pelipur hati pengisi sunyi.
Tahukah kita bahwa ternyata masih banyak di sekitar kita yang tak mampu mendapatkan itu semua.
Bahkan, gawai pun tak kuasa mereka genggam. Hingga paspor digital pun tak akan dikenalnya. Pesan antar paket atau makanan pun tak menjangkau wilayahnya.
Namun ternyata mereka tidak mengeluh dengan keadaan. Justru mereka menjalani hidup tanpa beban. Tanpa keramaian netizen yang akan memenuhi kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Tatap muka dan interaksi nyata masih utama dibanding jendela maya yang mereka pun belum tau dengan baik keberadaannya.
Akses terhadap data dan informasi digital belumlah merata. Bagaimana nasib mereka tatkala TV Analog tiada dan diganti dengan TV Digital.
Layaknya surat kabar cetak yang perlahan lenyap dan digantikan aplikasi media digital pada gawai.
***
Salam sehat dan tetap patuhi protokol kesehatan. Bahu membahu hadapi cepatnya letupan era digital untuk mengurangi tingginya ketimpangan digital.
Sekadar berbagi renungan yang menghinggapi saya malam ini dan saya putuskan menuliskannya.