Prinsip Hidup Masyarakat Adat Untuk Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan

Aji Said Muhammad Iqbal Fajri
Visiting Fellow Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS), Junior Researcher Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanity Universitas Indonesia (AWCPH UI), Co-Founder Adidaya Initiative
Konten dari Pengguna
24 November 2022 12:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Said Muhammad Iqbal Fajri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep yang identik dengan ide-ide pembangunan internasional. Populer sejak awal abad ke-21, pembangunan berkelanjutan telah menjadi arus utama dalam perjanjian internasional dan menjadi ciri khas kebijakan pembangunan berbagai negara di dunia. Sebagai contoh, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menjadikan Tujuan Pembangunan Bekelanjutan sebagai cetak biru pembangunan yang harus dicapai oleh negara anggota pada tahun 2030. Akibatnya, sedikit pihak mengetahui bahwa ide-ide pembangunan berkelanjutan sebenarnya dapat dijumpai dari prinsip hidup dan budaya suku-suku tradisional di dunia.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang kaya akan suku dan budaya, Indonesia sebenarnya telah menyumbangkan berbagai pemikiran pembangunan yang berorientasi pada kearifan lokal. Sebagai contoh, dalam Deklarasi Pemimpin Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang baru diadakan minggu lalu di Bali, terdapat poin yang menyatakan bahwa pemimpin-pemimpin G20 sepakat untuk mengembangkan kebijakan yang mengacu pada keberagaman budaya sebagai sumber daya untuk kehidupan berkelanjutan. Poin ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki perhatian khusus kepada kebudayaan lokal sebagai solusi permasalahan global, sehingga ide tersebut dimasukkan dalam forum-forum internasional.
Walaupun demikian, implementasi pemikiran pembangunan berkelanjutan yang berbasis pada kearifan lokal masih mendapatkan sedikit atensi dari pemangku kepentingan. Solusi-solusi perubahan iklim dapat menjadi gambaran utama. Untuk memperlambat laju kenaikan suhu global, negara-negara di dunia bersepakat untuk menurunkan emisi di berbagai sektor. Padahal, gaya hidup rendah emisi sudah diterapkan oleh berbagai masyarakat adat di Indonesia. Dengan pola hidup yang berorientasi dari sumber daya lokal, masyarakat adat mampu memperoleh sumber makanan, mata pencaharian, dan kebutuhan hidup tanpa menghasilkan emisi secara berlebih.
ADVERTISEMENT
Prinsip lokalisasi sumber daya sebenarnya dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat urban dalam konteks yang lebih luas. Dengan pola hidup yang jauh lebih kompleks, masyarakat urban dituntut mengembangkan teknologi agar mampu memperoleh kebutuhan-kebutuhannya dari lingkungan sekitar. Hal ini mulai disadari oleh berbagai pemerintahan negara-negara barat, ditunjukkan dengan penataan ulang struktur kota metropolitan dan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada lokalisasi sumber daya. Berbagai kota besar di Eropa, seperti Paris dan Amsterdam, telah sukses menerapkan ide tersebut.
Guna mendapatkan lebih banyak ide pembangunan berkelanjutan aplikatif sebagaimana contoh di atas, pemangku kepentingan terkait perlu mengeksplorasi kearifan lokal masyarakat Indonesia secara lebih menyeluruh. Salah satu contoh kearifan lokal tersebut, antara lain, dapat diperoleh degan mempelajari cara hidup Suku Mentawai.
ADVERTISEMENT

Arat Sabulungan: Jalan Hidup Berkelanjutan Suku Mentawai

Di antara berbagai ribuan suku yang ada di Indonesia, Suku Mentawai merupakan salah satu suku tertua yang telah bermukim ribuan tahun di Nusantara. Termasuk dalam cakupan ras Proto Melayu, Suku Mentawai hidup di bagian barat Pulau Sumatra, antara lain Pulau Siberut, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan. Sebelum mengenal agama yang dikenal dalam masyarakat modern, Suku Mentawai telah hidup ribuan tahun dengan kepercayaan yang dikenal dengan nama Arat Sabulungan. Walaupun berbagai peneliti mengelompokkan Arat Sabulungan dalam kategori animisme, namun masyarakat Suku Mentawai memandang Arat Sabulungan sebagai suatu jalan hidup dengan pemaknaan yang lebih dalam.
Potret Suku Mentawai di tengah hutan. Sumber: Dokumentasi Pribadi (Hak Cipta INADIS)
Tidak hanya mengatur mengenai kepercayaan dengan Sang Pencipta, Arat Sabulungan juga mengatur cara hidup masyarakat dengan alam. Secara etimologi, Arat Sabulungan berasal dari Bahasa Mentawai yang memiliki arti adat, daun, dan sekitarnya. Istilah Arat Sabulungan lahir karena sebagian besar ritual kepercayaan Suku Mentawai yang menggunakan daun sebagai perantara manusia dengan Taikamanua atau empu kehidupan Suku Mentawai. Namun lebih jauh lagi, Suku Mentawai juga memaknai memaknai Arat Sabulungan sebagai jalan kehidupan yang menyeimbangkan hubungan manusia dengan semesta. Pada kenyataannya, implementasi Arat Sabulungan memiliki banyak relevansi dengan ide-ide pembangunan berkelanjutan kontemporer.
ADVERTISEMENT
Dalam Arat Sabulungan, Suku Mentawai diharuskan untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan memberikan penghormatan serta pemanfaatan yang tepat guna. Suku Mentawai biasa memanfaatkan daun di sekitar lingkungan mereka untuk berbagai tujuan, baik obat-obatan, konsumsi, hingga ritual kepercayaan. Namun, Suku Mentawai tetap memiliki ketentuan khusus mengenai penggunaan daun yang mereka gunakan. Artinya, masyarakat dituntut untuk mengambil sumber daya alam sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan.
Penghormatan Suku Mentawai terhadap alam semesta dan seisinya bukannya tanpa dasar. Menurut antropolog Reimar Schefold, wawasan Suku Mentawai mengenai lingkungan bukan berasal dari cerita dongeng, melainkan dari pengalaman kehidupan yang pernah mereka alami. Dengan kata lain, Suku Mentawai telah menerapkan prinsip efisiensi sumber daya jauh sebelum perkembangan teknologi ataupun ide pembangunan berkelanjutan ditemukan. Prinsip efisiensi sumber daya inilah yang dapat menjadi landasan masyarakat urban dalam berbagai sektor kehidupan, mulai dari konsumsi, industri, hingga mobilitas.
ADVERTISEMENT

Keterlibatan Masyarakat Adat Dalam Perumusan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan

Melalui Arat Sabulungan, Suku Mentawai menunjukkan bahwa terdapat jalan hidup yang mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan. Prinsip seperti ini sebenarnya dapat ditemui dari berbagai ajaran suku dan masyarakat adat di Indonesia. Namun, keterlibatan masyarakat adat dalam penyusunan kebijakan pembangunan berkelanjutan di Indonesia masih sangat minim. Hal ini disebabkan oleh beberapa dua hal utama. Pertama, perlakuan negara terhadap masyarakat adat pada masa lalu yang cenderung represif, sehingga mempersempit ruang masyarakat adat untuk menyebarluaskan prinsip kehidupannya. Kedua, arus globalisasi dan modernisasi juga mengurangi penganut kepercayaan masyarakat adat.
Guna mengatasi permasalahan di atas, kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan sangatlah penting. Terdapat beberapa pekerjaan rumah yang harus segara dilakukan. Pertama, diperlukan suatu upaya pelestarian budaya yang sistematis dengan melibatkan pemimpin masyarakat adat, pemerintah, dan akademisi. Sistematis dalam hal ini memiliki makna bahwa pelestarian budaya harus memiliki suatu program yang jelas, dengan dukungan kebijakan serta anggaran yang memadai. Kedua, diperlukan upaya sosialisasi prinsip-prinsip kehidupan masyarakat adat kepada masyarakat luas. Dikemas dalam berbagai acara dan peringatan, upaya sosialisasi ini diperlukan agar kepercayaan dan jalan hidup masyarakat adat dikenal oleh banyak pihak. Ketiga, negara harus memastikan keterlibatan masyarakat adat dalam perumusan kebijakan, terutama kebijakan yang terkait dengan prinsip masyarakat adat. Tidak hanya menyediakan ruang berpendapat, negara juga harus memberikan wahana di mana masyarakat adat dapat berekspresi dan memberikan masukan praktis terhadap berbagai kebijakan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Apabila masyarakat adat terlibat dalam perumusan kebijakan pembangunan berkelanjutan, bukan tidak mungkin Indonesia dapat memiliki ciri khas kebijakan yang berorientasi pada nilai-nilai lokal. Sebagai negara yang kaya akan budaya, sudah saatnya Indonesia menegaskan posisinya sebagai pelopor kebijakan pembangunan dengan prinsip-prinsip kearifan lokal.