Gus Dur, Sosok Humanis dan Egaliter

Akhdan Makarim
Pelajar yg masih berusaha menyelesaikan studi dalam waktu 4 tahun, karena mahalnya 'jasa' pendidikan.
Konten dari Pengguna
30 Desember 2017 12:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhdan Makarim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peringatan tujuh tahun kepergian Gus Dur (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan tujuh tahun kepergian Gus Dur (Foto: Reuters)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Penghargaan-penghargaan yang diterima Gus Dur menandakan sifat humanis dan egaliter pada dirinya diakui banyak orang.”
ADVERTISEMENT
Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, lahir di Jombang, Jawa Timur. Gus Dur terlahir dari keluarga terhormat, sebab beliau merupakan cucu dari K.H. Hasyim Asyari, tokoh pendiri Nadhatul Ulama (NU). Terlahir dari keluarga yang sangat agamis, membuat Gus Dur sempat menuntut ilmu di Pondok Pesantren Krapyak dan Tegalrejo. Selama mengenyam pendidikan di sana, Gus Dur dikenal sebagai santri yang cerdas dan mahir berbahasa Arab. Atas kelebihan itulah, beliau berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Selain kecerdasannya, sosok Presiden Republik Indonesia ke-4 ini juga dikenal dengan sifatnya yang humanis dan sederhana. Hal itu terbukti dari beberapa penghargaan kemanusiaan yang diterimanya, seperti “Ambasador of Piece” dari International and Interreligious Federation for World Piece (IIFWP) pada tahun 2000, “World Piece Price Award” dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC) pada tahun 2003, dan “Medal of Vapor” dari Simon Wieshenthal Center pada tahun 2008 sebagai penghargaan untuk tokoh multikulturalisme dan pluralisme. Tak hanya itu, Gus Dur pun masih banyak mendapat penghargaan lainnya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
ADVERTISEMENT
Sifat humanis Gus Dur juga dibenarkan oleh Priyo Sambadha, seorang Staff Kepresidenan Bidang Protokol Pers dan Media Massa, yang sudah bekerja di lingkungan kepresidenan sejak tahun 1986. “Saya sudah bekerja di Istana Merdeka sekitar 14 tahun, pada zaman Soeharto dan Habibie. Sejak saya bekerja dengan Gus Dur, sosok presiden yang saya kenal tidak ada yang seperti beliau, egaliter (baca: bersifat sederajat), santai, dan apa adanya,” ungkap Priyo dengan gamblang saat ditemui di kediaman Gus Dur, di daerah Ciganjur, Jakarta Selatan.
Dengan segala sifat humanisnya, Gus Dur yang kala itu menjabat sebagai Presiden, tetap mendapat kritik dari masyarakat atas kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. Sebut saja kebijakan yang paling diingat, yakni penetapan Perayaan Imlek sebagai Hari Libur Nasional. “Gus Dur adalah pribadi yang menganggap bahwa perbedaan pendapat itu sebagai suatu hal yang wajar. Sesuatu yang beliau bela itu juga merupakan hak dan kewajiban yang sama untuk semua orang. Oleh karenanya, beliau sangat percaya diri,” papar Priyo.
ADVERTISEMENT
Priyo Sambadha mengakui kekagumannya terhadap sosok Gus Dur. Mantan staff kepresidenan ini bahkan rela meninggalkan pekerjaannya, dan memutuskan untuk tetap bersama Gus Dur ketika beliau turun dari jabatannya sebagai Presiden. “Saya jatuh cinta dengan Gus Dur dan keluarganya karena perhatian mereka yang sangat besar terhadap masyarakat. Saya merasa lebih bermanfaat bagi orang lain ketika saya bersama Gus Dur dan keluarganya,” jelas Priyo. Menurutnya, sifat sederhana tersebut memang sudah melekat pada diri suami Shinta Nuriyah itu. “Gus Dur itu manusia di atas rata-rata, contohnya dalam hal berbicara. Meskipun pintar, beliau tetap berbicara dengan sikap yang sederhana, tidak seperti orang lain yang ingin terlihat pintar,” tutur Priyo.
Priyo Sambadha juga sempat menulis buku Presiden Gus Dur, The Untold Stories tentang kisah-kisah menariknya bersama Gus Dur, saat ia bekerja sebagai staff kepresidenan. Dalam buku tersebut, Priyo Sambadha menceritakan kisah menarik saat ia mendampingi Gus Dur untuk menerima undangan di Brebes dan Tegal pada tahun 2009. Cerita berawal saat perjalanan pulang dari Tegal. Dalam perjalanannya, Gus Dur ditemani putri keduanya, Yenny Wahid, beserta beberapa staff dan pengawal. Rombongan tersebut naik kereta api AC eksekutif menuju Jakarta. Di dalam gerbong kereta, Gus Dur menduduki dua kursi yang sengaja dikosongkan, berhadapan dengan Yenny Wahid. Para staff dan pengawal juga berada di satu gerbong yang sama dengan Gus Dur.
ADVERTISEMENT
Di tengah kesunyian gerbong dan nada khas roda kereta. Semua staff dan pengawal mulai mengantuk dan mencari posisi nyaman untuk memejamkan mata sejenak. Hal ini juga dirasakan Gus Dur, ia ingin tidur juga, maklum habis menghadiri undangan. Uniknya Gus Dur ingin tidur di lantai gerbong. Beliau pun meminta tolong kepada Yenny wahid untuk mencarikan Koran sebagai alas tidur. Yenny pun menanyakan hal ini kepada staff dan pengawal. “Pak, ada Koran tidak? Bapak mau tidur di bawah, tolong carikan Koran pak”, pinta Yenny.
Mendengar hal tersebut semua staff dan pengawal bergegas mencari Koran. Setelah koran-koran didapat, disusunlah koran tersebut dengan rapi di lantai gerbong, di antara kedua bangku Gus Dur dan putrinya dengan jarak yang tidak begitu lebar. Tanpa keraguan sedikit pun, Gus Dur merebahkan tubuhnya ke lantai gerbong yang beralaskan koran-koran tadi. Tanpa perintah apapun, seluruh rombongan Gus Dur juga bersiap tidur secara lesehan ala Gus Dur.
ADVERTISEMENT
Melihat keanehan sekelompok orang, penumpang lain yang berada satu gerbong dengan rombongan Gus Dur menjadi penasaran. Berita bahwa Presiden Republik Indonesia ke-4 juga ada dalam sekelompok orang aneh tersebut mulai menyebar dalam gerbong. Dengan rasa hormat, semua orang yang ada dalam gerbong turut berpartisipasi. Maka saat itu, jadilah kereta api lesehan pertama di Indonesia.
Begitulah Gus Dur, walau tersemat Presiden Republik Indonesia ke-4 pada dirinya, beliau tak berlebihan. Gus Dur tetap humanis dan egaliter.