Konten dari Pengguna

Benang Merah Penyelesaian Tindak Pidana Anak dengan Restorative Justice

Akiko Ivana
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Andalas
9 Juli 2023 20:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akiko Ivana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tindak pidana saat ini bukan lagi sebuah hal yang tabu untuk dilakukan bahkan oleh anak-anak di bawah umur. Sudah sangat sering kita dengar kasus-kasus kejahatan yang melibatkan anak di bawah umur sebagai pelakunya.
ADVERTISEMENT
Motifnya pun beragam. Namun yang paling sering adalah kasus kejahatan yang dilatarbelakangi oleh pengaruh lingkungan, entah itu hasil dari interaksi dengan orang dewasa maupun dari lingkungan statis seperti internet.
Apapun alasannya, selama tindakan tersebut bersifat destruktif terhadap orang lain, merugikan secara materiil maupun immateriil—tak peduli pelakunya anak-anak atau orang dewasa—tindak tersebut tetaplah tindak pidana yang harus diproses secara prosedural berdasarkan ketentuan yang ada. Hal inilah yang menjadi perdebatan dan dilema dari banyak sarjana.
Menanggapi fenomena tindak pidana yang dilakukan oleh anak telah menjadi suatu hal yang lumrah, apakah pemidanaan harus disamaratakan atau adakah alternatif lain yang bisa menjadi solusi terkait penanganan permasalahan ini, mengingat anak di bawah umur belum tergolong kepada golongan cakap hukum atau bekwaamheid.
ADVERTISEMENT
Menurut Karl Marx dalam teori kejahatannya yakni Conflict Theory, kejahatan terjadi akibat adanya persaingan antar-manusia dalam memperebutkan kelas sosial, dan hal ini berlaku bagi semua kalangan usia yang berada di kelas rendah.
Mereka akan cenderung melakukan apa saja demi menaikkan status dan stratifikasi mereka dalam kelas sosial. Hal ini membuka peluang bagi anak-anak untuk terlibat di dalamnya, meski pada saat itu fokus Marx adalah alasan tekanan kelas sosial.
Salah satu teori turunan yang ia bawakan adalah teori restorative justice, yakni sebuah model penyelesaian perkara yang ditujukan khusus bagi para pelaku kejahatan di bawah umur. Inti dari teori ini adalah tujuan restorasi atau pengembalian ke kondisi semula. Jadi, tidak ada fungsi penderitaan (absolut) pidana dalam proses pemidanaannya, melainkan diganti dengan fungsi pencegahan (relatif).
Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
Melihat konteks tindak pidana anak, konsep pemidanaan semacam ini dinilai sebagai angin penyegaran. Hal ini mengingat dalam hukum pidana sendiri golongan anak-anak belum bisa dipidana. Sehingga esensi dari pemidanaan itu tetap dapat tercapai, namun tidak mencederai grundnorm atau norma dasar yang diatur di dalam hukum pidana.
ADVERTISEMENT
Dapat kita lihat dalam kasus tindak pidana pada bulan Februari 2023 lalu, di mana terjadi pemerkosaan dan pembunuhan seorang balita oleh remaja berusia 7 tahun di Deli Serdang, Sumatera Utara. Motif pelaku melakukan perbuatan keji itu adalah karena terpengaruh oleh film tidak senonoh yang ditontonnya sebelum memerkosa dan membunuh korban.
Hal ini menunjukkan bahwa tindak pidana sangat mungkin dilakukan karena adanya pengaruh lingkungan, ditambah secara mental, seorang anak di bawah umur belum bisa berpikir secara kritis sehingga cenderung gegabah dalam melakukan sesuatu.
Apabila kita mencermati kasus di atas, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa penerapan upaya restorative justice perlu untuk dipertimbangkan sebagai langkah penyelesaian.
Secara umum, penyelesaian tindak pidana lewat peradilan pidana hanya akan memberikan efek traumatis secara psikologis kepada anak karena tidak menutup kemungkinan, anak tersebut akan menerima banyak stigmatisasi dan labelisasi dari masyarakat atas tindak pidana yang ia lakukan apalagi bila anak dijatuhi hukuman penjara.
ADVERTISEMENT
Dengan label yang ia terima sebagai “mantan narapidana”, ia akan sangat kesulitan menjalankan masa depannya setelah keluar dari penjara. Masyarakat, bahkan sampai Pemerintah akan menyematkan label tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung yang pada akhirnya hanya akan mempersulit anak tersebut dalam menjalani kehidupannya secara normal.
Akibatnya, akan ada sebagian anak yang tidak bisa mendapatkan masa depan cerah yang harusnya berhak didapatkan oleh setiap anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang kemudian diratifikasi di dalam Keppres No. 36 Tahun 1997, salah satu dari 10 (sepuluh) hak mutlak anak yakni Hak Gembira dan Hak Kesamaan.
Namun perlu kita perhatikan juga pengelompokan usia yang termasuk ke dalam kategori anak-anak. Anak-anak harfiahnya dikategorikan kepada usia balita hingga 12 tahun. Di atas 12 tahun sudah tergolong kepada usia remaja yang tidak bisa lagi dikategorikan anak-anak meski secara yuridis kelompok umur ini masih belum tergolong kepada pihak yang cakap hukum.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pandangan penulis, pemberian pidana kepada anak-anak tidak dibenarkan. Hal ini karena anak-anak berusia di bawah 12 tahun masih sangat rentan dan masih termasuk kepada golongan pihak yang belum bisa memikirkan keputusan yang diambilnya. Sedangkan, konsep restorative justice sendiri sangat tepat untuk diterapkan kepada remaja di atas 12-18 tahun.
Hal ini karena rentang usia ini merupakan rentang usia peralihan antara anak-anak ke dewasa. Hal ini membuat mereka terkadang sudah mencoba membuat keputusan, namun masih menemui kesalahan dan rentan menyimpang bila tidak mendapatkan pendampingan yang cukup terutama dari orang dewasa.
Konsep restorative justice adalah konsep penyelesaian yang cukup tepat karena anak tetap akan mengerti dan memahami bahwa apa yang dilakukannya adalah salah, tapi tidak ada tekanan yang dirasakannya akibat dari pemidanaan.
ADVERTISEMENT
Namun, penulis juga berpendapat bahwa upaya Restorative Justice ini bukanlah satu-satunya upaya dan cara karena sesungguhnya pemidanaan kepada anak di bawah umur adalah hal yang perlu mempertimbangkan banyak aspek.
Namun saran yang bisa penulis berikan bahwasanya penyelesaian tindak pidana oleh anak di bawah umur bisa dilakukan secara bertahap dengan mengutamakan restorative justice.
Apabila kemudian upaya restorative justice ini dirasa gagal atau tidak memenuhi persyaratan, maka tindak pidana bisa dibawa ke peradilan pidana anak karena posisi restorative justice dalam hal penyelesaian tindak pidana oleh anak di bawah umur dianggap sebagai sebuah solusi alternatif.