Antara Terorisme, Bencana Demografi, dan “The Lost Generation”

Nour Muhammad "Akim" Adriani
Mahasiswa tahun kedua program Master Pendidikan di CCU, Taiwan
Konten dari Pengguna
19 April 2017 4:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nour Muhammad "Akim" Adriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Teroris Bom Panci di Bandung (Foto: Bagus Permadi/kumparan )
Berita penangkapan kembali sekelompok orang terduga aksi terorisme di berbagai daerah di tanah air, ditambah aksi “teror” terhadap penyidik KPK Novel Baswedan baru-baru ini, patut dirasa sangat memprihatinkan. Terlepas dari isu terkait penindakan korupsi, secara statistik sebanyak 170 orang terduga teror berbau agama saja telah ditangkap sepanjang 2016, meningkat dua kali lipat lebih dari jumlah di tahun 2015.
ADVERTISEMENT
Karakter terorisme mereka pun semakin “kreatif”, mulai kasus bom buku sampai bom panci. Beberapa pengamat melihat kecenderungan ini masih akan berlanjut melihat kondisi politik dalam dan luar negeri, khususnya di dunia Arab yang belum juga membaik.
Selain intensitas dan bentuk, keterlibatan generasi muda dalam aksi terorisme juga patut dikhawatirkan. Hampir setiap kasus yang telah diputus oleh pengadilan, selalu melibatkan kelompok usia 20-30 tahun. Dodi masih 23 tahun, ketika terkait aksi Teror Thamrin. Ada juga Priyo, pelaku bom kedutaan Myanmar berusia 21 tahun. Bahkan kasus di Samarinda melibatkan anak usia bawah umur, Ridho (17) dan Adam (16).
Menurut Brigjen Hamidin dari BNPT (2016), kelompok usia tersebut menyumbang 47 persen dari seluruh aksi terorisme. Bila dijumlahkan dengan usia di bawah 18 tahun, angka ini melonjak sampai 59 persen. Angka ini tidak termasuk “terorisme” non-agama yang lebih dikelompokan sebagai kejahatan umum.
ADVERTISEMENT
Rentang usia 16-30 tahun dikenali sebagai masa peralihan dari remaja awal menuju dewasa. Gejolak pencarian jati diri dan ego menguat sebagaimana teori Erikson (1959) mengenai Psikologi Perkembangan, dengan ciri pembentukan karakter peran dan identitas.
Orang tua atau keluarga terdekat mulai kehilangan kontrol. Identifikasi lebih diarahkan pada sesuatu yang lebih membuat seseorang nyaman, seperti teman sepermainan atau organisasi,juga kesetiaan pada sesuatu termasuk ideologi. Banyak ahli berpendapat bahwa di sinilah sisi paling rentan remaja atau pemuda untuk direkrut dalam gerakan-gerakan radikal.
Dalam sebuah jurnal berjudul 'Education, Poverty and Terrorism: Is There a Causal Connection?' (2003), ekonom dan ilmuwan hubungan masyarakat, Kruger & Maleckova, mengungkapkan banyak pihak salah kaprah dengan mengasosiasikan pendidikan dan kemiskinan (ekonomi) sebagai penyebab munculnya aksi-aksi terorisme. Asumsi semakin rendah tingkat pendidikan dan ekonomi seseorang, semakin tinggi kemungkinan untuk terlibat dalam aksi kekerasan, radikalisme, dan ekstrimisme, di lapangan rupanya tidak demikian.
ADVERTISEMENT
Banyak kelompok terdidik dengan gelar sarjana atau pascasarjana tidak bisa dikatakan aman dari paparan ideologi semacam ini. Merujuk pernyataan peneliti LIPI, Anas Saidi dalam sebuah diskusi bertajuk “Membedah Pola Gerakan Radikal” (2016), bahkan saat ini kampus-kampus perguruan tinggi di Indonesia justru menjadi sasaran empuk rekrutmen dan persemaian pemikiran radikal dan ekstrim yang berbau agama maupun politik.
Menurut Direktur Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Sonny Harmadi, penduduk Indonesia yang pada 2030 diprediksi mencapai 300 juta jiwa, didominasi oleh hampir 70 persen usia 15-64 tahun. Hampir 70 juta di antaranya berusia 16-30 tahun (BPS 2014).
Inilah, sebagaimana diungkapkan pakar demografi Adrian Hayes dalam 'Taking Advantages of the Demographic Dividend in Indonesia' (2015), saat kita akan mengalami bonus demografi: percepatan ekonomi yang ditandai besarnya penduduk muda sebagai modal angkatan kerja.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, tantangan sosial ekonomi masih menjadi ancaman bagaimana potensi generasi muda dari “bonus” ini justru tidak termanfaatkan. Kekecewaan dan keterpinggiran karena tingginya ketimpangan ekonomi, minimnya kesempatan kerja, rendahnya kualitas pendidikan dan daya saing, bisa memberikan tekanan psikologis yang mendorong mereka membebani struktur masyarakat dengan rendahnya produktivitas dan tingginya konsumsi (Harmadi 2015, Hayes & Setyonaluri 2015). Sebuah potensi besar yang bisa meningkatkan kualitas hidup bangsa, namun sebaliknya benar-benar menjadi bom waktu yang merusak.
Rupanya, dua hal ini – kematangan berpikir dan tekanan sosial – termasuk faktor-faktor pendorong keterlibatan seseorang dalam gerakan radikalisme dan terorisme hampir di seluruh dunia (Ranstorp dalam RAN EU Issue 2016). Potensi bonus demografi dari sisi ini dapat berbalik menjadi bencana.
ADVERTISEMENT
Apabila kita berkaca pada kasus Eropa dan Amerika Serikat saat berakhirnya Perang Dunia I, perasaan kecewa dan terpinggirkan yang muncul akibat besarnya jumlah korban jiwa, kerusakan lingkungan, kesengsaraan masal, dan ketidakadilan perang, melahirkan apa yang disebut Getrude Stein dalam novel 'The Sun also Rises' (1926) karya Ernest Hemingway, “generasi yang hilang”.
Istilah ini umumnya dipahami sebagai gerakan kritik sosial melalui sastra, seni, dan filsafat mengenai masyarakat yang terlibat perang secara umum. Pragmatisme dan materialisme menjadi zeitgeist atau jiwa zamannya, sebagaimana digambarkan oleh Fitzgerald dalam novel 'The Great Gatsby' (1925) yang diangkat ke layar lebar pada 2013 dengan judul yang sama.
Era “generasi yang hilang” dipercaya melahirkan eksperimen politik dan revolusi sosial besar-besaran dengan munculnya pemerintahan totaliter di berbagai negara. Tidak hanya bagi pihak yang kalah seperti Jerman dengan Sosialisme Nasional (NAZI) dan Soviet dengan Komunisme-nya, tetapi juga bagi pihak pemenang seperti Fasisme di Italia dan Militerisme di Jepang.
ADVERTISEMENT
Ahli sosial Peter Baehr menguraikan dalam 'The “Masses” in Hannah Arendt’s Theory of Totalitarianism' (2007) bahwa karakter kepemimpinan “kuat” membuai publik yang merasa gagal mencegah bencana (perang), rela mengorbankan nilai-nilai lama dan menyerahkan diri pada kontrol ideologi radikal. Anarkis dan doktriner, berpikiran tertutup menjadi ciri masyarakat “putus asa” yang bergerak tanpa sadar ke dalam bencana kemanusiaan lain tidak lama kemudian.
Kehilangan harapan dan tujuan, di satu sisi melahirkan generasi yang berorientasi serba materialistis sebagai pelampiasan atas kebutuhan untuk diakui, keberadaan atau eksistensinya. Namun, di sisi yang bersebrangan hasrat ini dapat mengarahkan kepada pelampiasan lain berupa semangat beragama yang tidak terkontrol.
Rentannya sisi keremajaan, disumbang tekanan sosial, serta pemahaman agama yang rendah atau keliru, memicu radikalisme dalam berbagai motifnya. Pada titik tertentu, akumulasi semua itu mendorong aksi anarkis yang membenarkan perusakan maupun penghilangan nyawa tanpa dasar. Sisi keberagamaan menjadi hilang dan berubah menjadi selongsong kosong yang profan, dengan meminjam istilah budayawan Cak Nun sebagai “ateisme agama”. Apapun simbol yang dianggap musuh – termasuk sistem negara – perlu dimusnahkan, bagaimanapun caranya, berapapun biayanya.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus Novel Baswedan, karakter ini sudah menjelma dalam aksi teror personal terhadap petugas negara, yang motifnya diduga berhubungan erat dengan pengusutan kasus korupsi yang sedang ditanganinya.
Menjelajah dunia untuk melawan terorisme. (Foto: ThinkStock)
Di tengah jumlah generasi muda yang besar dan situasi nasional yang hari ini masih didominasi politik golongan, riak-riak “revolusi” entah dari yang haluan “kiri” atau “kanan” mulai terdengar nyaring. Pun istilah itu dipopulerkan dengan “bantuan” wacana yang dibangun aparat negara sendiri.
Teror dan kekerasan, anomal kesantunan Nusantara, apakah ciri masyarakat putus asa? Tidak hanya pemerintah, kita semua perlu meningkatkan kepedulian dengan berbagai upaya mulai dari rumah dan keluarga, lingkungan dan pendidikan, untuk lebih waspada dengan perkembangan putra-putri kita demi masa depan bangsa.
ADVERTISEMENT
Apakah kita masih ingin ber-Indonesia? Mari kita jawab dengan berbuat bersama.