Dari Politik Cepat Saji hingga Penyelamatan Diri saat Gempa

Aksara kumparan
Kami menyeleksi user story terbaik setiap hari. Ayo buat story terbaikmu di kumparan!
Konten dari Pengguna
14 Oktober 2018 5:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aksara kumparan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gempa di rumah.  (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gempa di rumah. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Sebagai masyarakat yang hidup di negara rawan gempa, sudah tentu harus mengetahui cara untuk menyelematkan diri bila gempa terjadi. Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, membuat sebuah artikel panduan untuk menyelamatkan diri bila gempa mengguncang--khususnya penyelamatan di gedung bertingkat.
ADVERTISEMENT
Ada pula artikel dari Syahirul Alim yang berjudul "Poltik Cepat Saji", sama seperti tulisan sebelumnya, Syahirul memberikan pandangannya tentang panggung politik di Indonesia yang menurutnya sedang "saling serang" untuk mendapatkan eliktibitas tinggi.
1. Penyelamatan Diri dari Gempa di Gedung Bertingkat (Dr. Daryono, S.Si., M.Si.)
Gempa Lebak, Banten berkekuatan 6,1 Skala Richter (SR) yang mengguncang Jakarta pada 23 Januari 2018 lalu, sebenarnya meninggalkan pesan penting bagi Jakarta. Sebuah pesan dari alam semesta yang mengingatkan kita semua bahwa Jakarta sebenarnya tidak aman dari bahaya gempa.
Pesan akan rawannya Jakarta terhadap gempa juga tertulis dalam sejarah. Menurut catatan Arthur Wichman, Jakarta sudah 2 kali dilanda gempa merusak. Gempa Batavia yang terjadi pada 5 Januari 1699 menyebabkan 28 orang meninggal dan merusak 49 rumah bangunan Belanda.
ADVERTISEMENT
2. Politik Cepat Saji (Syahirul Alim)
Cara pandang pragmatisme terhadap berbagai hal belakangan memang marak, sejak makanan cepat saji mewabah seiring perubahan zaman. Yang menggelikan, politik pun ikut-ikutan semakin praktis mengolah cara-cara pintas bagaimana beban elektoral tak memberatkan, lalu berjualan diri dengan cara-cara instan.
Isu-isu pun dibangun sedemikian rupa demi mengurangi beban elektoral yang terlampau berat. Demi nafsu elektabilitas, mereka memobilisasi isu yang membakar semangat, tak peduli jika pun harus saling serang atau saling hujat.