Diskursus Penyelesaian Kasus HAM hingga Eksistensi Koalisi Keumatan

Aksara kumparan
Kami menyeleksi user story terbaik setiap hari. Ayo buat story terbaikmu di kumparan!
Konten dari Pengguna
21 Juli 2018 6:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aksara kumparan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
IPT 1965 (Foto: Facebook/@IPT1965)
zoom-in-whitePerbesar
IPT 1965 (Foto: Facebook/@IPT1965)
ADVERTISEMENT
Bursa capres-cawapres kian memanas. Kelompok oposisi mendapat pukulan telak setelah beberapa tokoh pentingnya 'menyeberang' ke kubu petahana. Lebih jauh lagi, Gerindra, PAN, dan PKS yang digadang-gadang menjadi koalisi keumatan tak juga memutuskan nama kandidat capres-cawapresnya.
ADVERTISEMENT
Hersubeno Arief dalam story-nya yang berjudul 'Koalisi Keumatan, Masih Adakah?' mempertanyakan eksistensi dari koalisi keumatan tersebut. Lain soal, KontraS mengecam lahirnya kembali diskursus penyelesaian kasus HAM berat lewat mekanisme Dewan Kerukunan Nasional dalam tulisannya yang berjudul 'Dewan Kerukunan Nasional Bukan Jawaban'.
Selain dua tulisan tersebut, ada dua user story terbaik lainnya yang masuk Aksara edisi ini. Inilah ulasan singkatnya.
1. Dewan Kerukunan Nasional Bukan Jawaban
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) beserta sejumlah korban dan keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu mengecam keras upaya-upaya yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto yang berusaha menghidupkan lagi diskursus penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat mekanisme Dewan Kerukunan Nasional (DKN).
ADVERTISEMENT
Pembentukan DKN untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara musyawarah mufakat dengan alasan proses penyelesaian di peradilan akan menyebabkan konflik dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia, merupakan strategi Wiranto menghidupkan budaya Orde Baru yang ‘imun’ alias kebal terhadap pertanggungjawaban hukum atas tindak kejahatan.
2. Belajar dari Nasionalisasi Tambang Asing ala Venezuela
Saat Hugo Chavez menjadi Presiden di tahun 1998 produksi minyak Venezuela mencapai puncaknya 3,5 juta barel/hari, dengan harga US$18/barel. Tahun 2007 harga minyak melampaui US$70/barel dan terus melambung. Tergiur keuntungan yang lebih besar Chavez mulai menasionalisasi proyek ekstraktif asing.
April 2018 produksi minyak Venezuela anjlok ke 1,5 miliar barel/hari, turun 42% dari produksi tertinggi tahun 1998. Di bulan yang sama arbitrasi internasional (ICC) memutuskan Venezuela membayar ganti rugi US$ 2 miliar pada ConocoPhillips. Perusahaan AS ini sudah mengajukan penyitaan aset produksi PDVSA, yang apabila dikabulkan akan mengancam 25% produksi minyak Venezuela.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, mengapa setelah melakukan nasionalisasi, produksi minyak Venezuela terus merosot sedemikian rupa?
3. Kunci Sukses Pengusaha Kuliner Indonesia di Luar Negeri
Dini adalah inspirasi bagi Indonesia. Tidak hanya berhasil menjadi entrepreneur di negeri orang, ia juga tak lupa mempromosikan negerinya sendiri.
Ketika ditanya tips bagi orang Indonesia yang ingin menjadi entrepreneur di luar negeri, Dini langsung menjawab “berkomitmen, pantang mundur, dan berpikiran terbuka.” Khususnya di bidang usaha kuliner, Dini menekankan pentingnya selalu menunjukkan yang terbaik dan menjaga brand image, karena itu secara tidak langsung akan mempengaruhi citra Indonesia.
4. Koalisi Keumatan, Masih Adakah?
Dalam dua pekan terakhir kelompok oposisi dan embrio koalisi keumatan mengalami pukulan beruntun yang sangat telak. Pukulan beruntun tersebut, dan belum adanya kesepakatan kandidat capres-cawapres di antara partai-partai yang digadang-gadang menjadi koalisi keumatan – Gerindra, PAN, dan PKS – memunculkan sebuah pertanyaan besar, “Masih adakah koalisi keumatan itu?”
ADVERTISEMENT
Pukulan telak pertama adalah “menyeberangnya” Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi ke kubu Jokowi. Pukulan kedua tak kalah telaknya adalah pencalegan Kapitra Alamsyah, salah seorang pengacara Habib Rizieq Shihab, oleh PDIP.