news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menyelisik Esensi Belajar hingga Meresapi Kembali Pancasila

Aksara kumparan
Kami menyeleksi user story terbaik setiap hari. Ayo buat story terbaikmu di kumparan!
Konten dari Pengguna
3 Juni 2018 5:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aksara kumparan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
#UserStory pilihan hari ini. (Foto: Bagus Permadi)
zoom-in-whitePerbesar
#UserStory pilihan hari ini. (Foto: Bagus Permadi)
ADVERTISEMENT
Banyak sekolah yang mewajibkan kehadiran sebagai syarat kelulusan. Padahal belajar adalah pilihan dan bukan hanya keharusan. Sekolah juga lebih banyak menghadirkan beban, sehingga murid harus menjalani pelajaran dengan setengah hati.
ADVERTISEMENT
Itulah penggalan story Najelaa Shihab yang membahas esensi belajar di sekolah. Tulisan tersebut menjadi satu dari empat #UserStory yang masuk dalam Aksara edisi ini. Apa saja user story lainnya? Yuk simak selengkapnya.
1. Semua Murid Semua Guru: Sekolah Tidak Selalu Sama dengan Belajar
Setiap berbicara tentang masa depan, kita yakin bahwa ciri utamanya adalah perubahan. Kemampuan untuk terus belajar, di jurusan dan pekerjaan apapun, menjadi mutlak diperlukan. Tetapi jawabannya seringkali bukan sekadar masuk ke lembaga persekolahan. Tidak semua murid di sekolah adalah murid yang belajar dan mendapat keterampilan belajar.
Banyak sekolah yang tujuannya memindahkan pengetahuan atau konten dari guru ke anak. Padahal belajar adalah tentang kemampuan guru menjalin hubungan dalam memenuhi kebutuhan anak.
ADVERTISEMENT
2. Memikirkan Kembali Kapitalisme dan Relevansi Pancasila
Krisis finansial global yang terjadi berkepanjangan membuat banyak orang mempertanyakan legitimasi kapitalisme. Sebuah jejak pendapat yang dilakukan oleh YouGov mendapati temuan yang mengejutkan bahwa sekitar tiga perempat orang dewasa Jerman, dua pertiga orang Inggris dan lebih dari separuh orang Amerika percaya bahwa, “orang miskin menjadi lebih miskin dan orang kaya menjadi lebih kaya dalam sistem ekonomi kapitalis”.
Bahkan ada pesimisme yang lebih besar dari masyarakat di negara-negara maju tentang masa depan mereka. Setengah warga Inggris, Amerika Serikat, dan Jerman pesimis bahwa masa depan anak-anak mereka tidak lebih baik dari diri mereka sendiri.
3. Pengakuan Dosa terhadap Pancasila
Pancasila adalah dasar negara. Pancasila adalah falsafah hidup dan kepribadian bangsa Indonesia. Itu adalah remah-remah kenangan yang tertinggal dari bangku sekolah dulu. Bagaimana dengan kini?
ADVERTISEMENT
Dengan yakin kuucap pengakuan iman pada Tuhan Yang Maha Esa, namun tanpa ragu kuteriakkan ‘Kafir!’ pada sesamaku. Ah, betapa tak Pancasilaisnya aku!
Kunafikan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kuingkari kesetaraan manusia. Bagaimana mungkin dapat kukasihi dan kuhormati mereka yang berbeda denganku, sementara kuyakini mereka sebagai makhluk-makhluk najis yang dibenci Tuhan?
4. Menengok Model Bisnis Kekinian untuk Media Massa
Waktu itu saya masih jadi mahasiswa jurnalistik. Kajian jurnalisme dan media jadi makanan pokok selain nasi. Saya ingat seorang kawan pernah berkeluh panjang lebar tentang media.
"Sebagai pembaca, kami ingin memenuhi ego kami untuk membaca konten-konten eksklusif yang tak bisa dibaca banyak orang. Kami tidak ingin hanya menikmati konten-konten mainstream berparagraf pendek.
ADVERTISEMENT
Kami juga terlalu malas untuk menenteng majalah ke sana ke sini, sangat tidak praktis. e-Magazine? Ah konsep membolak-balikan kertas secara digital sudah tidak asik. Kami ingin informasi mendalam atas sebuah fenomena, bukan sekadar berita yang harus diklik berkali-kali padahal isinya itu-itu aja."