Menyoal Kebijakan Ketertelusuran Ekspor Produk Perikanan ke AS

Nur Asih
Analis Kebijakan Muda, KKP
Konten dari Pengguna
25 November 2020 14:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Asih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang ekspor produk perikanan ke negara maju seperti Amerika Serikat (AS) saat ini tidak terlepas dari kebijakan ketertelusuran (traceability). Mengapa? Karena ketertelusuran dianggap sebagai instrumen utama pencegahan dan pemberantasan praktik perdagangan produk perikanan hasil Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing dan penipuan pangan laut (seafood fraud). Namun bagi negara lain, kebijakan ketertelusuran ini berpotensi menjadi Technical Barrier to Trade (TBT)/Hambatan Teknis Perdagangan, seperti kebijakan ketertelusuran AS melalui the Seafood Import Monitoring Program (SIMP) tahun 2018 yang disusul dengan proses investigasi oleh US International Trade Commission (USTIC) atas dampak ekonomi dari impor produk perikanan yang berasal dari praktik IUU Fishing dan penipuan pangan laut terhadap nelayan dan industri perikanan domestik AS pada tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini akan membahas ‘udang di balik batu’ kebijakan ketertelusuran ekspor produk perikanan AS, serta sikap dan kesiapan Indonesia menghadapinya.

Alasan AS Terapkan Kebijakan Ketertelusuran Produk Perikanan

AS merupakan importir produk perikanan terbesar kedua di dunia yang ditunjukkan oleh data Trademap untuk tahun 2019 senilai USD 23.755.061.000. Pada trimester I tahun 2020, AS tercatat sebagai pasar utama ekspor produk perikanan Indonesia dengan nilai USD 977,80 juta.
Menurut laporan WWF tahun 2016, arus impor ilegal produk perikanan di pasar domestik AS memberi dampak buruk pada industri perikanan AS. Dimana pada tahun 2014 ditemukan kerugian pendapatan nelayan senilai USD 675 juta – USD 1 miliar akibat tekanan harga.
Inilah yang mendorong AS menerapkan kebijakan SIMP. SIMP menetapkan persyaratan pemberian izin, laporan data, dan pencatatan oleh importir atas kronologi dokumentasi (chain of custody) dari titik panen hingga titik masuk AS. Targetnya impor ikan dan produk ikan prioritas tertentu yang dianggap rentan terhadap IUU Fishing dan/atau penipuan pangan laut.
ADVERTISEMENT
Disisi negara eksportir, temuan WWF dimaksud menunjukkan, SIMP bertujuan untuk melindungi industri perikanan domestik dan para nelayan AS dengan mengangkat isu lingkungan sebagai justifikasi ditengah persaingan dagang dunia dan tren menurunnya stok dan kualitas sumber daya perikanan yang berasal dari laut.

Justifikasi AS

Pendekatan pasar (khususnya perjanjian TBT WTO) dapat digunakan untuk menjelaskan kebijakan SIMP. TBT bersifat non diskriminasi dan menekankan pentingnya menghindari hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan.
1) Non-diskriminasi
Kategori TBT yang relevan untuk isu ketertelusuran adalah prosedur penilaian kesesuaian (UNCTAD, 2019) dimana dalam konteks SIMP, hanya berlaku untuk produk perikanan impor, tidak diberlakukan untuk produk yang dihasilkan dan dipasarkan dalam negeri, kecuali produk yang dihasilkan di AS, namun diproses di luar negeri dan direekspor ke AS. Ini bisa dipandang diskriminatif ,atau tidak sesuai dengan prinsip national treatment dalam perdagangan internasional. National treatment dikenal sebagai perlakuan yang sama atas produk lokal dan produk impor.
ADVERTISEMENT
2) Penghindaran hambatan perdagangan yang tidak perlu (unnecessary)
Batasan necessary disini didasarkan pada alasan/tujuan yang sah dimana untuk mengukurnya WTO menekankan pentingnya desain dan implementasi dari kebijakan yang dapat merefleksikan tujuan/alasan yang sah dimaksud.
Pada tahun 2011, hasil penelitian Pramod dkk. menunjukkan bahwa 20-32% dari volume pangan laut hasil perikanan tangkap yang diimpor oleh AS, atau senilai USD 1,3 – 2,1 juta berasal dari praktik IUU fishing. Hasil penelitian ini jadi alasan kuat/sah bagi Pemerintah AS untuk mengambil kebijakan keterlusuran.
Dengan demikian, di satu sisi kebijakan SIMP bisa dianggap diskriminatif (terlepas dari klaim AS terdapat instrumen serupa untuk produk domestik), namun di sisi lain memiliki justifikasi yang kuat/sah untuk melindungi lingkungan melalui pemberantasan praktik IUU fishing.
ADVERTISEMENT

Langkah yang Ditempuh oleh Indonesia

Walaupun dianggap diskriminatif, Indonesia mengambil sikap netral. Posisi ini lebih karena pertimbangan pragmatis yaitu mempertahankan pangsa pasar utama ekspor produk perikanan.
Pada tahun 2018, Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (Ditjen PDSPKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan Pedoman Pengisian Form SIMP bagi para eksportir produk perikanan Indonesia ke AS. Hasilnya positif, yaitu kenaikan kinerja ekspor produk perikanan tahun 2018-2020. Tercatat ekspor Indonesia ke AS pada tahun 2018 senilai USD 2,02 miliar dan triwulan 1 tahun 2020 senilai USD 977,80 juta. Kenaikan juga imbas penerapan kebijakan ketertelusuran produk perikanan melalui Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI).
Selanjutnya, merespons investigasi pemerintah AS tahun 2020, Indonesia gerak cepat menyampaikan update kebijakan Indonesia, antara lain ratifikasi Agreement on Port State Measures, aktif dalam kerja sama regional pengelolaan perikanan tuna, ratifikasi Agreement for the Implementation of the Provisions of UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks of 4 August 1995 (UNIA 1995), penerapan Logbook Penangkapan Ikan, penerapan Observer on Board untuk kapal di atas 30 GT dan beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) dan laut lepas, dan penerbitan Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol.
ADVERTISEMENT
Selain langkah-langkah tersebut, dalam rangka pengamanan pasar produk perikanan, Indonesia perlu memperkuat partisipasi dalam forum internasional bidang perdagangan dan memantau perkembangan peraturan perdagangan internasional (WTO) dan kebijakan unilateral negara-negara mitra dagang. Tujuannya adalah memetakan potensi hambatan teknis perdagangan eksisting dan proyeksinya serta menyiapkan langkah-langkah responsif menghadapi. Langkah dimaksud antara lain: 1) peningkatan kesiapan dan kualitas sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan yang mencakup pengujian, inspeksi maupun sertifikasi (e-certificate) untuk mendukung keakuratan sistem ketertelusuran, dan 2) peningkatan usaha perlindungan sumber daya laut dan perikanan (misalnya implementasi rencana aksi nasional konservasi mamalia laut) untuk menangani isu eksploitasi lingkungan perairan dalam usaha perikanan