Pesimisme Dalam Melihat GAHP bagi Industri Peternakan di Masa Pandemi

Albert Nathaniel
Mahasiswa di Universitas Gadjah Mada pada program studi Ilmu Hubungan Internasional yang memfokuskan studi pada kajian fenomena dalam kawasan Asia dan Asia Tenggara.
Konten dari Pengguna
16 Juni 2021 15:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Albert Nathaniel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: https://unsplash.com/photos/tp9Y4_w9DIA
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: https://unsplash.com/photos/tp9Y4_w9DIA
ADVERTISEMENT
Sudah sejak lama negara-negara Asia dipandang sebagai pionir dalam pemenuhan permintaan global akan komoditas daging hewan sejak 4 dekade belakangan, bahkan menurut FAO, kontribusi dari negara-negara tersebut diperkirakan akan menyentuh 39% pada 2027, yang dipimpin oleh China, India, dan Thailand. Dengan begitu, sudah seharusnya komoditas daging ternak, utamanya produk peternakan unggas, menjadi pembahasan yang serius bagi ASEAN selaku organisasi kawasan di Asia Tenggara, karena selain jenisnya sebagai bahan pangan yang paling banyak permintaanya di pasaran Asia, terintegrasinya jenis produk ini pada rantai pasok di negara-negara Asia Tenggara memunculkan pula urgensi terhadap industri ini untuk memitigasi ancaman dan memaksimalkan produksi dan daya saing dari komoditas ini.
ADVERTISEMENT
ASEAN sebenarnya telah memiliki institusi yang dikhususkan untuk meningkatkan perdagangan pada komoditas ternak hewan, yang juga mencakup komoditas ayam petelur dan pedaging yaitu Good Animal Husbandry Practices atau yang juga disingkat menjadi GAHP pada 2012 lalu. Namun, institusi ini sejatinya hanyalah sebuah pedoman atau standar yang berarti kekuatan efektivitas pemberlakuannya terletak pada inisiatif baik atau kemanfaatan kolektif yang dilihat para negara anggota ASEAN untuk dapat tunduk pada mekanisme tersebut. Bukan berarti bahwa institusi seperti GAHP adalah hal yang buruk bagi perkembangan perdagangan komoditas ini. Penulis melihat, Institusi yang berbentuk standarisasi seperti GAHP memiliki beberapa kekurangan besar dalam mengelola kompleksitas yang dihadapi oleh industri ternak hewan, utamanya di negara-negara anggota ASEAN.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah pedoman, GAHP berpandangan bahwa cara untuk meningkatkan produksi industri peternakan hewan adalah dengan menjawab keluhan pasar global.
Pandangan tersebut tidak sepenuhnya keliru dalam tujuannya untuk meningkatkan kompetisi dalam industri peternakan hewan, namun setiap institusi yang bersifat sebagai pedoman, seperti GAHP, memiliki tantangan besar dalam pencapaian tujuannya, yaitu legitimasi dan penyesuaian terhadap kondisi khusus. Untuk mencapai peningkatan produksi, pihak peternak baik berskala besar maupun kecil seakan harus mencapai standar yang ditentukan oleh GAHP. Hal ini seakan memaksa industri ini untuk tumbuh dan menyesuaikan permintaan global hanya dengan memberikan pedoman dan indikatornya pemenuhannya saja. Sementara kondisi dan kemampuan peternak untuk memenuhi indikator standar ini masih dipertanyakan, terutama bagi peternak yang tidak terafiliasi dengan perusahaan tertentu atau bahkan peternak kecil yang terbatas dalam modal.
ADVERTISEMENT
Walaupun menjadi kewajiban negara penandatangan GAHP pula untuk menggerakkan produksi domestiknya, namun tampaknya masih ada pendekatan lain yang tampaknya dapat meringankan beban bersama ketimbang menetapkan beban yang sama bagi negara-negara anggota ASEAN. Terlebih dengan melihat praktik standardisasi di luar ASEAN seperti dalam industri kelapa sawit, peran GAHP ini justru hanya akan membuka ruang-ruang politik kebijakan makro dan diskriminasi produk yang lebih luas karena himpitan kompetisi untuk mendapatkan standardisasi tersebut. Maka dari itu, penulis melihat bahwa standardisasi GAHP malah berpotensi memukul mundur laju perkembangan industri ini yang mulai pesat satu dekade belakangan.
Kemampuan dan fleksibilitasnya dalam mengatasi permasalahan dan fenomena global
Kemunculan pandemi COVID-19 dan berbagai kesulitan yang dihadapi negara ASEAN dalam penanggulangan penyebarannya, telah memukul mundur berbagai aktivitas ekonomi termasuk industri peternakan hewan. Produk komoditas industri ini adalah salah satu produk yang cukup menjadi sorotan karena dampak dari pandemi COVID-19, mulai dari sentimen terhadap kerentanan industri ini terhadap ancaman virus dan permasalahan mengenai kebersihan dan kontrol kualitas dalam proses produksinya hingga model proses produksinya yang butuh banyak tenaga kerja manusia menjadi beberapa kendala utama dalam pandemi COVID-19. Namun, GAHP sebagai salah satu institusi penting dalam pengelolaan komoditas ini tidak dapat menjadi sebuah standar yang dapat menjawab beberapa permasalahan tersebut dan justru berpotensi memperparahnya.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Channel New Asia, perusahaan besar asal Thailand, Charoen Pokphand Food (CP Food) mulai merasakan dampak yang signifikan dari ancaman COVID-19 dengan ditutupnya instalasi peternakannya seluas 100 kilometer pada akhir Mei 2021 lalu, akibat terdeteksinya 245 dari 5.800 pekerjanya yang positif terinfeksi COVID-19. Hal ini berbuntut pada reaksi berbagai cabangnya yang berada di negara-negara lain sekaligus institusi pengawasan pangan domestik negara-negara tersebut pula, seperti yang terjadi pada cabang CP Food di Singapore yang sempat memutuskan untuk berhenti menerima stok daging ayam dari CP Food beberapa hari kemudian. Untungnya penghentian tersebut tidak berlangsung lama, karena CP Food yang merupakan perusahaan asal Thailand untuk mengatasi hal ini, karena basis dari keunggulan produksi peternakan di Thailand yang tidak terletak pada harga produksinya yang murah, mengingat pemerintah Thailand sangat menjaga dan melindungi produk-produk domestiknya. Namun basis produksi di Thailand didasarkan pada kemampuannya untuk menjaga kualitas dan standar kebersihan dengan menghadirkan teknologi dan kontrak kerja sama peternak kecil dengan CP Food sebagai pionir dari model basis produksi industri ini di Thailand. Dalam penyelesaian tersebut hampir keseluruhan penyelesaiannya terletak pada tanggung jawab dan kemampuan negara, dan peran ASEAN maupun GAHP malah tidak terlihat karena lagi-lagi karena bentuknya yang hanya bersifat pedoman tanpa organ atau instrumen penyelesaian masalah seperti kasus di atas.
Ilustrasi peternakan ayam potong Foto: ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Berkaca dari beberapa kekurangan di atas, GAHP saja tidak cukup untuk meningkatkan produksi komoditas peternakan hewan di kawasan. Sektor industri ini perlu menjadi prioritas pula dalam pembahasan perjanjian perdagangan, mengingat potensi dari produknya yang menjadi salah satu bahan pangan dengan permintaan di kawasan Asia yang sangat besar. Selain itu, diperlukan pula adanya organ khusus yang memiliki program kerja yang selalu diperbaharui dan instrumen penyelesaian masalah dalam aspek perdagangan yang tidak hanya diatur dalam perjanjian kerja sama multilateral atau yang menjadi tanggung jawab pribadi negara anggota-anggotanya saja.
ADVERTISEMENT