Kembalinya Pemerintahan Rezim Militer Berakibat Fatal terhadap HAM di Myanmar

Aldho Faruqi Tutukansa
Penulis dan Peneliti Lepas asal Yogyakarta, Indonesia Alumni Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
29 April 2021 14:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldho Faruqi Tutukansa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seluruh masyarakat di dunia tidak asing lagi jika mendengar tentang hal-hal yang berkaitan dengan Negara Myanmar, seperti peristiwa terhadap Rohingya. Namun pada artikel ini tidak membahas tentang hal tersebut, melainkan tentang yang baru saat ini terjadi. Pada awal Februari 2021, terjadinya peristiwa yang sangat mengejutkan bagi seluruh masyarakat di Myanmar maupun seluruh dunia yaitu kudeta yang dilakukan oleh pihak militer untuk menggulingkan Kekuasaan de facto Aung San Suu Kyi dari kursi Penasihat Negara dan Presiden Myanmar terpilih, Win Myint. Akan tetapi, tidak hanya mereka saja, tetapi juga sebagian besar anggota parlemen dari Fraksi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) beserta sebanyak 24 menteri ikut menjadi korban kudeta oleh pihak militer. Diduga, alasan Militer Myanmar untuk melancarkan kudeta yaitu adanya pelanggaran dan kecurangan dari pemilihan umum 2020 yang telah dilaksanakan sebelumnya, di mana hasil pemilu tersebut memenangkan NLD dengan jumlah kursi sebanyak 396 dari 476 kursi parlemen.
Kondisi rakyat Myanmar yang masih menuntut atas hak mereka dalam aksi damai anti-kudeta terhadap Rezim Militer Myanmar yang dijaga ketat oleh pasukan militer sampai sekarang. (REUTERS/Stringer)
Kudeta ini dilakukan oleh pihak militer di bawah Komando seorang Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar (Tatmadaw), Min Aung Hlaing dengan melibatkan beberapa tokoh militer Myanmar lainnya. Dalih tujuan dari kudeta ini hanya alasan untuk keamanan dan stabilitas Negara Myanmar dan memperbaiki sistem pemerintahan Myanmar. Setelah kudeta berhasil dilancarkan, secara otomatis beliaulah yang naik menjadi Kepala Negara atau dikenal sebagai Kepala Dewan Administrasi Negara dan juga Presiden Myanmar kemudian diambil alih oleh Myint Swe. Naiknya mereka secara otomatis tentu saja memiliki perubahan kebijakan yang cenderung drastis, seperti dari penerapan pemerintahan sipil menjadi penerapan hukum militer. Kemudian, pemerintah junta militer juga menetapkan Myanmar dalam status darurat dalam jangka waktu setahun.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan dari kudeta ini kemudian menimbulkan pro dan kontra. Namun, jika dilihat kembali bahwa pihak kontra yang lebih mendominasi dengan alasan bahwa militer telah merusak demokrasi dan merampas hak-hak masyarakat. Kejadian inilah yang kemudian menimbulkan unjuk rasa oleh Rakyat Myanmar secara besar-besaran dengan menuntut agar dikembalikannya lagi pemerintahan yang demokratis. Bahkan, kedua pihak yang saling berselisih mengakibatkan timbulnya kekacauan yang semakin luas di dalam negeri Myanmar. Bukan hanya masyarakat dari Myanmar saja, namun dunia internasional turut memberikan pembelaan kepada masyarakat Myanmar dan memberi kecaman atas tindakan Pemerintah Militer Myanmar.
HAM dan Rezim Militer
Melihat dari peristiwa tersebut, hal ini sangat berkaitan dengan isu dari Hak Asasi Manusia. Sebab, ketika militer berkuasa dalam pemerintahan membuat HAM akan menjadi luntur dan makin melemah, serta HAM dianggap bagi militer menjadi tidak berguna jika dibandingkan dengan kepentingan pertahanan, keamanan, dan stabilitas negara. Bahkan, sebagaimana kita lihat dari setiap negara yang pernah berada di bawah rezim militer tersebut lebih bersifat kediktatoran dan anti-demokrasi. Lalu, hal ini juga berkaitan dengan pendapat dari Buzan (1991) jika kita mengambil konteks pada manusia (masyarakat) dan keamanan (rezim militer) yang menyatakan bahwa negara yang cenderung berfokus pada keamanan tradisional akan mengakibatkan negara tersebut menjadi sumber dari segala ancaman bagi setiap manusia melalui ketidaksadaran pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang cenderung bersifat diskriminatif.
Panglima Jenderal Senior Myanmar Min Aung Hlaing, pelaku yang melancarkan aksi Kudeta Myanmar pada tanggal 1 Februari 2021 dalam rangka mengambil alih kekuasaan rezim. (REUTERS/Ann Wang/ar)
Hal ini tentu menyalahi dari kaidah-kaidah HAM yang sudah ada mengenai hak untuk warga sipil dan politik, seperti contoh yang terjadi di Myanmar berupa aksi damai dan unjuk rasa anti-kudeta secara besar-besaran oleh rakyat Myanmar yang menimbulkan 700 lebih korban jiwa sipil tewas dan penahanan ribuan aktivis sebanyak 3.000 lebih dari berbagai elemen masyarakat akibat tindakan kekerasan oleh pasukan militer beserta jajarannya. Tidak lupa juga, perubahan sistem hukum militer juga sangat berlawanan dengan pokok pikiran dari HAM seperti dari kebijakan yang dikeluarkannya. Dari permasalahan ini juga menandakan bahwa model rezim yang berarah pada anti-demokrasi yang merendahkan hingga merusak nilai-nilai HAM pada faktanya masih ada hingga saat ini dalam ruang lingkup dunia internasional.
ADVERTISEMENT
Kecaman dari dunia internasional dan hukuman yang diatur
Sebagaimana pasca-kudeta oleh pihak militer ini memberikan dampak yang buruk bagi dunia internasional. Rezim militer Myanmar kemudian dijatuhi dari berbagai kecaman dari beberapa negara seperti Perancis, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Turki, Uni Eropa, hingga PBB dengan bersama memberikan sanksi terhadap Pemerintahan Militer Myanmar. Melalui PBB, secara langsung Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres menyatakan kecaman internasional terhadap tindakan militer Myanmar dengan menyerukan tanggapan dan tindakan tegas serta mengajak seluruh komunitas internasional untuk bersatu untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Myanmar. Lalu, disusul oleh Dewan Keamanan PBB (DK PBB) melalui kesepakatan seluruh 15 anggota untuk menyatakan keprihatinan atas situasi yang kian memburuk di Myanmar secara mendalam dan menegaskan terhadap militer agar menahan diri, meskipun DK PBB belum memberikan ancaman untuk melakukan tindakan terhadap militer negara 1001 pagoda tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, mengenai instrumen Hukum Internasional terhadap tindakan militer Myanmar sampai saat ini masih belum memiliki kejelasan secara resmi. Namun, kejadian ini masih dapat dikaitkan dengan Statuta Roma 1998 yang menyatakan pelanggaran HAM berupa kejahatan kemanusiaan antara pemerintah dan rakyat. Pelanggaran HAM ini sebetulnya tidak bisa diselesaikan secara nasional mengingat rezim yang bertindak keras sebagai pelaku dan pengadilan setempat tidak bisa menanganinya sehingga harus diselesaikan secara internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional jika memang situasi yang semakin kritis. Akan tetapi, peristiwa seperti ini masih memungkinkan untuk diselesaikan melalui jalur damai dengan melaksanakan rekonsiliasi antarnegara, meskipun jalur ini dikatakan sudah sangat sulit untuk diterapkan mengingat banyaknya korban yang masih berjatuhan serta krisis kepercayaan yang tinggi oleh rakyat terhadap Pemerintahan Militer Myanmar.
ADVERTISEMENT
Perkiraan Proses Penyelesaian
Hingga sekarang, kejadian seperti ini masih belum menemukan titik temu pada resolusi antara Pemerintah Militer Myanmar dengan rakyatnya. Keduanya dapat dikatakan masih bersikukuh atas pendiriannya dengan sisi yang berbeda, dari Pemerintah Militer yang cenderung menggunakan sistem hukum dan administrasi yang berbeda, sedangkan rakyat menuntut agar Myanmar kembali menjadi negara yang demokratis dan mengedepankan HAM. Meskipun sempat pada tanggal 24 April 2021 diadakannya KTT ASEAN 2021 di Jakarta dalam membahas resolusi penyelesaian konflik dalam negeri Myanmar, namun masih adanya rasa ketidaksetujuan dari sebagian rakyat Myanmar yang tetap menuntut agar pemerintahan sipil dapat kembali berjalan. Intinya, hal ini menandakan bahwa eksistensi HAM yang dimiliki oleh rakyat Myanmar masih kuat, meskipun terus menerus digoyahkan oleh Rezim Militer Myanmar yang cenderung represif dalam segala hal. Akan tetapi, mengingat dengan tuntutan perubahan zaman kedepan yang menandakan bahwa rezim militer mulai tidak akan mampu bertahan lama karena pergerakan oleh rakyat melalui suara mereka yang lambat laun akan kembali ke arah yang demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan kaidah HAM.
ADVERTISEMENT