Bonus Demografi dan Masa Depan Pertanian Indonesia

Aldi Setiawan
Mahasiswa Agribisnis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Konten dari Pengguna
17 Juni 2021 14:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
seorang pemuda sedang berpose ditengah areal persawahan (doc.pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
seorang pemuda sedang berpose ditengah areal persawahan (doc.pribadi)
ADVERTISEMENT
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu instrumen penting dalam pembangunan sebuah negara. Sebagai mesin pembuat ide-ide strategis dan pengelola suatu rencana, sumber daya manusia memiliki peran vital dalam mewujudkan sebuah ide melalui pengelolaan yang terencana.
ADVERTISEMENT
Menurut data sensus 2020, Indonesia memiliki total populasi manusia mencapai angka 270,20 juta jiwa dan 70,72 % atau 191.085.440 di antaranya merupakan penduduk dengan usia produktif. Hal ini tentu suatu anugrah yang patut kita syukuri.
Dengan besarnya populasi tersebut, sumber ide dan inovasi tentu akan lebih bervariasi. Asalkan kita mampu memanfaatkan fenomena bonus demografi ini.

Besarnya Populasi Tidak Menjamin Regenerasi

Regenerasi, tantangan pertanian di era bonus demografi (Dokumen pribadi)
Tidak ketinggalan juga sektor pertanian. Pertanian tentu akan menjadi salah satu sektor yang terdampak dari fenomena bonus demografi ini. Salah satu contohnya ialah dalam hal penyediaan tenaga kerja. Ternyata, salah satu permasalahan yang terjadi pada dunia pertanian di negara kita adalah mayoritas usia petaninya sudah memasuki usia non-produktif dan juga kurangnya regenerasi tenaga kerja untuk sektor pertanian.
ADVERTISEMENT
Padahal kita semua tahu, sektor pertanian merupakan sektor yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Apalagi sebagian besar penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani. Tentunya, nasi yang kita makan tiap hari pun berasal dari kerja keras petani. Coba kita bayangkan jika sektor pertanian ini benar-benar hilang? Sangat merugikan bukan?
Sekarang mari kita lihat data BPS terkait jumlah petani di negara kita. Tahun 2019 petani Indonesia mencapai 33,4 juta orang. Dengan kombinasi petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 8 persen atau setara dengan 2,7 juta orang.
Sekitar 30,4 juta orang atau 91 persen berusia di atas 40 tahun, dengan mayoritas usia mendekati 50-60 tahun. Kondisi ini pun diperparah dengan menurunnya jumlah regenerasi petani muda. Dalam data yang sama, dari periode 2017 ke 2018, penurunan jumlah petani muda mencapai 415.789 orang.
ADVERTISEMENT

Fenomena yang Menjanjikan Solusi

Ilustrasi pertanian tradisional (poto : pixabay.com)
Berangkat dari latar belakang tersebut, tentu kita harus menumbuhkan kesadaran akan keadaan pertanian di Indonesia saat ini. Fenomena bonus demografi ini tentunya momentum yang harus mampu kita manfaatkan. Tersedianya tenaga kerja produktif dalam jumlah besar tentu akan berdampak pada pengelolaan sektor pertanian. Mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan dan pengelolaan hasil panen.
Para pemuda tentu memiliki segudang inovasi jika kita bandingkan penduduk usia tua. Kondisi tubuhnya pun tentu masih fit serta produktif. Dengan begitu, porsi kerja yang bisa dilakukan akan lebih besar.
Selain itu, anak muda juga lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi. Hal ini tentu berpotensi terhadap perubahan pertanian di Indonesia yang lebih modern dalam penggunaan teknologi dan menjadikan proses pertanian yang efektif dan efisien. Hal ini sejalan dengan kondisi di negara kita yang sedang masif-masifnya mengkampanyekan revolusi industri 4.0.
ADVERTISEMENT

Membaca Tantangan dan Harapan

Namun apakah sebelumnya kita sudah bertanya-tanya, apakah para generasi muda akan mau berprofesi sebagai petani? Sebelumnya kita tahu, salah satu permasalahan di sektor pertanian adalah kurangnya regenerasi. Berarti bisa kita simpulkan bahwasanya sektor pertanian merupakan sektor yang kurang menarik bagi kalangan generasi muda.
Stigma tentang dunia pertanian yang kotor, rendahan merupakan hal yang paling lazim saya dengar. Karena memang sifat pertanian kita yang masih konvensional akhirnya selalu dikaitkan dengan profesi yang kumuh dan kasar.
Tapi apakah hal itu benar? Ya, sebagian besar. Kurangnya inovasi di dunia pertanian menjadikan pertanian di negara kita kurang berkembang. Hal ini mungkin saja disebabkan karena kurangnya pendidikan yang diperoleh oleh petani di negara kita.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya kita semua tahu, permasalahan lain yang terjadi di dunia pertanian kita adalah pendidikan petaninya. Hal yang fundamental dan harus segera diselesaikan.
Kondisi ini tentu menjadi PR kita bersama. Masyarakat, khususnya generasi muda dan pemerintah tentu harus saling merangkul dan bersinergi. Memberikan yang terbaik dari segi pendidikan dan kemudian mem-branding dunia pertanian menjadi semenarik mungkin.
Kita semua tentu harus optimis, pertanian kita akan tetap eksis dan Indonesia tetap menjadi negara agraris.