Gagal Paham Konsepsi Ketahanan Pangan

Aldi Setiawan
Mahasiswa Agribisnis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Konten dari Pengguna
2 November 2021 14:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi (sumber : unplash.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi (sumber : unplash.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kalau kita tidak bisa menyelenggarakan sandang, pangan di tanah air yang kaya ini, maka sebenarnya kita sendiri yang tolol, kita sendiri yang maha tolol. - Ir. Soekarno
ADVERTISEMENT
Pangan akan selalu menjadi isu yang relevan untuk didiskusikan, selama umat manusia tetap eksis di muka bumi, selama itu pula pangan akan menjadi orientasi utama umat manusia. Minyak bumi, gas alam, batu bara, dan nikel mungkin akan membuat hidup manusia menjadi praktis, namun pangan akan membuat hidup manusia tetap terjaga.
Pangan merupakan persoalan mendasar bagi bangsa mana pun di seluruh dunia, begitupun dengan Indonesia. Kita tentu ingin kondisi pangan yang merdeka, merdeka dalam pemenuhannya, distribusinya ataupun mengaksesnya.
Hari ini Indonesia memposisikan diri sebagai negara agraris. Masyarakat hidup dari semua yang tumbuh di tanah suburnya, atau kita bisa menyebutnya pangan lokal. Namun hari ini, pemerintah yang mempunyai wewenang dan kewajiban penuh dalam menjaga eksistensi pangan lokal dan mengenalkannya kepada masyarakat luas seolah enggan untuk melakukannya. Hal ini bisa kita lihat dengan masih berseliwerannya pangan impor yang sengaja didatangkan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Bahkan pada bulan Mei 2021 Indonesia masih mengimpor 1 juta ton kedelai, 257 ribu ton bawang putih, 145 ribu ton daging sapi, dan 646 ribu ton gula pasir. Data ini saya ambil dari ucapan Sekjen Kementan RI, Momon Rusmono, dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI beberapa bulan lalu. Masih banyak lagi tentunya impor-impor lain yang masih dilakukan hingga hari ini.
Di tengah fenomena tersebut, tidak salah tentunya jika kita skeptis dengan pola pikir pemerintah yang sampai hari ini masih percaya bahwa nalar ketahanan pangan berada di atas kedaulatan pangan.
Konstruksi ketahanan pangan memberikan pilihan kepada negara dalam menjangkau sumber-sumber pangan, tidak peduli jika itu harus mengimpor. Hal tersebut tentu sangat bertolak belakang dengan ide kemandirian pangan, atau seperti yang saya sebut sebelumnya yaitu merdeka dalam hal pangan.
ADVERTISEMENT
Persepsi pemerintah yang menganggap kebutuhan pangan akan selesai dengan konsep ketahanan pangan, yang terpenting masyarakat mampu mengaksesnya dan menjadi tujuan akhir serta melupakan aspek kedaulatan nampaknya masih tertanam di benak mereka, baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
Padahal jelas dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 Tentang pangan sudah memberikan kisi-kisi bagaimana harusnya negara bersikap. Pemanfaatan potensi pangan lokal yang mengindikasikan kemandirian pangan sehingga berdampak pada merdekanya negara dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri yaitu kedaulatan pangan.
Pemerintah sebenarnya berkeinginan untuk membangun food estate atau lumbung pangan baru sebagai cadangan pangan nasional di Kalimantan karena desakan pandemi. Namun walau bagaimana pun pemerintah tentu tetap harus memperhatikan masyarakat desa yang konsisten memanfaatkan pangan lokal. Pemanfaatan pangan tentu harus merata ke seluruh pelosok dan tidak berpusat di satu daerah saja.
ADVERTISEMENT

Kedaulatan Pangan adalah Jawaban

Kedaulatan pangan harusnya bisa menjadi konsep utama pemenuhan pangan dalam negeri. Namun pemerintah hari ini masih memaksakan konsep ketahanan pangan yang jelas-jelas sudah gagal. Ditambah masih ada beberapa permasalahan lain yang membuat Indonesia hari ini sulit dalam mencapai kemandirian pangan.
Selain masifnya pangan impor dan dikucilkannya pangan lokal, permasalahan lain seperti konflik agraria masih sering terjadi. Bahkan menurut Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2015-2018 terjadi 1769 konflik agraria dan pada tahun 2018 ada sekitar 807.177,613 hektar tanah berstatus konflik. Padahal kita tahu tanah merupakan instrumen utama, bagi para petani guna memenuhi pangan.
Selain kepemilikan tanah, hal lain yang membuat Indonesia kesulitan mencapai kedaulatan pangan yaitu kebijakan tertentu yang membuat perusahaan besar mengalahkan pertanian rakyat. Contohnya seperti UU No. 04/2004 tentang Sumber Daya Air dan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Regulasi tersebut tentu saja memicu terjadinya upaya privatisasi dan menuju monopoli.
ADVERTISEMENT
Hal itu kemudian diperparah dengan tidak membaiknya koperasi-koperasi desa dan UMKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi pangan.
Kedaulatan merupakan konsep pemenuhan pangan melalui produksi pangan lokal dan konsep pemenuhan hak atas pangan yang bergizi bagi masyarakat, yang dikerjakan dengan sistem pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Krisis pangan dunia yang terus-terusan terjadi tentu membuat konsep ketahanan pangan di Indonesia menjadi gagal. Negara-negara akan mengurangi kuota ekspornya, begitupun ke Indonesia.
Indonesia yang selama ini hanya menjadi ‘budak’ pasar dalam hal pemenuhan pangan, harus segera beranjak. Kondisi geografis Indonesia menjanjikan negara kita mampu mencapai kedaulatan pangan.
Pemerintah harus segera mampu beradaptasi dengan kondisi objektif hari ini. Pemerintah harus mampu membaca dan memanfaatkan potensi pangan dari desa-desa. Bukan malah mengeksploitasi tanah dan buminya guna kepentingan korporasi.
ADVERTISEMENT