Ambah Gusti di Serat Ganja

Aldis Tannos
Sesuatu tentang diri saya
Konten dari Pengguna
3 April 2017 11:34 WIB
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldis Tannos tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Marijuana Movement (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Kalau Bill Hicks hidup di Indonesia, mungkin sudah dipolisikan oleh Rizieq Shihab dan kroco-kroconya. Beruntung, hidup dan matinya di Barat sana. Bukannya dibilang menistakan agama, dia malah disoraki.
Ada yang bisa diteladani dari sepotong sabda Bill Hicks di Dominion Theatre, London, tersebut. Sejarah mencatat, beberapa peradaban menjadikan ganja sebagai tanaman suci.
Bahkan, mengutip jurnal The Religious and Medicinal Uses of Cannabis in China, India and Tibet (1981) karya Mia Touw, sebuah manuskrip kuno Cina berjudul Pen Ts’ao Ching (circa 50 AD) mencatat para ahli tenung di masa itu meminum oplosan ganja dan gingseng untuk melihat masa depan.
Masyarakat India, yang mayoritasnya beragama Hindu, juga memiliki hubungan spiritual dengan mariyuana. Kitab Arthawaweda XI himne 8 bait 15 menuliskan ganja merupakan salah satu dari lima tanaman suci.
ADVERTISEMENT
Mungkin hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan bahwa ganja adalah kesukaan Dewa Siwa. John Chasteen, dalam buku Getting High: mariyuana Through the Ages (2016), menulis Begawan Siwa mengisap ganja untuk membuatnya rileks dan fokus bermeditasi.
Kebiasaan tersebut ditiru para pemuja Begawan Siwa. Tiap tahun, mereka hijrah ke Kuil Pasopati, Nepal, untuk merayakan Maha Siwaratri, ulang tahun pernikahan Siwa dan Parwati. Para shadu dan yogi bermeditasi di sana setelah mengisap prasad -- sesajen -- berupa kanabis.
Memang di masa lalu mariyuana kerap dikaitkan dengan spiritualisme. Hal ini ada hubungannya dengan efek halusinogen yang dimiliki cannabis sativa. Halusinasi yang dirasakan setelah mengisap ganja dianggap sebagai pengalaman transenden, pengalaman bertemu sang hyang widhi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sativa tumbuh subur di tanah Asia. Itu lah sebabnya mariyuana sebagai entheogen -- penggunaan halusinogen secara spiritual -- umum ditemukan dalam kepercayaan arkais Asia.
Ilustrasi daun ganja. (Foto: Pixabay)
Pemanfaatan ganja sebagai obat ikut tumbuh subur di wilayah Asia. Karena pada dasarnya dianggap suci, masyarakat Asia cenderung menganggap ganja dapat mengobati penyakit dan mengusir roh jahat dari tubuh manusia, yang pada zaman dulu kerap dianggap berkaitan.
Reportase Komisi Nasional Amerika Serikat tentang Ganja dan Penyalahgunaan Obat-obatan tahun 1972 berjudul Marihuana: A Signal of Misunderstanding menyebutkan sejak 5000 tahun yang lalu, negara-negara di Asia -- Persia, Arab, Cina, India, dsb. -- telah memanfaatkan tanaman ganja sebagai penambah nafsu makan, antiseptik, dan analgesik (penghilang nyeri). Di Mesir kuno, kanabis digunakan untuk menanggulangi glukoma.
ADVERTISEMENT
Mengapa di daerah Eropa tidak demikian? Pasalnya, kanabis yang tumbuh di wilayah dingin adalah spesies indica. Spesies ini tidak terlalu memabukan seperti sativa tetapi amat baik untuk dipintal menjadi kain dan tali. Itu lah sebabnya kain kanvas -- canavas, cannabis -- banyak ditemukan di sana.
Memasuki abad ke-19, negeri Barat ikut menjadikan ganja sarana pengobatan. Pasokan sativa dari berbagai kerajaan Asia seperti India dan Indonesia ‘menularkan’ fungsi medis tanaman ganja.
Ratu Viktoria menggunakannya untuk mereduksi rasa sakit ketika sedang haid. Hal tersebut dicatat dalam laporan Komite Sains dan Teknologi pada 1998. Para dokter Prancis juga mulai menggunakan ganja sebagai analgesik untuk melakukan operasi.
Dalam buku Medical mariyuana Law (2007), dicatat bahwa Amerika Serikat mencantumkan mariyuana dalam daftar Pharmacopeia sejak 1850. Dituliskan di dalamnya, ganja dapat mengobati tetanus, tipes, neuralgia, disentri, antraks, dll..
ADVERTISEMENT
Komisi Hemp India bentukan Inggris juga melaporkan pada 1894: “In regard to the physical effects, the Commission have come to the conclusion that the moderate use of hemp drugs is practically attended by no evil results at all.
Komisi tersebut melanjutkan, terkait efek terhadap moral, “there is no adequate ground for believing that it injuriously affects the character of the consumer.” Konklusi serupa bisa ditemukan dalam penelitian-penelitian lain di berbagai negara.
Meski pun di zaman modern ini ganja dikategorikan sebagai obat-obatan terlarang di berbagai negara termasuk Indonesia, sejak medio dekade 1970-an, penelitian fungsi medis mariyuana terus berkembang.
Marijuana Medical (Foto: Pixabay)
Hasilnya tak jauh berbeda dengan apa yang sudah diketahui masyarakat 5000 tahun yang lalu, hanya kali ini, praktik tersebut diafirmasi dengan penelitian dan riset.
ADVERTISEMENT
Mariyuana masih digunakan sebagai penambah nafsu makan dan analgesik untuk mengatasi ragam penyakit, dari kanker, HIV/AIDS, hingga penyakit langka seperti sindrom Malformasi Arnold-Chiari.
Perlu digarisbawahi bahwa ganja tidak bisa dipastikan dapat menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut. Namun, dipercaya dapat membantu proses penyembuhan dan mengurangi rasa sakit secara signifikan.
Misalnya, pada sindrom Malformasi Arnold-Chiari. Sindrom tersebut berupa tengkorak yang sedikit menyempit dibagian belakang pangkal leher, menyumbat cairan serebrospinal ke tulang belakang.
Pada kasus tertentu, cairan ini menggumpal menjadi kista di rongga leher. Penggumpalan tersebut disebut dengan syringomyelia.
Syringomyelia membuat penderita Arnold-Chiari mengalami kesulitan makan karena rasa sakit yang luar biasa di leher. Mengisap ganja bisa mengurangi rasa sakit hingga penderita dapat makan. Berkurangnya rasa sakit juga mengurangi stres yang dialami penderita.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun belakangan ini, Amerika Serikat melegalisasikan ganja. Negara bagian Illinois malah memasukan syringomyelia ke dalam daftar penyakit yang dapat diobati dengan kanabis.
Snoop Dog quote (Foto: Pixabay)
Namun, segala macam penelitian saintifik nan mahal tidak bisa mengubah pendirian negara kita Republik Indonesia. Fidelis Arie ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) atas kepemilikan 39 linting ganja. Dia juga menanam ganja di rumahnya. Namun, tiga kali tes urin menunjukan dirinya negatif menggunakan kanabis.
Rupanya, ganja tersebut diperuntukan bagi istrinya, Yeni Riawati, yang didera syringomyelia. Yeni mati dihujam rasa sakit. Penangkapan Fidelis menghentikan asupan mariyuana yang istrinya perlukan.
Yeni dibunuh Undang-undang nomor 35 tahun 2009. Peraturan yang melempar Fidelis ke dalam penjara. Yang mana ironis karena UU itu seharusnya menyelamatkan nyawa manusia.
ADVERTISEMENT
Mungkin Fidelis dan Yeni hanya lahir di tempat dan waktu yang salah. Mungkin juga tempat dan waktu lah yang salah terhadap mereka.
Lucu juga melihat tanaman yang pernah dianggap suci, kemudian dibilang haram. Bahkan dilarang oleh negara. Hal serupa pernah diucapkan oleh Robert Nesta, seorang musisi asal Jamaika, dalam sebuah wawancara. Manusia, kata dia, arogan karena mengharamkan ciptaan tuhan.
You mean they can tell God that it’s not legal?” Tanya musisi yang belakangan dikenal sebagai Bob Marley. “By extension that made God a criminal too.
Mungkin Indonesia masih butuh waktu untuk mempelajari bahwa ada wasiat bumi pada tanaman ganja. Bahwa beberapa kitab Aceh, seperti serat Mujalabad dan Tajul Muluk pernah mengisahkan ganja sebagai tanaman suci di sana. Bahwa masyarakat Jawa juga percaya ganja memicu hayal atau keadaan transenden.
ADVERTISEMENT
Mungkin kita hanya perlu waktu untuk paham bahwa ada jejak tuhan di serat ganja.
Mariyuana (Foto: Pixabay)