Nostalgila Melawan Waktu

Aldis Tannos
Sesuatu tentang diri saya
Konten dari Pengguna
3 Mei 2017 17:56 WIB
Tulisan dari Aldis Tannos tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Waktu (Foto: Pixabay)
“Nostalgia is to memory, as kitsch is to art,” – Charles Maier, The End of Longing (1999)
ADVERTISEMENT
Belasan tahun berlalu sejak film Ada Apa dengan Cinta lepas tayang. Tiba-tiba, sekitar tahun 2014, muncul wacana pembuatan AADC 2. Ide tersebut menjadi kenyataan dua tahun kemudian.
‘Millenials’ kewalahan; riuh menyambutnya -- seperti melihat Yesus kembali turun ke bumi. Tiga hari pertama film tersebut tayang, bioskop dipenuhi oleh mereka yang ingin bernostalgia.
Filmnya, menurut saya, tidak bermutu. Namun, itu tidak lagi menjadi masalah. Karena tujuan menonton film tersebut hanya untuk mengenang. Saya rasa kita pun siap dikecewakan. Sekitar lima tahun belakangan ini, Hollywood sudah memberikan banyak contoh sequel dan reboot yang tidak layak ditonton. AADC 2 menjadi sumbangan dari Indonesia.
Alasan film semacam ini tetap diproduksi, sederhana saja: profit. Keuntungan dari reboot niscaya lebih tinggi dari film originalnya, sesampah apa pun kualitasnya.
ADVERTISEMENT
Arus balik di dunia perfilman merupakan tanggapan dari nostalgia massal yang muncul beberapa tahun terakhir. Sejak fenomena ‘generasi 90-an’ muncul di sela-sela tahun 2011, media sosial menjadi gelanggang reuni dengan memori kolektif kita semasa kecil.
Tak hanya film, pasar pun digenangi oleh segala hal yang berbau nostalgia. Sebagian bersifat rekonstruktif, sisanya merupakan racikan kontemporer masa lalu dan kini – seperti Pokemon Go.
Kontributor Forbes.com, Lauren Friedman, menyebutnya dengan Nostalgia Marketing, trik pemasaran yang ampuh terhadap generasi millenials.
“Reliving positive memories and beloved icons from the past feels good. Alongside hectic work schedules, unrelenting responsibilities, and more, fond memories make us smile — and that leaves us open to brand messaging.”
ADVERTISEMENT
Mengapa demikian? Dalam esai Nostalgia and Its Discontents, Svetlana Boym -- Profesor Harvard di bidang Literatur Komparatif – menulis, “Nostalgia inevitably reappears as a defense mechanism in a time of accelerated rhythms of life and historical upheavals.”
Di era internet ini, ritme hidup dipacu semakin cepat. Informasi menjelajah ke berbagai tempat dalam hitungan detik saja. Dan proses integrasi internet ke dalam hidup manusia terjadi begitu cepat, menyebabkan disorientasi terutama bagi generasi kita, yang berada di tengah pergeseran dunia konvensional menuju digital.
Dalam beberapa tahun saja, surat menjadi e-mail, SMS digantikan Whatsapp, dan koran beralih ke media online. Pesan yang tadinya butuh waktu 2-3 hari untuk sampai ke tujuan, kini hanya butuh 2-3 detik.
ADVERTISEMENT
Bangun tidur kita sudah dihadapkan dengan informasi baru, yang bahkan tidak kita cari. Informasi itu dicekokan kepada kita, karena media massa juga merambah ke media sosial. Beritanya pun singkat dan padat, sebuah cerminan dari keterburu-buruan.
Belum lagi cerita-cerita kesuksesan yang bergema di media online mau pun sosial. Foto-foto mereka yang wisuda duluan. Kisah-kisah ‘inspiratif’ pebisnis muda. Segala hal yang membuat kita merasa tertinggal. Kita tak bisa lagi menikmati proses; kita terpaku pada tujuan yang dikonstruksi oleh media sosial.
Kita pun berusaha memadatkan berbagai hal di dalam satu hari. Bekerja, belajar, bervakansi, dan mengejar mimpi. Kita tergesa-gesa. Profesor Richard Wiseman membandingkan kecepatan berjalan penduduk kota besar di tengah dekade 90-an dengan jelang 2010.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, kecepatan rata-rata pejalan kaki meningkat sekitar 10 persen. Di Asia, seperti Singapura, bahkan terjadi peningkatan sebesar 30 persen.
Dalam arus waktu yang menderas, kita berusaha bertahan. Kita mencari sesuatu untuk berpegang; sesuatu yang konstan dan/atau merepresentasikan konstansi dalam kehidupan: masa lalu dan segala memorabilianya. Hal tersebut memicu nostalgia massal bagi generasi yang panik ini.
Dalam bukunya, The Future of Nostalgia, Svetlana menulis, “At first glance, nostalgia is a longing for a place, but actually it is a yearning for a different time -- the time of our childhood, the slower rhythms of our dreams.”
Rupanya nostalgia tak lagi soal tempat. Yang kita cari adalah momen; rumah yang nyaman secara konseptual. Dan dalam pencarian yang tak berujung, kita didera obsessive compulsive disorder. Dengan terus membeli produk-produk nostalgia, kita membohongi diri sendiri seakan-akan masa lalu kembali terjadi.
ADVERTISEMENT
Dampak buruknya adalah kita menjadi takut akan perubahan, cenderung menolaknya. Akibat restorasi zaman yang dibangun dengan tembok nostalgia, kebohongan itu menjadi tampak nyata. Segala hal yang anakronistis kita cibir: EDM, Justin Bieber, Awkarin, dan sebagainya.
Kita terus berpatokan pada masa lalu. Malah terkadang kita mengambil masa lalu generasi yang terdahulu. Musik jadul selalu menjadi pilihan. Gaya vintage selalu yang terbaik. Modernitas adalah hal yang buruk.
Coba bandingkan film futuristik zaman 80-an, seperti Back to the Future yang melukiskan rasa penasaran, dengan film futuristik sekarang: In Time, Snowpiercer, atau Interstellar.
Semuanya menggambarkan ansietas; kehancuran dunia akibat ego manusia di masa ini. Setelah dijajah masa lalu, apa hanya kehancuran yang tersisa untuk masa depan?
ADVERTISEMENT
Mungkin kita berada di ujung peradaban, di mana ide tidak lagi berkembang. Nothing new under the sun. Semuanya sudah tampil di permukaan bumi. Atau mungkin kita yang terlalu terpaku pada tujuan – yang kini identik dan banal – sehingga proses membangun ide itu terlantar?
Saya berpendapat fenomena ini berasal dari kemajuan teknologi yang merekatkan kita pada konstruksi sosial. Individualitas kita dirampas. Bekerja dibilang budak korporat, menjalani hobi dibilang terlalu idealis. Kita membentuk diri berdasarkan penilaian masyarakat terhadap kita.
Cara untuk keluar dari pusaran nostalgia ini adalah dengan membangun identitas yang kuat. Seorang Jenderal Konfederasi di masa perang sipil Amerika Serikat mengatakan bahwa nostalgia diidap oleh orang-orang berkarakter lemah yang tak punya tulang belakang. Mungkin hal tersebut benar adanya.
ADVERTISEMENT
Kita seperti daun kering di atas sungai waktu. Bergerak dituntun arus. Generasi kita tidak membangun zaman tetapi malah tunduk kepadanya.