news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

KEBIJAKAN RELAKSASI KREDIT DI MASA PANDEMI. SUDAH TEPATKAH?

Konten dari Pengguna
27 Juni 2020 16:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alex Sinaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
oleh : Alexander Gamaliel
(Mahasiswa PKN STAN)
Pandemi Covid-19 berdampak fatal ke berbagai sector dalam Negeri.Berbagai sektor terkena dampaknya seperti sektor Pendidikan, ekonomi, dan Kesehatan. Berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19, Terhitung pada pada tanggal 24 Juni, Covid-19 telah terkonfirmasi 49.009 kasus positif covid 19 di Indonesia.Tentu ini berdampak berat pada berbagai sektor seperti sektor ekonomi. Menanggapi kasus penularan covid 19 yang semakin meluas, OJK telah menerbitkan kebijakan relaksasi kredit yang tertuang dalam POJK No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Kebijakan ini diharapkan dapat mengatasi perekonomian Nasional, apalagi sejak pandemi covid-19, Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemunduran yang sebelumnya dari 5,34% menjadi 2,3% sampai -0.4 % pada level yang paling berat.Kebijakan ini ditujukan kepada bank untuk melakukan relaksasi kredit kepada pihak pihak yang berhak .
ADVERTISEMENT
Dalam POJK No.11/POJK.03/2020 Restrukturisasi kredit dapat dilakukan dalam berbagai cara, seperti penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu.perngurangan tunggakan pokok.pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit/pembiayaan dan konversi kredit/pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara. Kebijakan ini diharapkan mampu memulihkan perekonomian nasional. Pihak yang dimaksud tersebut adalah UMKM yang terkena dampak pandemi Covid 19 secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja UMKM tersebut. UMKM sendiri merupakan tulang punggung perekonimian Indonesia.UMKM menyerap sekitar 96% tenaga kerja serta menyumbang 61% terhadap PDB Nasional.
Jadi tidak heran kalau kebijakan ini ditujukan kepada pihak UMKM agar Perekonomian Nasional dapat Kembali pulih. Kebijakan pemerintah tersebut adalah penilaian kualitas kredit atau pembiayaan dan penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan atau bunga untuk kredit sampai Rp 10 miliar Dari penerbitan POJK No. 11/POJK.03/2020 kita tahu bahwa tujuan penerbitan Peraturan ini bermaksud baik agar menjaga daya beli masyarakat, membantu pihak pelaku usaha tak terlepas memulihkan Ekonomi nasional. Akan tetapi dalam praktiknya masih terdapat pro dan kontra.Ada pihak yang mendukung kebijakan ini karena dinilai membantu masyarakat terutama pelaku usaha kelas menengah yang terkena dampak covid 19 seperti ojek online, nelayan,sopir taksi serta pelaku UMKM lainnya. Kebijakan ini dinilai tidak merugikan pihak manapun karena dalam penerapannya diserahkan sepenuhnya kepada pihak bank dengan kebijakan masing masing dengan menyesuaikan kapasitas membayar debitur.Berdasarkan data monitoring OJK per 10 Mei 2020,sudah ada beberapa pihak perbankan yang melaksanakan kebijakan rekstrukturisasi kredit, dengan 3,9 juta debitur.Dari 3,9 juta debitur tersebut, 3,4 juta merupakan pelaku usaha UMKM.
ADVERTISEMENT
Dari segi outstanding loan, telah tercatat Rp. 336,7 Triliun telah direstrukturisasi, dengan RP. 167,1 Triliun diantaranya adalah pelaku UMKM. Pihak bank yang telah merespon kebijakan OJK ini diantaranya adalah PT Bank Negara Indonesia ( Persero) Tbk, PT Bank Central Asia ( Persero ) Tbk. Serta PT Bank Mandiri ( Persero ). Seperti PT Bank Central Asia ( BCA ) Tbk yang telah melaksanakan restrukturisasi kredit. Permintaan dari restrukturisasi kredit korporasi BCA berasal dari sektor yang terkena dampak langsung dari Covid-19 seperti pihak yang bekerja di bidang pariwisata. Pihak PT BNI juga memberikan restrukturisasi kredit bagi debiturnya. Akan tetapi, pemberian restrukturisasi kredit ini akan disesuaikan dengan kondisi juga jenis usaha yang di jalankan oleh nasabah. Namun di lain pihak bagi bank swasta atau bank yang modalnya terbatas. Tidak semua bank mau dan juga sanggup untuk memberikan keringanan dan penundaan kredit. Apabila dipaksakan untuk melakukan restrukturisasi, bukannya menyelesaikan masalah UMKM malah timbul masalah baru yaitu terjadinya Non Performing Loan ( NPL ). Hal ini menunjukkan bahwa OJK harus siap memberikan stimulus kepada pihak bank yang memiliki modal terbatas, atau dengan memberikan mekanisme pengecualian tertentu bagi pihak bank yang tidak sanggup memberikan restrukturisasi kredit. Kemudian di lapangan masih terdapat pelaku usaha UMKM yang kesulitan dalam mengajukan keringanan kredit.Pasalnya tidak semua pihak perbankan melaksanakan kebijakan ini dengan maksimal. Terdapat nasabah yang mengajukan keringanan kreditn tapi malah mendapat beban pinjaman yang lebih. Ketua Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso. OJK menyebutkan bahwa pemerintah sudah Menyusun program penyangga likuiditas. Jadi bagi bank yang likuiditasnya terpengaruh karena melakukan restrukturisasi tidak perlu khawatir kekurangan likuiditas. Pemerintah nantinya akan menempatkan dana di bank yang nantinya akan sebutannya menjadi bank peserta.
ADVERTISEMENT
Bank yang kekurangan likuiditas dapat meminjam ke bank tersebut nantinya akan disebut sebagai bank pelaksana. Syarat bank yang dapat menjadi bank peserta ini harus memiliki Peringkat Kompositn (PK-1) Atau sangat sehat dan PK-2 atau sehat. "Perkiraan kami, NPL akan naik dari posisi sekarang 2,5% menjadi 2,77% akhir tahun nanti. Namun, hal tersebut utamanya disebabkan oleh debitur dengan status diragukan dan macet, sementara proses restrukturisasi mampu menekan potensi tersebut," ujar pak Wimboh
Pemerintah juga harus bertindak terkait permaslahan yang terjadi di lapangan agar baik pihak pelaku usaha maupun pihak perbankan tidak merugi. Kebijakan OJK ini berlaku untuk 1 tahun. Bagaimana apabila pandemi tidak pernah selesai? Apakah kebijakan ini optimal, mengingat kasus positif covid-19 yang terus bertambah setiap harinya? Belum lagi ditambah dengan kemungkinan peningkatan Kasus positif covid-19 karena Indonesia mulai menerapkan “New Normal”.Kebijakan ini sudah cukup baik dalam tujuan memulihkan ekonomi Nasional.Namun apabila kasus positif semakin bertambah banyak, tidak menutup kemungkinan bagi debitur juga ikut terjangkit covid-19.Bukan hanya debitur restrukturisasi kredit saja, masyarakat luas pun bisa terjangkit virus ini. Belum lagi fasilitas dan prasarana medis Negara kita yang bekum cukup memadai semua pasien terjangkit .Angka kematian meningkat, pertumbuhan Ekonomi ikut menurun. Selain melakukan kebijakan fiskal, Pemerintah sebaiknya juga harus dengan cepat mengatasi penyebaran covid-19 agar kasus positif di Indonesia semakin kecil sehingga tidak ada kasus positif covid-19 lagi di Indonesia. Secara bersamaan Pemerintah harus menguatkan Ekonomi Indonesia dan menuntaskan wabah virus covid-19 agar tujuan kebijakan OJK dapat terealisasi secara optimal .
ADVERTISEMENT