Gara-gara 'A9ama' Saya Adalah Jurnalisme

Alfadillah
Journalist
Konten dari Pengguna
27 Juni 2022 19:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfadillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gara-gara 'A9ama' Saya Adalah Jurnalisme
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sejujurnya, saya tidak bisa menyebut diri saya mampu menulis. Tapi, menulis satu-satunya kegiatan yang selalu saya lakukan sejak di bangku sekolah dasar dulu. Hampir setiap hari saya menulis, apa pun, di mana pun, bahkan di telapak tangan sendiri. Menulis satu-satunya ‘teman’ bagi saya.
ADVERTISEMENT
Ketertarikan saya akan dunia jurnalisme tumbuh saat seorang kenalan memberikan hadiah buku ‘A9ama’ Saya Jurnalisme karya Andreas Harsono. Untuk anak seusia saya kala itu yang masih SMA, buku ini tentu terlalu sulit dimengerti. Namun entah kenapa, dengan kemampuan berpikir yang ala kadarnya ini saya justru 'terangsang' untuk menjadi wartawan.
Buku ini berisi rincian dari tafsir 9 elemen jurnalisme Bill Kovach. Dari buku inilah saya tertarik dengan dunia media. Terjun ke lapangan, meliput bencana atau perang, dan pergi ke berbagai tempat di dunia yang hanya saya tatap lewat layar kaca. Tidak hanya berkutat di ruangan dengan jam kerja yang sama setiap harinya.
Setelah lulus SMA dan gagal mencoba tes masuk perguruan tinggi negeri, saya memantapkan diri untuk memilih menekuni jurusan jurnalistik di IISIP Jakarta. Selama kuliah dan belajar di lapangan, saya memiliki keinginan membuat produk jurnalistik investigasi seperti yang dilakukan oleh Metta Dharmasaputra saat membongkar skandal pajak Asian Agri Group.
ADVERTISEMENT
Tapi saya sadar, menjadi jurnalis investigasi tidak hanya bermodal semangat yang saya punya saat itu saja. Dan tidak semua media memiliki tim khusus untuk membuat produk jurnalistik investigasi.
Begitu lulus, saya bergabung dengan beberapa media hingga akhirnya berlabuh di kumparan dan bertahan hingga detik ini. Tiga tahun lebih menjadi awak kumparan, saya sudah menjajal empat desk sekaligus mulai dari kumparanSains, kumparanHits, kumparanTravel, dan sekarang di tim Collaboration.
Dari jejak langkah di kumparan, liputan khusus Dibekap Polusi Jakarta pada 2019 silam menjadi liputan yang tak pernah saya lupakan. Sebab, proses jurnalistik untuk membuat tulisan ini menuntut saya menjadi wartawan sekaligus peneliti.
Dalam eksperimen ini, kami menggunakan dua alat ukur yakni AirVisual Pro dan Origins Lasser Egg. Keduanya kami pinjam dari organisasi pemerhati lingkungan GreenPeace Indonesia. Di bawah terik matahari dan bekapan polusi udara Jakarta, saya dan rekan setim di KumparanSains mengukur kualitas udara yang diklaim terburuk di dunia dengan indeks kualitas udara mencapai 240.
ADVERTISEMENT
Pada hari pertama, ada sembilan lokasi di Jakarta yang kami pilih. Yakni, Bundaran HI, Stadion Utama Gelora Bung Karno, GOR Ragunan, Universitas Indonesia, Pancoran, Gereja Katedral, Taman Anggrek, Tanjung Priok, dan Pulogadung. Saat alat dinyalakan, di tengah kerumunan warga DKI yang sedang berolahraga tanpa lalu-lalang pengendara, nilai AQI dari AirVisual Pro menunjukkan angka 142-158, sedangkan Origins Lasser Egg sekitar 140-160.
Saat kami cek nilai PM 2,5-nya, AirVisual Pro menunjukkan angka 54-68,4 mikrogram/M3. Angka ini tentu masuk dalam kategori tidak sehat untuk semua orang. Dengan data riset yang kami lakukan selama beberapa hari mengukur polusi Jakarta, bisa dikatakan selama bulan Juni hingga pertengahan Juli 2019, polusi Ibu Kota memang tergolong mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Liputan ini memberikan banyak pengalaman yang tak bisa saya dapatkan seperti di kuliah dulu. Mulai dari membaca jurnal ilmiah dan melakukan penelitian seperti yang kami lakukan saat menulis isu kesehatan dan lingkungan.
Dan kini, setelah tiga tahun lebih saya melalang buana di kumparan sampai berlabuh di empat desk sekaligus, akhirnya kesempatan menjadi wartawan bersertifikasi Dewan Pers datang juga. Kumparan menggelar Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar 25-26 Juni 2022.
Sebagai wartawan muda, saya tentu memiliki banyak kekurangan. Terlebih selama pandemi, saya tidak lagi terjun ke lapangan. Saya sempat mengalamu gugup dan susah tidur menjelang tes karena kurangnya persiapan. Apalagi setelah mendengar cerita teman-teman yang sudah ikut tes ini.
ADVERTISEMENT
Selama dua hari, kami harus melewati 10 tes yang disediakan oleh Dewan Pers. Kegiatan ini tentu memperkaya kemampuan saya sebagai wartawan. Dan alhamdulillah, kami seluruh awak kumparan dinyatakan lulus 100 persen dan tersertifikasi.